Minggu, 23 Oktober 2011

The Truth About Forever (versi ICIL) Cap. 5 : One Second Of happiness

The Truth About Forever
( Dendam Membuatmu Kesepian )


Chapter #5
ONE SECOND OF HAPPINESS


"Kita nggak punya masa depan," cerita Ify lesu.

"Hah?" seru Sivia kaget. "Maksudnya?"

Ify mengangkat bahu, lalu menyeruput jus melon-nya tanpa semangat. "Andai aja aku tau."

"Kalian toh belum tentu nikah, kan? Jadi, apa maksudnya ngomong begitu?" tanya Sivia lagi. "Masa depan apa, sih, yang dia maksud?"

Ify meletakkan pipinya ke meja, lalu mendesah. Sivia menatap sahabatnya itu khawatir.

"Fy, kalo pendapat gue, sih, lo jangan terlibat terlalu jauh sama dia. Gue punya perasaan dia agak berbahaya," kata Sivia membuat Ify mendongak.

"Berbahaya?" tanya Ify.

"Sebelum semuanya serius, berhenti aja berharap dari dia, Sivia. Kalo dia emang cowok baik-baik, dia nggak akan bersikap bunglon nggak jelas kayak gini ke elo," kata Sivia lagi.

Kalau mau jujur, Ify memiliki perasaan yang sama dengan Sivia. Kata-kata Rio kemarin sama saja dengan menolak Ify mentah-mentah. Namun, setelah mereka pulang dari pantai, Rio tidak bersikap dingin, malah cenderung bersahabat. Dari awal, Rio seperti sedang mempermainkan perasaan Ify.

"Kayaknya kamu bener, Vie," ujar Ify akhirnya. Ify tidak mau salah mengartikan sikap hangat Rio lagi.

Ify merasakan tangan Sivia meremas bahunya. Sivia sendiri tahu, kalau benar Ify menyukai alien aneh ini, berarti ini adalah cinta pertama Ify. Dan Sivia tidak mau cinta pertama Ify jatuh pada orang yang salah.

***
"Ada apa, Vin?" tanya Rio antusias begitu bertemu dengan Alvin di kafetaria. Semalam, Alvin menelponnya dan berkata ingin bertemu. "Dia udah ketemu?"

"Bukan itu," kata Alvin, dan wajah Rio langsung bingung.

"Jadi, ada apa?" tanyanya lagi.

"Duduk dulu, deh," ujar Alvin, dan Rio duduk di depannya. Alvin lalu mencondongkan wajahnya ke arah Rio. "Seharusnya, gue yang tanya ada apa. Sebenernya lo serius nggak, sih, nyari orang itu?"

Rio mengernyit. "Maksud lo apa, Vin?"

Alvin mendesah, menatap Rio serius. "Yo, gue kemaren liat lo lewat di depan tempat kerja gue. Naek motor, sama cewek. Gue pikir lo datang kemari mau nyari dia."

Rio mengerjap-ngerjapkan matanya sesaat, dan akhirnya tersadar. "Vin! Gue serius nyari dia!" sahut Rio panas sambil menggebrak meja, beberapa mahasiswa yang juga mengunjungi kafetaria itu terkejut dan memandang Rio heran, tapi Rio tak menggubrisnya. "Kalo kemaren lo liat gue, itu karena pikiran gue udah butek—keruh—banget, makanya gue ke pantai buat menenangkan diri!"

"Sama cewek?" tanya Alvin curiga. Rio berdecak.

"Cewek itu anak kost gue. Gue pinjem motornya, dan tanpa gue sadari dia udah ngikut gue. Dia takut motornya kenapa-napa," kata Rio lagi, suaranya sudah sedikit memelan, tetapi Alvin tampak masih belum percaya. "Vin, lo harus percaya sama gue. Gue nggak punya waktu untuk yang laen."

"Sebaiknya begitu," kata Alvin lagi. "Denger, Yo, gue bener-bener mau bantu lo. Tapi kalo lo sendiri malah senang-senang..."

