Rabu, 19 Oktober 2011

The Truth About Forever (versi ICIL) Cap. 1 : Neighbour From Mars

The Truth About Forever
(Dendam Membuatmu Kesepian)


Chapter 1 : Neighbour From Mars

Sebelumnya nie ya, nie cerita tu buatan Mbak Orizuka, pada kenal kan? yups penuis tuop itu lho. (Idola ku jg. gaya tulisannya simple, dan aku suka.) 
nie cerita TOP BGT. ag aja ampe nangis-nangis. makanya q aku buat Versi ICIL. (Aku juga penggemar ICIL. dan jagoku so pasti, RIO PUBBAY.
monggo dinikmati yo.... OKE......

Keep Reading!!!!

Chapter 1

NEIGHBOUR FROM MARS

Kereta jurusan Bandung berjalan tenang di antara persawahan. Di dalam kereta itu, seorang cowok berambut hitam pekat berumur dua puluh satu tahun tertidur dengan mulut setengah terbuka. Suara dentum-dentum keras terdengar dari headphone besar yang merosot dari telinganya dan malah melingkari lehernya.

Seorang anak perempuan berumur sekitar empat tahun menatap wajah cowok di depannya itu dengan cermat. Ibu dari anak itu juga sedang terkantuk-kantuk. Anak perempuan itu bangkit, mendekati cowok di depannya. Dia memerhatikan iPod yang ada di tangan cowok itu, lalu menjulurkan tangan, bermaksud memegangnya.

"Jangan," kata cowok itu membuat anak perempuan itu tersentak kaget. Namun mata cowok itu masih terpejam. Rupanya, dia hanya mengigau.

Anak perempuan itu menghela napas lega, lalu kembali menjulurkan tangannya, penasaran. Tiba-tiba, cowok itu bergerak gelisah.

"Jangan! Lepasin gue! JANGAN!" teriak cowok itu, sambil membuka mata kejoranya-nya yang sejak tadi tertutup.

Si anak perempuan tadi terlonjak dan akhirnya jatuh terduduk dengan wajah pucat pasi.
"Ada apa?" seru ibu dari anak itu kaget. Dia terbangun karena teriakan keras si cowok. "Ada apa, Oik?"

Anak perempuan bernama Oik itu langsung menangis, terlebih karena kaget. Ibunya segera menenangkannya, lalu melirik tajam ke arah cowok bermata hitam kejora tadi.

Rio, si cowok tadi, masih terlalu kaget dengan mimpinya. Mimpi buruk yang sudah sekian tahun mengganggunya. Rio menyeka keringat dingin yang mengalir deras di wajahnya, lalu menatap si ibu yang juga masih menatapnya tajam.
"Oh, maaf, Bu," kata Rio setelah melihat Oik yang masih terisak meski dia tak tahu persis apa kesalahannya.
Si ibu tidak begitu peduli dengan permintaan maaf  Rio, bahkan membuang muka. Rio yang merasa bersalah, hanya bisa menggigit bibir sambil membetulkan posisi duduknya. Setelah memastikan si ibu tidak menatapnya lagi, Rio membuang pandangannya ke luar jendela. Kereta masih melintasi persawahan.

Rio menghela napas berat mengingat mimpinya tadi. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan kirinya erat.

Rio sudah sampai di Bandung, kota yang dua hari lalu tidak pernah terpikirkan akan menjadi kota tempat tinggalnya. Hari itu, temannya memberi tahu tempat tinggal seseorang yang sedang dicarinya.

Rio berjalan keluar stasiun, lalu menatap ke sekeliling. Di depannya jalanan ramai dipenuhi orang yang berlalu lalang, dia sama sekali tak tahu menahu mengenai kota ini.
Nekat. Itulah modalnya datang ke kota ini. Rio tak bisa mundur lagi. Dia sudah mendapatkan info penting tentang seseorang yang dicarinya, dan dia tidak mau kehilangannya lagi.

Rio menghela napas, memanggul ranselnya, dan mulai berjalan untuk mencari bus kota.

Rio menatap rumah-rumah di depannya yang tampak seperti bangunan kos. Dia sudah selamat setelah penjual minuman di depan stasiun menyuruhnya untuk naik bus nomor empat. Sekarang, dia berada di kawasan kampus Universitas Bandung dan berniat untuk mencari kos.

Rio tidak memiliki banyak uang. Dia memiliki simpanan, tetapi tidak akan dihabiskannya untuk sebuah kos bertingkat yang mewah. Dia akan mencari kos dengan harga sewa semurah-murahnya. Tidak perlu bagus, dia toh, tidak akan lama berada di kota ini. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, Rio akan segera pergi.

Setelah dua jam mencari, Rio berhenti untuk makan di sebuah warung makan. Agar hemat, Rio hanya memesan makanan yang harganya paling murah, yang penting bisa untuk mengisi perutnya yang sejak tadi pagi belum diisi.

Rio bertanya pada si penjual di mana kos cowok yang murah. Si penjual menyarankan untuk pergi ke tempat kenalannya yang ada di gang sebelah. Rio pun mengikuti sarannya.

Dan, di sinilah dia berada, di depan sebuah bangunan reot yang sepertinya hanya tinggal menunggu waktu untuk rubuh. Bangunan itu bertingkat dua, tampak menyeramkan karena hampir semua catnya mengelupas aneh. Atap bangunan itu juga tampak seperti akan jatuh.

"Ada nih, yang tinggal di sini?" Rio bergumam sangsi. Namun, dia tetap melangkahkan kakinya masuk.

"OH, MAU KOS? BOLEH-BOLEH!" sahut ibu kos membuat Rio merasa headphone-nya akan sangat berguna untuk menghindari kerusakan telinga. Ibu itu terlalu histeris. Rio merasa curiga, jangan-jangan kos itu tidak berpenghuni.

"Saya mau masuk hari ini juga, Bu," kata Rio lagi.

"MASUK HARI INI JUGA? OH, BOLEH!" sahut ibu yang belakangan ini diketahui bernama Winda itu lagi, matanya sekarang berbinar-binar. Bahkan nyaris berkaca-kaca.

"Saya juga mau bayar lunas sekarang," kata Rio lagi, lalu dengan segera menutup telinganya sebagai antisipasi.



Rio menatap simpati. Winda menyeka air matanya, lalu menggenggam tangan Rio erat. Rio tak sempat menghindar. "Ng... siapa tadi?"

"Mario... Mario Stevano, tapi bisa di panggil Rio," sahut Rio..

"Mm, Rio... kos saya ini udah hampir nggak ada penghuninya... Tinggal dua orang di bawah dan satu orang di atas... Kamu liat sendiri, kan, kondisi kos ini... Nggak ada yang mau kos di sini...," ratap Winda.

"Terus kenap..."

"Terus, saya juga nggak punya duit untuk renovasi...," potong Winda. "Jadi, satu per satu semua pada pergi. Sisanya bertahan karena mereka pada nggak mampu bayar kos-kosan yang lain. Saya kasihan sama mereka..."

Rio mengangguk-angguk dengan pandangan kosong. Dia seolah mengangguk hanya untuk formalitas. Winda sekarang sudah terisak.

"Tapi! Kamu tiba-tiba datang menyelamatkan saya! Terimakasih! Saya benar-benar berterimakasih banyak...," sahutnya, membuat Rio tersenyum kaku.

"Kalo gitu... boleh saya tau di mana kamar saya?" tanya Rio setelah memberi uang kepada Winda. Ternyata biayanya amat sangat murah, jauh di luar perkiraan Rio.

"Oh! Kamar kamu di lantai dua, nggak apa-apa, ya?" kata Winda lagi.

"Nggak apa-apa. Tapi, emangnya kalo lantai dua kenapa?" tanya Rio, curiga.

"Ng... kamar yang dibawah, kecuali yang di tempatin, semua rusak, cuma sisa satu kamar di atas yang bisa dipakai," kata Winda.

"Oh, oke. Nggak apa-apa."

"Tapi, masalahnya, kamar yang di atas itu... Ng... gimana yah... kamar cewek," kata Winda yang sukses membuat Rio cengo.

"Hah? Jadi, ini kos cewek?" tanya Rio yang merasa capek karena sudah mengobrol panjang lebar.

"Bukan, ini kos campuran. Yang cowok di bawah, yang cewek di atas. Tapi berhubung yang di bawah pada rusak, jadi yang sisa cuma di atas," kata Winda sambil nyengir bersalah. "Tapi, nggak apa-apa, kok. Si cewek ini anak baik!"