"Alvin, gue nggak pernah punya pikiran buat senang-senang," ujar Rio tegas. "Setelah gue dapet dia, gue bakal secepatnya pergi dari sini."

Alvin menghela napas, tampak sudah menyesal karena tak memercayai Rio.

"Sori Yo, kalo gue udah marah-marah nggak jelas. Tapi, setelah dipikir-pikir, lo butuh waktu senggang juga. Jangan terlalu mikirin dia," ujar Alvin.

"Gue nggak butuh waktu senggang...," jawab Rio cepat. "Toh waktu gue juga udah nggak banyak lagi," lanjutnya sambil tersenyum miris.

Selama beberapa detik, Alvin hanya bisa menatap sahabat SMA-nya itu dengan pandangan sedih. Sampai akhirnya dia kembali angkat bicara. "Soal cewek itu, mungkin ada bagusnya juga kalo lo jalan sama dia."

Rio menatap Alvin tak percaya.

"Lo gila ya, Vin? Gue udah nggak ada niat sama hal-hal begituan! Lo pikir gue masih punya hak buat yang begituan?" sahut Rio berang.

"Bener juga. Sori," ucap Alvin menyesal. "Kalo lo masih mau egois dikit, mungkin lo dulu nggak akan melepas Shilla."

Ekspresi wajah Rio mengeras saat Alvin menyebut nama itu. Nama yang sudah sekian lama dikuburnya rapat-rapat di dalam hatinya.

"Jangan pernah sebut nama itu lagi," kata Rio dingin.

"Oke. Sori," kata Alvin, dan setelah itu, tak ada satu pun yang berbicara lagi.

***
Rio berjalan gontai menuju kost-nya yang suram. Ozy dan Septian sedang tidak ada, dan rumah Bu Winda juga sepi. Rio naik tangga dan orang yang sedang tidak ingin dia temui malah sedang berjalan ke arahnya. Di tangannya, terdapat mug yang mengepul.

"Dari mana jam segini baru pulang?" tanya Ify heran, ia melihat rambut dan baju Rio yang basah karena kehujanan. Ify buru-buru masuk ke dalam kamarnya, mengambil handuk dan mengelap wajah Rio. "Kok nggak bawa payung, sih? Ntar pilek, lho!"

Rio menatap Ify yang tampak khawatir, lalu dia menepis tangan cewek itu. Hingga menyebabkan handuk yang dipegang Ify jatuh ke lantai. Ify menatap Rio heran, sedangkan yang ditatap malah balas menatapnya dingin.

"Jangan peduliin gue," kata Rio dengan rahang mengeras. "Jangan bersikap baik sama gue."

"Kenapa?" tanya Ify.

"Gue bilang jangan, ya, jangan!" sahut Rio membuat Ify terlonjak. "Jangan tanya apa-apa lagi sama gue, lo ngerti? Urus aja kehidupan lo sendiri!"

Rio berjalan melewati Ify yang bergeming. Dia berusaha membuka pintunya yang terkunci. Dicari-carinya kunci pintu itu di bajunya dengan tak sabar.

"Jelek," gumam Ify pelan, namun masih bisa didengar jelas oleh Rio, dan membuat cowok itu menoleh padanya. Ify  menatap Rio sendu. "Kalo lagi begini, aku bilang kamu lagi jelek."

"Hah?" kata Rio tak mengerti.

"Mood kamu. Selalu berubah-ubah dan nggak bisa ditebak. Hari ini, kamu marah-marah, besok baik. Selalu aja bilang, 'Jangan peduliin gue', tapi nanti ngomong hal-hal baik buat menggantikannya," ujar Ify, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. "Nggak bisakah kamu memilih salah satu?"

Rio menatap Ify nanar.

"Tadinya aku mau berusaha mengerti soal sikap aneh kamu ini, tapi aku sama sekali nggak ngerti!" sahut Ify.

"Nggak ada yang nyuruh lo buat mengerti gue," ujar Rio kemudian. "Tolong jangan ngomong hal-hal yang merepotkan."