Winda melongo. Sebenarnya, yang harus merasa terancam itu siapa?

"Bu Winda, saya bukannya nggak mau, tapi apa cewek itu mau?" tanya Rio lagi.

"Oh, kamu tenang aja! Dia pasti mau, kok, pasti mau! Orang dia keponakan saya!" sahut Winda yang kemudian kembali membuat Rio melongo. Orang macam apa yang membiarkan orang asing tinggal di sebelah keponakannya sendiri?
"Tapi..."

"Sudah, sekarang kamu naik aja ke lantai dua. Kamar kamu nomor sebelas! Kalo kamu butuh apa-apa, tinggal datang ke sini aja, ya?" kata Winda tak sabar.

Rio mengangguk, lalu bangkit sambil melirik Winda yang sedang sibuk menghitung uang. Dia menghela napas, memanggul ranselnya, lalu bergerak keluar rumah ibu kos.

"Duhh! Gue kenapa, sih?"

Sebuah teriakan cempreng terdengar dari dalam kamar nomor sepuluh. Penghuninya, Ify, sedang tergeletak di lantai sambil menjambaki rambut sebahunya dengan frustasi.

Tak lama, ia bangun dan menatap komputer yang ada di depannya. Di layar komputer itu, terdapat tulisan-tulisan yang masih menunggu untuk diselesaikan. Ify memelototi tulisan itu, berharap dengan begitu dia akan mendapatkan inspirasi untuk meneruskannya.

"Oh, inspirasi! Datanglah!" serunya lagi sambil mengatupkan kedua tangan dan mengarahkannya ke langit-langit seperti sedang menjampi-jampi orang.

Ify masih menatap layar komputernya, tapi tak ada inspirasi apa pun yang datang. Perempuan itu menghela napas, meraih gelas di sebelahnya, lalu meminum isinya: kopi. Cairan hitam yang akhir-akhir ini selalu diminumnya. 

Ify melirik papan target berhiaskan gambar chappy kesukaannya yang ada di sebelah komputer itu. Di sana tertulis: Menjadi Penulis Best-seller. Rukia mendesah. Jangankan best-seller, jadi penulis saja belum tentu.

"AAAARRGGGHHHH! SEBEEEELLL!" seru Ify membuat Rio yang sedang lewat di depan kamarnya terlonjak kaget.

"Ada apaan, sih?" gumam Rio. Dia bergerak menuju sebuah kamar yang pintunya sudah penuh ditempeli stiker.

Rio menengadah untuk melihat nomor kamar itu, sebelas. Ya, benar, ini kamarnya. Rio melirik kamar di sebelahnya. Pintu itu ditempeli hiasan bertuliskan nama pemiliknya: Ify.

Rio memasukkan kunci di tangannya ke lubang kunci. Sebelum pintu kamarnya terbuka, pintu kamar sebelah sudah terbuka duluan.

Ify keluar kamar sambil menguap lebar. Dia melakukan gerakan-gerakan kecil untuk meregangkan ototnya, belum menyadari kalau ada seseorang di sebelahnya yang sedang menatapnya heran. Ify meregangkan otot leher dengan menoleh ke kiri dan ke kanan, dan saat itulah, dia bengong mendapati seorang cowok asing sedang menatapnya.

Ify mengerjapkan matanya sesaat, lalu berkata, "Elo siapa?"

"Yang mau kos di sini," jawab Rio pendek.

"Oh," ujar Ify sambil mengangguk-angguk, kemudian kembali bersenam-senam. Rio memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk ke kamarnya. Sesaat kemudian, Ify tersentak. "HEEH? LOE MAU KOS DI SINI?"

Ify segera mendatangi Rio, tetapi pintu kamar Rio terbanting tepat saat Ify hendak bicara. Ify bengong, ia menggedor-gedor pintu itu. Tak ada jawaban.

Ify memandang pintu itu geram, lalu segera tahu siapa biang keladi dari semua ini. Dia langsung berderap ke bawah.

"Tante!" teriak Rukia setelah sampai di rumah tantenya yang tak lain tak bukan adalah Winda, si ibu kos. "Kenapa ada cowok yang ngekos di sebelah kamarku?"

"Ya, nggak apa-apa, kan, Ify," kata Winda santai sambil menghitung uang yang sudah dihitungnya untuk kesekian kali. "Anaknya baek, kok."