Ify menatap Rio tak percaya, sementara Rio berhasil menemukan kuncinya dan segera masuk ke dalam kamarnya. Rio melempar ranselnya, lalu duduk di kasur. Pikirannya berkecamuk hebat. 

Tiba-tiba dia teringat perkataan Alvin tadi siang.

"Kalo aja lo mau sedikit egois, lo pasti nggak akan melepaskan Shilla."

Namun, Rio sudah melepas Shilla. Sekarang, Rio tidak berminat pada percintaan apa pun lagi. Kalaupun berminat, dia tetap tidak berhak. Rio tidak menyesal dengan nasibnya itu. Yang Rio sesalkan, kenapa dia tidak menjauhi Ify sejak awal. Ya, karena Rio sudah meremehkannya.

Tiba-tiba, Rio mendengar suara pintu sebelah ditutup. Dia menghela napas, lalu membuka layar handycam-nya dan menonton video yang direkamnya di pantai kemarin. Rio menatap kosong layar yang menampilkan Ify sedang berlari-lari dengan gembira. Rio menutup layar itu.

Masa bersenang-senang sudah berakhir.

***

Ify bangun dengan mata sembab. Semalam, Ify menangis karena kata-kata kejam Rio. Ify menatap cermin, lalu bermaksud untuk mengompres matanya dengan mentimun dingin. Mungkin tantenya punya. Ify tidak mungkin ke kampus dengan mata seperti ini.

Ify membuka pintu kamarnya, bersamaan dengan Rio. Ify menoleh dan tatapannya bertaut dengan Rio. Ify terdiam selama beberapa detik, namun kemudian segera menutup mukanya, sadar kalau mungkin wajahnya sudah seperti "panda" sekarang.

Rio sudah melihat mata Ify, dan dia tidak tahan melihatnya lama-lama. Dia menutup pintu kamarnya, menguncinya, lalu memakai sepatu. Ify mengintip dari sela-sela jarinya.

"Mau..." Ify tiba-tiba terdiam, tak meneruskan kata-katanya. Dia sebenarnya ingin bertanya Rio mau ke mana, tetapi tidak jadi dilakukannya setelah teringat perkataan Rio semalam.

Rio menghela napas, melewati Ify tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Kemarin, cewek itu menyuruhnya untuk memilih dan seharusnya sekarang dia sudah tahu mana yang dipilih Rio. Rio akan menjauhinya sebisa mungkin.

Ify menatap punggung Rio yang perlahan menjauh. Ify tahu Rio tak akan pernah bersikap baik padanya lagi.

***

Rio sekarang berada di depan Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Bandung. Matanya hitam kejoranya terlihat sibuk mencari-cari, namun pikirannya melayang ke mana-mana.

Rio tidak tahu harus bicara apa pada Ify yang matanya sembab seperti itu. Rio merasa dirinya tak pantas untuk ditangisi. Namun, mungkin kata-katanya semalam memang sudah keterlaluan.
Mendadak, Alvin muncul di depan matanya. Membuat Rio ternganga melihatnya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Rio, masih terkejut.

"Lo lupa ya, gue kuliah di sini!" sahut Alvin sambil terkekeh. "Yang ngapain tuh elo! Kalo mau nyari dia, dia nggak ada di sini. Gue udah cek satu per satu nama mahasiswa di sini."

"Oh," kata Rio, merasa bodoh karena lupa Alvin kuliah di Sastra Inggris. "Sori, gue lupa."

"Ngomong-ngomong, kenapa tampang lo?" tanya Alvin tiba-tiba seperti menyadari sesuatu. "Apanya yang sakit?"

"Apaan, sih, lo!" sahut Rio sambil nyengir. "Gue baik-baik aja."

"Oh, syukur deh. Tapi kenapa muka lo ruwet banget? Oh, gue tau, deh. Pasti ada hubungannya sama cewek anak kost lo itu," tebak Alvin, dan Rio tak menjawab. "Bener, kan?"