“Tante tau dari mana kalo dia anak baek? Emangnya dia kenalan Tante?"

"Bukan," jawab Winda. Sikapnya yang masih sesantai sebelumnya, membuat Ify melongo.

"Bukan? Terus kenapa Tante bolehin dia ngekos di sebelahku?"

"Ify, kamu tau sendiri, di bawah kamarnya udah nggak ada yang bisa di pake. Tinggal kamar yang ada di sebelah kamu," kata Winda lagi.

"Iya, tapi itu, kan, khusus buat cewek! Yang tadi, kan, cowok!" Ify masih berusaha memprotes.

"Dia bayar lunas, Ify," jawab Winda yang semakin membuat Ify menganga.

"Tante!" teriak Ify lagi hingga membuat perhatian tantenya itu teralihkan dari uang.

"Ify, kamu tau, kan, Tante lagi kesulitan uang. Anak-anak kos udah nggak ada yang bayar. Sekarang, ada orang yang mau bayar, yah, Tante nggak bisa nolak," jelas Winda yang membuat Ify tak jadi protes lagi.

"Iya, sih, tapi... apa cowok itu bisa dipercaya? Kalo ntar dia ngapa-ngapain aku, gimana?" tanya Ify, intonasi suaranya sudah menurun.

"Kalo dia ngapa-ngapain kamu, ya malah enak, kan, orangnya cakep ini," ujar Winda santai. Tentu saja Ify melotot mendengar jawaban itu. "Iya, iya. Kalo ada apa-apa, kamu tinggal teriak aja. Kamu jangan lupa selalu kunci pintu." Windai cepat-cepat melanjutkan kalimatnya.

Ify menghela napas, tak tahu lagi harus berkata apa. Sepertinya, mulai sekarang, dia harus terbiasa dengan makhluk asing yang tinggal di sebelahnya.

Ify naik ke kamar dengan tubuh lunglai. Sebenarnya, Ify merasa ngeri harus bersebelahan dengan cowok asing, tetapi berhubung Ify tinggal di sini secara gratis, dia tak bisa protes. Memang benar, tantenya sedang mengalami kesulitan keuangan, jadi Ify harus maklum kalau ia menerima siapa saja yang membayar untuk kos sebobrok ini.

Ify sampai di lantai dua, menatap pintu sebelah kamarnya dengan sebal. Di antara dua puluh kamar, kenapa harus kamar sebelahnya yang masih bisa dipakai?

Ify berdecak sebal, dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Masih banyak yang harus dikerjakannya daripada memikirkan makhluk tidak jelas di sebelah kamarnya itu. Menjadi penulis best-seller, misalnya.

Baru saja ia hendak masuk, pintu di sebelahnya terbuka. Rio keluar dengan handuk tersampir di bahunya. Ify dan Rio saling tatap, seolah mempunyai pertanyaan untuk ditanyakan kepada satu sama lain.

"Elo..."

"Kamar mandinya di mana?" tanya Rio sebelum Ify sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Hah? Oh, di ujung situ," kata Ify sambil menunjuk ruangan di ujung gang.

Rio segera bergerak ke sana. Ify tiba-tiba tersadar. "Eh! Woi, woi! Jangan pake kamar mandi di situ!"

Rio berhenti dan menoleh. "Kenapa?" tanyanya.

"Itu kamar mandi cewek! Kamar mandi cowok yang di bawah!" sahut Ify lagi.

"Tapi kamar gue, kan, di lantai ini, jadi kamar mandinya yang di lantai ini juga dong," Rio membalas.

"Hah? Tapi! Itu kan... kamar mandi cewek!" Ify masih bersikeras meski tak punya alasan yang lain.

"Emang apa bedanya, sih? Sama-sama kamar mandi, kan?" Rio bertanya tak sabar.

"Ya, tapi, kan... jijik!" sahut Ify sambil membayangkan hal-hal apa yang bisa dilakukan cowok itu di kamar mandi. Kamar mandi yang sudah beberarapa bulan terakhir menjadi kamar mandi pribadinya.

"Oh...," gumam Rio. Gumaman itu membuat Ify lega karena sepertinya cowok itu mengerti. Namun, perkiraannya meleset karena setelah itu Rio malah melengos dan tetap bergerak menuju kamar mandi di depannya.