"Kayaknya dia suka sama gue, Vin," kata Rio. "Nyusahin aja."

"Dari awal, harusnya lo jauhin dia," ujar Alvin. "Kecuali, kalo lo juga punya perasaan sama dia."
Rio tak segera menjawab.

"Gue nggak bisa punya perasaan sama siapa pun, Vin," ucapnya kemudian.

"Rio, lo tau nggak jatuh cinta itu apa?" tanya Alvin, membuat orang yang ditanya olehnya itu hanya bisa mengernyit. "Artinya, lo jatuh ke dalam cinta tanpa disengaja. Jadi, walaupun lo nggak mau jatuh cinta, lo bakalan tetep jatuh."

Rio terdiam mendengar perkataan Alvin, kemudian tertawa miris.

"Vin, lo nggak ngerti juga, ya? Gue nggak bisa jatuh cinta, atau apa pun itu, sama siapa pun. Gue nggak bisa mementingkan perasaan gue sendiri. Jadi, tolong, berhenti ngomong omong kosong kayak yang tadi," kata Rio. Dia mengeluarkan rokok dan menyalakannya dengan tak sabar.

Alvin menatap Rio kasihan. Kasihan karena walaupun ingin, temannya itu tak bisa lagi merasakan kebahagiaan, meskipun cuma sedikit.

***

Lagi-lagi, Rio pulang tanpa hasil, tetapi dia tak mempermasalahkannya. Langkahnya terhenti di tangga, teringat pada wajah sembab Ify tadi pagi. Rio sama sekali tak ingin bertemu dengannya, tetapi dia tak punya pilihan lain karena di luar hujan dan Alvin harus bekerja malam ini. Rio menggigit bibir bawahnya ragu.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ? Ngehalangin jalan, tau!" kata seseorang di belakangnya membuat Rio terkejut. Rio menoleh dan ternyata Ify. Kepalanya terbungkus handuk dan wajahnya tampaknya sudah baik-baik saja.

"Oh," kata Rio setelah menyadari kalau dia masih menghalangi jalan, lalu berjalan naik. Ify mengikutinya dari belakang. Rio melirik cewek itu dari ekor matanya.

"Keran di sini macet, nggak tau kenapa. Jadi, kalo mau mandi, nebeng aja di rumah Tante Winda. Dia juga nggak ada, lagi ke tempat mertuanya," kata Ify lagi. Rio hanya menggumam tak jelas untuk menanggapinya. Dia masih menatap Ify heran.

Ify balas menatap Rio, kemudian menghela napas.

"Kenapa? Kamu berharap aku masih sedih?" tanya Ify membuat Rio segera mengalihkan pandangannya. Dia lalu sibuk mencari kunci. Ify menghela napas lagi. "Aku orangnya sensitif. Jadi, lain kali jangan ngomong sekejam itu."

Rio mengernyit, menatap Ify yang sudah tersenyum jahil sambil melangkah masuk ke kamarnya. Rio menggeleng-gelengkan kepalanya bingung, kemudian masuk ke kamarnya.

Rio melemparkan ranselnya ke kasur dan membuka sweternya. Beberapa detik kemudian terdengar suara lagu mengalun dari kamar Ify, disusul oleh suara cempreng yang memekakkan telinga. Rio terkekeh pelan, sambil duduk bersandar pada dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar Ify.

Apa pun mantra yang dipakai cewek ini, jelas-jelas Rio tidak bisa menghindarinya. Namun, sesakit apa pun, Rio harus bisa menangkalnya. Mereka tidak punya masa depan. Setidaknya, Rio yang tidak punya.

***

Ify sedang menyapu depan kamarnya saat Rio keluar kamar dengan wajah bangun tidur dan rambut acak-acakan. Ify menatap sosok itu lekat-lekat. Semalam, Ify sudah memutuskan untuk menerima sikap bunglon Rio. Mungkin, Rio punya masalah sehingga membuatnya cepat naik darah. Kalau sudah begitu, Ify akan mendiamkannya untuk beberapa saat lalu mengajaknya ngobrol lagi kalau 
Rio sudah tenang. Selama ini yang terjadi seperti itu, jadi Ify tak perlu khawatir.
Rio menoleh, menatap Ify dengan mata setengah tertutup.

"Lo liatin gue selama apa pun juga, gue nggak bakal naksir sama lo," ujar Rio kejam membuat Ify menganga.

"Eh! Pe de banget, sih! Ntar kena karma baru tau rasa, kamu!" sahut Ify sebal, sementara Rio menguap lebar sambil berjalan ke kamar mandi.

Begitu Rio menghilang di balik pintu kamar mandi, Ify tersenyum. Memang, beginilah harusnya menghadapi seorang Rio. Ify bersiul senang sambil masuk ke dalam kamar dan melompat-lompat heboh. Tiba-tiba, dia tak sengaja menabrak rak buku kayu miliknya, tangannya menggapai mencari pegangan, tetapi malah memagang rak buku gantung yang ikut patah. Rak itu jatuh bergedebukan. Kepala Ify malah sempat tertimpa kamus John Echlos yang tebalnya na'udzubillah dan patahan rak.

"Aduuuhhhh...," rintihnya sambil memijat kakinya yang keseleo dan tertimpa rak.

Tiba-tiba, Rio sudah ada di depan pintu kamar Ify, dan menatap Ify datar.

"Kurang bego apa, sih, lo," komentarnya pendek dengan wajah mengejek, lalu berjalan masuk ke kamarnya.

"Kurang ajaaar!" sahut Ify sambil melemparinya buku, tetapi Rio sudah keburu masuk kamar.

Ify menyingkirkan rak yang patah dari kakinya, sambil merangkak dan membereskan buku-bukunya. Ify menatap rak gantungnya sedih. Tiba-tiba, sesuatu yang hangat mengalir dari dahi Ify. Ify menyeka dahinya sembarangan, dia mendadak terpaku melihat darah di punggung tangannya.Ify bengong sebentar, kemudian berteriak histeris.

Rio menghela napas dari kamar sebelah. Apa lagi, sih, yang dilakukan cewek itu? Rio menutup telinganya dengan headphone, lalu menyetel volume iPod-nya keras-keras sambil merapikan kaset-kaset yang bertebaran di atas kasurnya.

Tahu-tahu, Rio merasakan getaran. Tadinya, Rio berpikir kalau itu gempa bumi, tetapi getaran itu halus dan hanya sebentar, dan sepertinya berasal dari kamar sebelah. Rio melirik dinding sebelahnya, melepas headphone-nya, kemudian beranjak untuk menegur cewek sebelah kamarnya itu karena terlalu berisik. Rio membuka pintu kamarnya, dia bergerak ke kamar Ify yang pintunya masih terbuka lebar.

"Oi, lo berisik amat...," Rio tak jadi meneruskan kalimatnya dan melongo melihat Ify yang sudah terbaring tak sadarkan diri di lantai bersama buku-buku. Rio segera menghampiri Ify, dia mengguncang-guncang tubuh cewek itu.

"Woi! Woi! Lo kenapa?" sahut Rio panik. Dia lalu memeriksa tubuh Ify dan kaget saat melihat dahi Ify sudah berdarah. Rio menepuk-nepuk pipi Ify. "Woi! Sadar!"

Setelah menyadari bahawa Ify tidak akan bangun, Rio segera mencari kain untuk menutup luka Ify. Dia menggendong Ify dan membawanya ke bawah. Ozy yang sedang membetulkan motor menatap Rio bingung.

"Lho, ada apa, Yo?" sahutnya.

"Ketimpa rak buku," jawab Rio cepat. "Rumah sakit yang deket sini di mana ya?"

"Ya, gue tau! Udah, biar gue aja yang anter Ify! Bentar, gue ambil kunci motor dulu!" sahut Ozy sambil buru-buru masuk dan keluar dengan memegang kunci motor. "Lo nyusul aja pake motornya Ify! Sana cepat ambil kuncinya!"