"Woi!" teriak Ify, tapi Rio sudah keburu menghilang di balik pintu kamar mandi. Ify cuma bisa melongo, ia merasakan firasat buruk tentang kehidupannya ke depan bersama cowok aneh itu.
Baru beberapa detik, Rio keluar lagi dari kamar mandi, membuat Ify menatapnya dengan heran. Rio melambai-lambaikan tangan memanggilnya.

"Apa?" tanya Ify sebal.

"Tolong ya, peralatan perang lo diambil dulu," ujar Rio.

Ify mengernyit tak mengerti. Namun, beberapa detik kemudian, Ify langsung teringatkan pakaian dalamnya yang sejak mandi tadi pagi belum diambil.

"HUAAA!" seru Ify histeris dan segera berderap menuju kamar mandi untuk mengamankan pakaian dalamnya yang menggantung di balik pintu. Dia menatap curiga pada Rio yang tampak malas.

"Makasih," kata Rio pendek, dia segera masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Ify yang melongo parah. Detik berikutnya, Ify tersadar.

""WOII! Elo tadi liat, ya? Heeii!" seru Ify sambil mengedor-gedor pintu kamar mandi, tapi yang terdengar hanya bunyi cebar-cebur orang mandi.

Ify semakin tak bisa berkonsentrasi pada karya tulisnya setelah kejadian aneh tadi sore. Tetangga barunya tiba-tiba datang, memakai kamar mandinya, dan melihat pakaian dalamnya. Sambil berbaring di lantai, Ify menghela napas putus asa.

"Kenapa, sih, saat gue butuh konsentrasi, malah dateng orang aneh...," gumamnya kesal.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah-langkah kaki di luar. Menurut Ify, itu pasti langkah si cowok aneh. Tadi orang itu pergi keluar. Iseng, Ify membuka pintunya dan melongok ke kiri. Rio sedang mencari-cari kunci kamarnya. Di tangannya terdapat plastik besar berisi berbagai macam mie cup dan air mineral.

"Elo bisa makan di rumah Tante Winda," kata  membuat Rio menoleh. "Semua anak kos makan di sana."

"Nggak usah," jawab Rio, sambil tetap mencari-cari kunci di seluruh kantongnya. Ify mengangguk-angguk pelan.

"Soal minum, bakal mahal, lho, kalo selalu beli satu literan. Elo bisa langganan galon di Tante Winda."

"Nggak perlu. Gue nggak bakal lama di sini." Kali ini Rio sudah mulai berkeringat dingin karena tidak menemukan kuncinya.

"Oh, gitu." Ify masih penasaran. "Kalo nggak bakal lama, kenapa ngekos? Pake bayar lunas, lagi."

Rio menghela napas panjang dan menatap Ify. "Gue punya alasan-alasan tertentu yang nggak harus gue bagi sama semua orang," jawabnya dingin yang langsung membuat Ify cemberut.

"Iya, iya, sok rahasiaan amat," ujar Ify keki, dan Rio kembali mencari kuncinya. "Terus, elo asalnya dari mana?"

Rio putus asa mencari kuncinya. Iseng, dicobanya membuka pintu. Ternyata, pintu itu tidak dikunci dan kuncinya masih tergantung di dalam. Rio menghela napas lelah. Dia menoleh pada Ify yang tampaknya masih menunggu jawaban.

"Dari sana," jawab Rio asal sambil menunjuk ke atas. Ify mengikuti arah jari Rio sambil menatap langit-langit. Wajahnya mengisyaratkan kebingungan.

"Hah? Dari mana?" tanya Ify bingung. "Oh, gue tau. Jakarta, ya?"

"Bukan," kata Rio, hampir mendengus.

"Oh... Atau mungkin dari Depok?" tebak Ify lagi

"Bukan. Gue dari sana," kata Rio sambil menunjuk ke atas lagi. "Dari Mars."

"Hah?" Ify bingung, tetapi Rio sudah masuk ke dalam kamarnya sebelum Ify sempat bertanya lagi. 

Ify menggeleng-geleng simpati. "Hhh... udah gue kira. Anak ini pasti punya kelainan jiwa," gumamnya lagi sebelum melangkah masuk ke dalam kamarnya.


T_B_C

Tidak ada komentar:

Posting Komentar