Rio mengangguk, meletakkan Ify di motor Ozy, dan segera naik ke atas lagi untuk mengambil kunci motor Ify. Beberapa detik kemudian, dia sudah menyusul dan mengikuti Ozy dari belakang sambil mengawasi kalau-kalau Ify terjatuh. Ozy memegang Ify dengan satu tangan dan berjalan pelan agar dia tidak terjatuh.

Sesampainya di rumah sakit, Ify segera masuk UGD dan menerima perawatan, sementara Ozy dan Rio menunggu di luar. Rio menatap kausnya yang terkena darah Ify.

"Anaknya emang agak ceroboh," kata Ozy membuat Rio menoleh. "Jadi, tolong sekalian dijagain, ya."

Rio hanya bisa diam, tak menjawab.

Tak berapa lama kemudian, pintu UGD terbuka dan Ify berjalan keluar dengan dahi diplester. Rio dan Ozy sama-sama bengong.

"Kata dokter, aku cuma pingsan karena terlalu syok ngeliat darah," katanya malu-malu. "Sori ya, udah ngrepotin."

Ify nyengir bersalah dan Ozy menghela napas lega. Rio sendiri langsung berdiri.

"Kalo gitu, ayo pulang," katanya pendek sambil berjalan mendahului mereka.

Ify menatap punggung Rio sebal, dia melirik kakinya yang juga diperban.

"Sakit, lho," gumamnya pelan. Ify tersenyum geli, lalu menepuk kepala Ify.

"Sini, gue bantuin," katanya sambil mengalungkan lengan Ify ke pinggangnya dan membantunya berjalan.

***


Rio menatap langit-langit kamarnya hampa. Kejadian tadi benar-benar membuatnya pusing. Kenapa dia harus sepanik itu pada cewek yang baru dikenalnya? Kenapa setiap Rio mau menjauh ada-ada saja yang terjadi?

Mendadak, terdengar suara-suara berisik dari kamar sebelah. Rio melirik dinding di sebelahnya sebal. Kali ini apa lagi?

Rio baru mau memejamkan matanya ketika suara-suara itu malah tambah keras dan mulai mengganggu. Rio berdecak kesal, dia bangkit dan keluar kamar. Lalu dia mendapati Ify sedang berjongkok di depan kamarnya dengan memegang palu. Di depannya ada rak buku yang patah dan paku-paku yang beserakan.

Rio mengernyit heran. Ify menoleh sebentar, kemudian kembali mencoba untuk menyatukan bagian yang patah di raknya. Ify mengetukkan palu kuat-kuat dan seketika pakunya bengkok.

"Nggak bisa besok aja, ya? Berisik, nih," kata Rio.

"Aku nggak bisa tidur kalo ada yang belum selesai kayak gini. Lagian, kamarku udah jadi lautan buku, tau," ujar Ify sambil kembali mencoba memalu pakunya, tetapi lagi-lagi tidak berhasil.

Rio menatap Ify yang sedang mencoba lagi. Rio kemudian mengambil palu dari tangan Ify kemudian berjongkok di sebelahnya. Ify menatap Rio takjub. Rio mencoba untuk tidak mempedulikannya. Dia mengambil paku, lalu memakunya dengan mudah.

"Hmm... ternyata baik juga, ya," gumam Ify membuat Rio hampir memaku jarinya sendiri.

"Ini supaya cepet selesai. Atau gue yang nggak bakal bisa tidur," kelit Rio. Ify mengangguk-angguk jahil.

"Yang tadi siang, makasih ya," ujar Ify kemudian.

"Bukan apa-apa," balas Rio sambil cepat-cepat mengambil paku, berharap rak itu cepat selesai. 

"Tapi, pingsannya nggak penting. Cuma, lo pikir lo enteng?"

Ify terkekeh pelan. "Aku emang punya fobia sama darah. Setahun yang lalu, aku liat gimana ayah dan ibuku berdarah-darah. Sejak itu aku takut ngeliat darah," jelas Ify membuat Rio terdiam sejenak. Dia kemudian melanjutkan memaku.

"Tapi tadi kamu khawatir, kan, sama aku?" lanjut Ify lagi membuat palu Rio berhenti di udara. "Kata Ozy muka kamu pucat banget waktu ngangkat aku. Seneng, deh."

Rio tak berkomentar apa pun menghadapi cengiran Ify. Dia mengetuk-ngetuk paku cepat-cepat. Rio takut kalau sedikit lebih lama bersama cewek ini, dia akan mulai berharap untuk mendapatkan setitik kebahagiaan.

"Ayo ngaku, deh, Yo, waktu kamu liat aku pingsan tadi, kamu pasti panik berat, kan? Kamu pasti nyesel udah ngejek-ngejek aku sebelumnya...," ujar Ify lagi. "Makanya, jangan suka ketawa di atas penderitaan orang lain..."

Mungkin sedikit waktu saja boleh. Rio melirik Ify yang sedang mengamati perban di kakinya. Mungkin, Rio bisa menghabiskan waktu bersama gadis ini, walaupun hanya sebentar saja.
"Kakiku udah kayak kena penyakit kaki gajah, lho, Yo. Gede banget, biru-biru lagi. Tapi, enaknya, besok nggak ke kampus, deh..."

Semua beban Rio seperti terangkat saat bersama gadis ini, seakan Rio baik-baik saja. Kalau gadis ini begitu sulit dijauhi, kenapa Rio tidak membiarkannya saja? Kenapa harus bersusah payah menjauhinya?

"Rio?" tanya Ify membuat Rio tersadar. Ify mengangguk-angguk dengan tampang jahil. "Nah ya... Kena karma, kan?"

Blush.

Rio jadi salah tingkah, buru-buru mengetuk paku yang dipegangnya, tetapi justru ibu jarinya yang terpukul. Rio segera meringis kesakitan.

"Ya ampun Rio!" seru Ify panik. "Kamu nggak apa-apa, kan?"

Rio menggeleng cepat, tetapi ibu jarinya sudah mengeluarkan darah. Wajah Ify langsung pucat.

"A... aku cari tisu dulu!" sahut Ify yang segera masuk ke dalam kamarnya dengan langkah berjinjit. Tak berapa lama kemudian, dia sudah keluar sambil membawa tisu dan kemudian menyodorkannya pada Rio. rio segera menggunakannya untuk menghentikan pendarahan. "Ng... aku ambilin plester, ya!" ujar Ify lagi.

Ify segera masuk lagi ke kamarnya untuk mencari plester. Rio menekan tisu itu sambil menahan perih di ibu jarinya. Darah dengan cepat merembes di tisu itu, dan saat itulah Rio tersadar. Tubuh Rio tiba-tiba membeku. Jari-jari tangannya dingin. Matanya terpancang pada tisu yang sudah berwarna merah.

"Rio, ini plesternya. Sini, biar aku pasang..."

Rio menepis tangan Ify yang akan menempel plester. Ify menatap bingung rio yang membatu dan berkeringat dingin.

"Rio? Kenapa..."

Rio bangkit mendadak, bergerak ke kamarnya tanpa berkata sepatah kata pun. Dia masuk ke kamarnya, meninggalkan Ify yang masih bingung. Rio mengunci pintu kamarnya, Kemudian terduduk lemas di lantai.

Memang tidak bisa. Sebentar saja tidak bisa. Sedetik pun tak boleh. Rio memang tidak ditakdirkan untuk mendapatkan kebahagiaan apa pun.

Rio menatap tisu di tangannya nanar, mengambil korek api dan menyalakannya, lalu membakar tisu itu. Tisu yang sebelumnya putih bersih, kini telah ternodai oleh darah kotor yang dimilikinya. Air mata Rio tiba-tiba menetes, menyadari bahwa seharusnya dia tak pernah berharap apa pun.


-Masih nyambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar