Jumat, 13 Januari 2012

The Truth About Forever (versi ICIL) Cap. 14 : Will We Meet Again?

The Truth About Forever
(Dendam Membuatmu Kesepian)


Chapter #14
WILL WE MEET AGAIN?


Helo... hellooo....
cerbungnya lanjut ya!!!


____

Semalaman, Rio dan Ify tidak bisa tidur. Malam itu adalah malam terakhir Rio berada di kost ini, sekaligus malam terakhir Rio di Bandung. Ify dan Rio sama-sama duduk bersandar di dinding pembatas kamar mereka, merenung di kamar masing-masing.

Dan pagi ini, Rio sudah siap untuk berangkat ke stasiun. Sedangkan Ify masih ada di kamarnya. Dia bercermin dan mendapati wajah muramnya. Ify menghela napas, lalu mencoba untuk tersenyum. Ify tidak boleh terlihat sedih di hadapan Rio. Ify harus terlihat kuat.

Ify kemudian keluar kamar dan mendapati Rio sedang berjongkok memakai sepatu. Seketika itu juga, Ify ingin menangis, tetapi berusaha ditahannya.

Rio menoleh, dan dalam sekali melihat Ify, dia bisa menyimpulkan bahwa gadis yang kini dicintainya itu juga tidak bisa tidur, sama seperti dirinya. Ify nyengir melihat Rio.

"Keretanya pukul 8, ya?" tanya Ify. Rio mengangguk. Dia sudah selesai mengikat sepatunya, lalu berdiri.

"Masih ada waktu," ujar Rio setelah melirik jam tangannya. "Ke atas, yuk?"

Ify mengangguk, mengikuti Rio naik ke lantai tiga. Ify sangat sedih melihat punggung Rio. Seolah Rio akan pergi dan tidak akan kembali lagi. Seolah dirinya tak akan bisa lagi memeluk tubuh pria itu, menatap lekat-lekat matanya, serta menikmati senyuman yang tersungging di wajah rupawannya. Dia juga pasti akan sangat merindukan suara Rio.
Benarkah semua akan berakhir hanya sampai di sini saja? Apakah dia tidak akan bisa bertemu dengan pria yang dicintainya itu lagi?

Ify segera menggeleng kuat-kuat, berusaha menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang baru saja dipikirkannya. Dan berusaha untuk berpikir positif. Semua akan baik-baik saja... Ya, setidaknya semua masih baik-baik saja...

"Ify," kata Rio sambil berbalik. Wajah tampannya tampak serius, dan Ify tahu akan ada pembicaraan yang tidak menyenangkan. "Lo tau, kan, gue bakal balik lagi," lanjutnya seolah bisa membaca pikiran-pikiran paranoid Ify.
Ify mengangguk pelan. Rio menghela napas, lalu bersandar pada pagar pembatas.

"Semalem gue berpikir... ternyata gue yang sekarang ini terlalu menyedihkan," kata Rio. "Nggak ada satu pun dari diri gue yang bisa dibanggain. Gue sama sekali nggak berguna."

"Itu nggak bener," sanggah Ify. Rio menggeleng.

"Gue emang nggak berguna, Fy—setidaknya untuk saat ini. Dan, gue yang sekarang ini nggak bakal punya kepercayaan diri untuk ada di samping lo," kata Rio lagi. Rio lalu menatap Ify dalam-dalam. "Fy, gue bakal meraih cita-cita gue."

Ify mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya.

"Kalo gue udah jadi sutradara, dan lo udah jadi penulis best-seller, ayo kita ketemu lagi," kata Rio lagi, dan pada detik berikutnya, setitik air mata jatuh ke pipi Ify. Ify cepat-cepat menghapus air mata itu, lalu tersenyum manis.

"Kalo gitu, janji, ya? Kalo kita udah sama-sama meraih cita-cita kita, kita ketemu lagi," ujar Ify sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Rio menyambut jari mungil Ify itu dengan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Ify. Rio
tersenyum simpul, kemudian meregangkan tubuhnya.

"Uwaah... Gue pasti kangen banget sama tempat ini," kata Rio lalu cepat-cepat nyengir pada Ify yang cemberut.

Tiba-tiba, Rio melihat sebuah taksi berhenti tepat di depan kost-nya.

"Ah, taksi pesanan Tante Winda," kata Ify. "Katanya dia yang bayarin buat nganterin kamu ke stasiun."

"Hah? Kenapa pake pesen taksi segala, sih?" tanya Rio bingung.

"Tanya tante, dong," kata Ify. "Ng... aku antar ke stasiun, ya?"
Rio menatap Ify, lalu mengacak rambut hitamnya.

"Nggak usah. Gue nggak mau liat tampang jelek lo pas nangis," kata Rio membuat Ify cemberut.

"Siapa juga yang bakal nangis?" balasnya membuat Rio tertawa. Ify terdiam beberapa saat sambil memain-mainkan jarinya. "Yo... Ntar jangan lupain aku, ya."

"Jangan bego lo," kata Rio sambil menjentik kening Ify. Yang benar saja! Mana mungkin dia bisa melupakan gadis yang sekarang berada di urutan paling atas dalam daftar orang-orang paling penting dalam hidupnya?

Rio melepas headphone besar yang sejak tadi melingkar di lehernya, dan kemudian memakaikannya pada Ify. Dia juga menyerahkan iPod-nya pada Ify yang terlihat bingung. "Nih, pegang. Ntar gue ambil lagi waktu gue balik ke sini, jadi jangan dirusakin."

Ify menatap bingung iPod di tangannya.

"Bener nggak apa-apa, Yo? Bukannya ini penting?" tanya Ify.

"Iya ini emang penting, ini suara hati gue," kata Rio sambil nyengir. "Makanya gue pinjemin. Ntar harus di dengerin."

Ify mengangguk. Tak berapa lama, Winda—sang ibu kost—memanggil dari bawah. Rio dan Ify segera bergerak turun. Ternyata di bawah, semua penghuni kost yang lain serta keluarga sang empunya kost sudah menunggu. Rio menatap Winda beserta Joe dan Debo—suami dan anak Tante Winda, juga Ozy dan Septian yang sudah nyengir padanya.

"Kami denger kalo hari ini lo mau pindah," kata Ozy. "Kok cepet banget, sih, Yo? Gue belum sempet ngajak lo muter-muter Bandung, lho."

"Lain kali aja kalo gue ke sini lagi, Zy," kata Rio.

"Kamu bakal ke sini lagi, Yo?" tanya Septian. Rio mengangguk.

"Lain kali kalau ke sini lagi, kau harus makan bersama kami, karena kalau tidak, kau tidak boleh masuk," kata Joe membuat Rio tersenyum.

"Terima kasih, Om," kata Rio.

"Wah, baru kali ini, lho, kita lihat Rio senyum," kata Winda yang langsung dibenarkan oleh semua yang ada di sana. Rio melirik Ify yang sudah nyengir.

"Ya sudah, itu taksinya udah nunggu. Ify ikut nganter nggak?" tanya Winda.

"Nggak, Tan, Rio nggak mau," kata Ify sementara Rio tersenyum kaku pada Winda yang terlihat bingung.

"Tante Winda, terima kasih untuk taksinya, seharusnya Anda tidak perlu repot-repot," kata Rio.

"Ah, nggak apa-apa, Rio. Lagi pula uang kost kamu, kan, masih sisa banyak," canda Winda membuat semuanya tertawa. Rio lalu memasukkan tasnya ke dalam taksi.

"Semuanya, terima kasih karena sudah menerima saya dengan sangat baik," ujar Rio, mulai berpamitan, lalu melirik Ify. "Saya pasti akan ke sini lagi."

Semua orang yang ada di sana pun mengangguk sambil tersenyum. Rio masuk ke dalam taksi dan membuka jendelanya. Rio menatap Ify yang sudah tidak tersenyum. Sesungguhnya, berat rasanya bagi Rio untuk meninggalkan Ify.

"Eh, awas lho, ya, jangan sampe bukunya nggak terbit-terbit," kata Rio membuat Ify cemberut.

"Kamu juga, jangan sampai filmnya nggak jadi-jadi," balas Ify tak mau kalah, membuat Rio terkekeh. Rio lalu terdiam sebentar.

"Jaga diri lo, ya, Fy," kata Rio kemudian sambil tersenyum lembut. Suaranya kali ini sungguh berbeda dari suara Rio biasanya, suaranya kali ini terdengar sangat lembut dan sarat akan kasih sayang. Pancaran matanya yang sedikit sendu juga seolah menggambarkan kerinduan yang dalam.

"Kamu juga. Jaga kesehatan, ya. Minum obat yang teratur," ujar Ify. Rio mengangguk.

Rio menatap mata Ify sebentar, lalu menghela napas. Dia pasti akan sangat merindukan mata indah itu. Dan sekarang, sudah saatnya bagi Rio untuk pergi. Rio menatap ke sopir taksi, memberinya sinyal untuk berangkat.
"Dadaaah~!" seru Winda, membuat semua orang serentak melambai pada Rio—seolah-olah dikomando. Rio balas melambai singkat, lalu menatap Ify yang tersenyum padanya.

Taksi sudah bergerak perlahan, tetapi Rio belum juga menutup jendelanya. Ify menatap taksi yang mulai bergerak menjauh, lalu—tanpa disadarinya—Ify sudah berlari mengejar taksi itu. Rio yang melihatnya melalui kaca spion, langsung melongok dari jendela.

"Rio!" seru Ify sambil terus berlari. "Kita pasti ketemu lagi, kan?"

"Pasti!" sahut Rio, dan Ify berhenti berlari. Ify melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum, sementara taksi yang ditumpangi Rio berbelok.

Rio menghempaskan tubuhnya ke jok. Rio tidak tahu apa yang sudah diperbuatnya ini benar atau tidak, tetapi Rio percaya, Ify pasti akan bisa bertahan.

"Pacar, ya, Tuan?" tanya supir taksi menyadarkan Rio dari lamunannya. Rio menatapnya bingung sesaat, lalu mengangguk.

Supir taksi itu mengangguk-angguk paham.

"Pacaran jarak jauh, ya, Tuan?" tanyanya lagi, dan Rio hanya menjawabnya dengan anggukan lagi. "Tenang saja, Tuan. Sekarang, kan, pulsa telepon banyak yang murah. Jadi telepon-teleponan saja."

Rio hanya tersenyum simpul tanpa menjawab. Rio tidak akan menelepon Ify, karena kalau dia melakukan itu, Rio akan melupakan semuanya dan kembali pada Ify. Oleh karena itu, Rio akan menahan diri sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya. Dengan begini, dia akan lebih bersemangat dan lebih cepat untuk bertemu Ify.

Rio berharap Ify akan melakukan hal yang sama dengannya. Namun, yang lebih Rio inginkan adalah, Ify dapat mendengarkan iPod-nya.


***


Kereta jurusan Jakarta berjalan tenang di antara persawahan. Dan di dalam kereta itu terdapat Rio yang tengah duduk sambil melihat ke luar jendela dengan pandangan menerawang. Dia akan menaiki pesawat dari Jakarta menuju kota kelahirannya. Saat itu, dia tengah memikirkan suatu hal yang ia rasa telah dilupakannya. Sesuatu yang seharusnya dilakukannya sebelum kembali ke Manado.

Tiba-tiba, ponsel yang ada di sakunya bergetar. Sebuah nama yang tertera di layar ponselnya langsung membuat dirinya teringat akan satu hal penting yang baru saja berusaha diingatnya. Alvin Jonathan. Ya, setelah kejadian yang menimpa Rio dan Gabriel kemarin, Rio jadi lupa memberi tahu tentang kepulangannya ke Manado pada Alvin.

"Ya, Vin?" jawab Rio pada dering ketiga tanpa mengucap salam.

"Oi, lo ke mana aja, Yo? Udah lama nggak ada kabar," tanya Alvin di seberang.

"Gue balik ke Manado hari ini, Vin," ujar Rio to the point.

"Apa? Lo balik hari ini? Kenapa nggak ngomong-ngomong sama gue dulu, sih?" tanya Alvin dengan nada sedikit kesal.

"Sori, gue lupa," jawab Rio kalem.

"Astaga... bisa-bisanya, ya, lo...," gumam Alvin. "Oh ya, kalo lo balik sekarang, terus Gabriel..."

"Gue udah ketemu sama dia kemarin," ujar Rio singkat.

"Terus... lo nggak...," kata Alvin, dari nada bicaranya bisa dirasakan ada sedikit kekhawatiran di dalam suaranya.

"Dia juga kena penyakit yang sama, Vin," kata Rio membuat Alvin yang ada di seberang telepon terkesiap kaget.
"Lo pikir, apa yang bisa gue perbuat pada orang yang juga sama terpuruknya dengan gue—yang bahkan baru tau
hal itu waktu gue bilang kalo gue sakit?" Riro balas bertanya sambil mendengus getir.

"Jadi... dia baru tau kalo dia sakit waktu lo kasih tau tentang penyakit lo ke dia kemaren?" tanya Alvin tak percaya.
Rio hanya diam saja, tak berusaha untuk menjawab pertanyaan sahabatnya itu.

"Terus, lo sekarang di mana?" tanya Alvin lagi, sepertinya sedang berusaha mengalihkan topik pembicaraan setelah mengerti kalau teman semasa SMA yang sedang diteleponnya itu tidak ingin membahas tentang Gabriel lebih jauh
lagi .

"Gue udah ada di kereta. Baru aja jalan lima belas menit yang lalu," jawab Rio.

"Oh..." Alvin mengangguk paham di seberang. "Terus... cewek itu gimana?"

Rio terdiam sejenak. "Ify... Dia tetep di Bandung," jawab Rio setelah mengerti siapa yang dimaksud Alvin tadi.
"Emang kenapa? Lo berharap, dia gue bawa ke Manado?"

"Yah, siapa tau, kan?" jawab Alvin cuek. "Oh iya, gue juga bakal pindah ke Manado dalam waktu dekat ini, Yo."

"Hah? Ngapain?" tanya Rio bingung. "Terus, kuliah lo gimana?"

"Gue udah dapet kerjaan bagus di sana," jawab Alvin santai. "Ah, gue, kan udah sampai semester akhir, dan gue juga udah ngerjain skripsi sampai tahap terakhir, udah hampir beres. Begitu urusan skripsi beres dan gue lulus kuliah, gue langsung pindah ke Manado."

"Oh, gitu," respon Rio pendek.

"Ng, ya udah, deh, Yo. Jaga diri lo, ya! Sampai ketemu di Manado."

"Ya," ujar Rio sambil memutus sambungan telepon.

Lalu, Rio pun membuang pandangannya ke luar jendela, pemandangan sawah yang menghijau masih membentang. Nampaknya, kereta masih melintasi persawahan. Pemandangan di luar jendela bergerak cepat seiring dengan laju kereta. Semua itu seolah membuat semua memori terputar kembali di otaknya.

Rio jadi teringat saat-saat dia pergi meninggalkan rumahnya di Manada dan segera pergi menuju kota Bandung hanya karena Alvin meneleponnya dan mengatakan kalau dia melihat Gabriel berkeliaran di sekitar Universitas Bandung, saat itu hanya ada satu hal dipikirannya, yaitu menemukan sumber dari segala permasalahan yang dialaminya.

Lalu saat di mana dia pertama kali bertemu dengan Ify, kejadian-kejadian yang pernah dialaminya bersama gadis manis itu, pertemuannya kembali dengan teman-teman masa SMA-nya—Alvin dan Shilla, saat akhirnya dia bisa memercayai Ify, hingga kejadian kemarin, saat dia hampir saja membunuh Gabriel, tetapi malah menemukan
kenyataan yang jauh lebih pahit.

Rio benar-benar tidak mengerti, kenapa Tuhan membuat benang takdirnya begitu rumit, saling membelit satu sama lain. Kenapa penderitaannya terasa begitu panjang dan seolah tiada habisnya. Lalu tanpa sadar, Rio mendengus dan tersenyum getir. Penderitaannya yang panjang seolah sangat kontras dengan waktu hidupnya di dunia yang kian pendek.

Entah kesalahan apa yang telah diperbuatnya sampai-sampai Tuhan menghukumnya dengan cobaan yang terus-menerus mengalir di sisa-sisa umurnya yang singkat.

Tapi, kini semuanya telah usai. Sekarang, sudah saatnya Rio untuk melanjutkan hidupnya, kembali berusaha menggapai cita-citanya, dan menganggap semua pahit hidup yang pernah ia rasakan sebagai sebuah pelajaran berharga. Rio tak ingin lagi menyia-nyiakan detik-detik terakhir hidupnya. Dia ingin berjuang di lima tahun sisa hidupnya. Seperti yang sudah dijanjikannya pada gadis yang ia cintai.

Namun, sayang sekali, Rio.

Sepertinya, Tuhan justru sangat menyayangimu, jauh dari yang pernah kau bayangkan.

Sampai-sampai, Ia sangat merindukanmu dan ingin kau segera kembali ke sisi-Nya.

Oleh karena itu—seperti yang sudah kau ketahui—waktumu tinggal sebentar lagi.

Dan mulai sekarang...

Baiklah, sudah saatnya countdown, Rio...

..5..

Tik.

..4..

Tik.

..3..

Tik.

..2..

Tik.

..1..

...

END
(Siap tinju melayang)


he...he...he... enggak kok. masih. santai aja ya!!

The Truth About Forever (versi ICIL) Cap. 13 : From Now On, What Will Happen To Us?

The Trith About Forever
(Dendam Membuatmu Kesepian)



Chapter #13
FROM NOW ON, WHAT WILL HAPPEN TO US?

Hallo.... aqiu datang lg.... ada yg 5u bc lnjtan crng nie?

____

Rio menatap awan putih yang berarak lambat di langit yang biru. Semalaman Rio berpikir akan melakukan apa. Dia sangat ingin pulang untuk menemui orangtuanya, tetapi dia juga tidak ingin meninggalkan Ify.

"Oi," kata Ify sambil menepuk bahu Rio. Rio menoleh dan mendapati Ify yang sedang nyengir sambil membawa dua gelas cokelat hangat. Ify menyodorkan salah satunya pada Rio. "Lagi mikirin apa, sih? Serius amat."

Rio menatap heran Ify yang menghirup cokelatnya. Ify bersikap biasa-biasa saja—seolah tidak terjadi apa-apa kemarin—padahal dia sudah tahu tentang ayah Rio yang sudah kembali. Mendadak Ify menoleh.

"Kenapa? Kok, nggak diminum?" tanya Ify lagi membuat Rio tersadar dan meminum cokelatnya yang kemanisan, tanpa berkata apa pun.

Ify meregangkan kedua tangannya sampai isi gelasnya mau tumpah. Dia melakukan senam-senam kecil dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membuat Rio tersenyum karena teringat pada pertemuan mereka yang pertama. Saat itu, Ify juga melakukan senam seperti ini.

"Huaah... udah lama nggak senam," kata Ify ringan sambil menghirup udara pagi. Ify tiba-tiba terdiam sambil menatap awan. "Dari sini... kira-kira apa yang bakal terjadi sama kita, ya?"

"Ify," panggil Rio membuat gadis itu menoleh. "Kalo lo minta gue tinggal, gue bakal tetep tinggal. Gue nggak bakal balik ke Manado, kalo lo mau."

"Hah? Kamu gila, ya? Nggak mungkin!" seru Ify kaget. "Kamu harus pulang! Ayah dan ibu kamu udah nunggu kepulangan kamu!"

Rio terdiam sambil menatap cokelatnya yang tinggal setengah gelas. Ify menghela napas.

"Yo, kamu harus tau. Kalo kamu bahagia, aku juga ikutan bahagia. Kamu harus pulang, dan kamu harus ngelanjutin cita-cita kamu," kata Ify lagi, mata nya menerawang ke langit biru yang cerah.

"Terus, lo gimana?" tanya Rio.

"Aku? Aku juga akan berusaha di sini. Aku bakal lulus kuliah dan berhasil jadi penulis best-seller," kata Ify mantap. Ify beralih menatap Rio. "Kita pasti bisa, Yo. Ayo kita sama-sama berusaha."

Rio menghela napas. Sangat berat rasanya membicarakan ini dengan Ify. Rio sebenarnya ingin mengajak Ify bersamanya, tetapi Ify memiliki cita-citanya sendiri, dan Rio tidak bisa menghentikannya. Rio juga harus
mendukungnya seperti Ify mendukungnya.

"Ify," kata Rio membuat Ify menoleh. "Soal janji lo itu... lupain aja. Lo jangan khawatir lagi soal gue. Kalo nanti lo menemukan orang yang lebih baik..."

Rio langsung berhenti bicara saat melihat ekspresi Ify. Ify seperti sudah siap untuk menamparnya atau bahkan melakukan sesuatu yang lebih sadis dari sekedar tamparan.

"Sori," kata Rio cepat-cepat, sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Dia menatap Ify  dalam-dalam.
"Gue pasti balik ke sini."

Ify menatap Rio, lalu mengangguk. "Aku tunggu," ujar Ify sambil tersenyum manis.

Rio ikut tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Ify. Ri segera meminum habis cokelat dari gelasnya, dia menatap pemandangan berupa atap-atap rumah di depannya. Dia pasti akan sangat kehilangan tempat ini.

Rio sudah memutuskan untuk pulang ke Manado besok. Sekarang, dia sedang membereskan barang-barangnya. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sebuah benda di dalam ranselnya. Rio mengambilnya. Sebuah belati yang
dibelinya di sebuah pasar malam saat dia sedang emosi.

Rio menarik napas, memasukkan belati itu kembali ke dalam ranselnya. Seberapa besar pun dendam yang disimpannya dia harus bisa menahannya karena sekarang sudah banyak orang yang peduli padanya. Rio tidak ingin menghabiskan sisa-sisa hidupnya di penjara.

Setelah selesai mengepak barang, Rio bermaksud untuk pergi ke kost Alvin karena Rio belum sempat bercerita padanya. Rio keluar dari kamar dan mendapati Ify sedang lewat dengan membawa baju yang baru diangkat dari jemuran.

"Eh? Mau ke mana?" tanya Ify dari balik tumpukan baju yang dibawanya.

"Ke kost Alvin," jawab Rio. Tahu-tahu sebuah bra jatuh dari tumpukan itu, Ify tampak tak sadar. Rio tersenyum simpul, lalu mengambilnya dan menyangkutkannya ke kepala Ify. Ify melongo sementara Rio buru-buru kabur.

"Heeehh! Dasar cabuuull!" seru Ify, tetapi Rio sudah keluar dari kost.

Ify menghela napas, lalu nyengir sendiri. Untuk kali ini tidak apa-apa.

***

Rio berjalan ke kost Alvin sambil mendengarkan musik dari headphone besarnya. Hari ini, tampaknya hujan mau turun, dilihat dari sekumpulan awan hitam yang ada di langit kota Bandung. Rio mempercepat langkahnya ke kost Alvin. Di tengah jalan, mendadak musik di telinganya terhenti.

Rio berhenti berjalan, lalu mengecek iPod-nya. Ternyata, semalam dia tidak mengisi baterainya. Rio menghela napas, melepaskan headphone dari telinganya dan membiarkannya terpasang di leher.

Saat Rio mau kembali berjalan, dua orang pria lewat sambil mengobrol.

"Gue kemaren maen ke kost-nya," kata pria yang memakai kaus merah. "Gila, dia tajir mampus! Punya segala macem peralatan elektronik!"

"Lhah, bukannya emang bokapnya si Gabriel itu pengusaha kaya di Manado, ya?" sahut temannya, membuat langkah Rio tiba-tiba terhenti.

Rio berbalik dan menatap kedua pria itu. Rio merasakan tangan dan kakinya dingin. Rio tahu itu mungkin saja bukan Gabriel yang dicarinya, tetapi tetap saja Rio merasakan sebuah firasat.

Rio segera berlari menuju kedua pria tadi dan menghadangnya. Kedua pria itu menatap Rio heran.

"Eh, tunggu. Tadi kalian ngomongin Gabriel?" tanya Rio membuat kedua pria tadi mengangguk. "Gabriel ini... anak Manado?"

"Iya. Lo siapa, ya?" tanya pria yang berbaju merah, tapi Rio tak mendengarkannya.

"Gabriel Stevent... anak SMA 05 Manado? Angkatan 2004?" tanya Ri lagi, jantungnya berdetak tak berarturan.

Kedua pria tadi saling berpandangan, lalu sama-sama mengangguk. Rio segera bergerak buas ke arah pria yang
berbaju merah dan mencengkeram kerah bajunya.

"Eh, lo kenapa, Man?" seru pria itu, terkejut.

"Di mana kost-nya?" seru Rio kalap. "DI MANA KOST-NYA?"

Teman pria itu segera maju, berusaha melerai, tetapi kekuatan Rio melebihi mereka berdua.

"Apa urusan lo, sih?" sahut pria itu, membuat Rio memperkuat cengkeramannya.

"Lo nggak perlu tau apa urusan gue! Sekarang, kasih tau gue di mana kost-nya?" sahut Rio lagi.

"Di daerah Bandung Raya!" seru pria itu membuat Rio mengumpat. Dia sama sekali tidak tahu daerah itu.

"Kampusnya?" seru Rio lagi sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu. "Kampusnya di mana?"

"ITB!" seru pria itu. "ITB Jurusan Teknik Kimia!"

Rio segera melepaskan cengkeramannya pada pria itu yang segera terbanting ke tanah. Temannya segera menghampirinya.

"Lo kenepa, sih? Gila, ya?" sahut temannya pada Rio, tetapi Rio tak peduli.

Tangan Rio sudah terkepal keras di samping pahanya. Ternyata, Rio memang tidak bisa melepaskan Gabriel.

Rio segera berlari. Kepalanya sudah panas dan dia benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih lagi.

Ify sedang menyapu lantai gang depan kamarnya ketika Rio muncul dari tangga dan berlari kalap menuju kamarnya.

"Yo? Kenapa?" tanya Rukia, tetapi Rio tidak menjawab. Rio buru-buru membuka pintunya, lalu masuk. Ify segera mengintip dari luar.

Rio tampak sedang mengobrak-abrik ransel yang telah dipaknya dengan kalap. Ify menatapnya takut-takut.

"Rio?" tanya Ify lagi dan Rio telah mendapatkan apa yang dicarinya. Belati tajam yang dibungkus sarung kulit hitam.
Ify mengenali barang itu, lalu terpekik. "Yo! Kamu mau apa dengan itu?"

Rio tidak mendengarkan. Dia menyelipkan belati itu ke pinggangnya, lalu berdiri, bermaksud untuk pergi lagi. Ify segera menghadangnya di pintu dan menatapnya khawatir.

"Rio! Kamu udah janji, kan? Kamu mau pulang, kan? Yo!" seru Rukia, tapi Rio hanya menatapnya tanpa menjawab.
"Rio! Jangan lakukan ini, Yo, aku mohon..."

Rio menatap Ify sebentar , lalu segera berderap pergi. Ify merasa seluruh tubuhnya lemas. Rio pasti sudah menemukan Gabriel, dan sekarang dia bermaksud untuk membunuhnya.

Ify  merasa tak berdaya. Sekarang, Ify hanya bisa berdoa semoga Rio mengingat janjinya.

Rio turun dari bus dan menatap bangunan besar di depannya. Institut Teknik Bandung. Universitas elit tempat Gabriel berkuliah. Rio segera melangkahkan kakinya ke dalam. Dia harus bisa menemukan Gabriel.

Rio tidak tahu apa yang akan dia perbuat dengan Gabriel nanti, tetapi ada satu hal yang harus ditanyakannya. Rio tidak akan melepaskan Gabriel sebelum mendapatkan jawabannya.

Rio bertanya pada beberapa orang di mana kampus teknik kimia berada, dan sekarang dia sudah ada tepat di depannya. Rio menatap kampus itu. Ternyata selama ini Gabriel ada di sini. Sebuah keberuntungan Rio bertemu dengan orang-orang tadi.

Rio menunggu beberapa jam sampai dia menemukan sesosok pria berambut hitam panjang yang sedang sibuk dengan ponselnya. Rio merasa semua darahnya naik ke kepala saat melihat sosok itu. Sosok yang terlihat sehat dan baik-baik saja. Sosok yang sudah menghancurkan seluruh kehidupannya.

Rio mendekati Gabriel dan berhenti tepat di depannya. Gabriel yang masih sibuk dengan ponselnya tidak sadar dan menabraknya.

"Ah, sori," kata Gabriel sekenanya—tanpa melihat sosok yang sudah ditabraknya—sambil terus berjalan.

"Lo keliatannya sehat-sehat aja," ujar Rio membuat langkah Gabriel terhenti seketika. Kusaka berbalik pelan-pelan, dan melongo menatap Rio.

"Ri... o?" kata Gabriel, tak percaya.

"Yah, Rio. Mario Stevano," kata Rio dingin. "Kaget?"

Gabriel masih menatap Rio tak percaya. "Lo... ngapai di sini?"

"Nyari lo," jawab Rio membuat Gabriel mengangguk-angguk walaupun masih bingung.

"Udah lama banget, ya?" kata Gabriel kemudian, agak terasa canggung. "Apa kabar lo, Yo?"

Rio terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Gabriel yang tampak tenang-tenang saja seperti ini semakin membuatnya emosi. Gabriel memang tidak tahu apa-apa tentang penyakitnya, karena sebelum dia sempat tahu, dia sudah keburu pindah sekolah.

"Kabar gue?" kata Rio. "Nggak pernah sebahagia ini bisa ketemu lo."

Gabriel mengangguk sambil tersenyum kaku. Sudah begitu lama semenjak mereka berpisah. Gabriel benar-benar kaget bisa melihat Rio di sini.

"Bisa kita ngomong sebentar?" tanya Rio.

"Oh, oke," jawab Gabriel. "Di belakang kampus aja."

Gabriel kemudian berjalan duluan, sementara Rio mengikutiya dari belakang. Rio sebisa mungkin menahan emosinya. Mereka kemudian sampai di belakang kampus yang sepi.

"Rio, dulu gue..."

Rio sudah keburu meninju pelipis Gabriel sebelum Gabriel sempat meneruskan kata-katanya. Gabriel sekarang sudah terkapar di tanah. Rio menatap Gabriel bengis.

"Bangun, lo," kata Rio sambil menarik kemeja Gabriel dan memaksanya bangun. Rio menatap Gabriel dari atas sampai ke bawah. "Wah, wah... kayaknya lo baik-baik aja, ya?"

"Rio, gue..."

Rio meninju perut Gabriel sehingga Gabriel tersungkur ke tanah. Gabriel terbatuk kesakitan.

"Gue pikir lo bakalan kurus kering, menyedihkan, dan nggak ada bentuk karena segala jenis narkoba yang lo pakai, tapi ternyata lo sehat-sehat aja," kata Rio sinis.

"Gue... udah berhenti, Yo," ujar Gabriel sambil terbatuk. "Lima tahun yang lalu, gue dipindahin sekolah sama bokap gue, dan semenjak itu gue nggak pernah pakai lagi."

Rio terdiam sambil menatap orang yang pernah menjadi orang yang penting dalam hidupnya itu.

"Yel... Lo nggak pernah berusaha nyari gue? Lo nggak mau tau keadaan gue?" tanya Rio lagi membuat Gabriel menatapnya.

"Gue... terlalu malu untuk nelepon lo, Yo. Gue takut lo marah," kata Gabriel membuat Rio tertawa keras.

"Marah, ya... Apa menurut lo gue nggak punya hak buat marah? Lo udah ngehancurin hidup gue!" sahut Rio sengit.

"Sori, Yo," ujar Gabriel, tetapi Rio tidak mau mendengar. Dia kemudian mengeluarkan belatinya, membuat mata merah Gabriel melebar. "Yo, lo mau apa?"

"Ngeliat lo sehat, seneng, punya kehidupan yang baik... gue tambah muak," kata Rio sambil berjalan mendekati Gabriel. Gabriel mulai mundur teratur, matanya yang berwarna merah darah menatap ngeri belati yang ada di tangan
Rio. "Menurut lo, gue mau apa?" tanya Rio balik.

"Yo, gue minta maaf," kata Gabriel takut. "Apa lo segitu dendamnya sama gue?"

Rio tertawa lagi, lalu menatap Gabriel tajam. "Apa gue segitu dendam? Menurut lo?" katanya sambil membuka sarung belatinya. "Kenapa Gabriel? Kenapa lo ngelakuin ini sama gue?"

"Yo, dulu... gue iri sama lo, karena lo punya semua yang gue nggak punya. Lo punya keluarga yang hangat, lo punya cita-cita, dan lo punya Shilla," ujar Gabriel gugup. "Waktu itu... gue cuma khilaf, Yo! Lo nggak kecanduan,
kan? Kalo cuma sekali pasti nggak kecanduan!"

Rio menatap Gabriel bengis. Jadi, itu jawabannya. Gabriel iri padanya, karena itu dia menyuntiknya. Dan, hanya karena masalah keirian bodoh itu, Rio mendapatkan semua kesialan ini.

"Oh, yah, gue emang nggak kecanduan, tapi jauh lebih buruk dari itu," kata Rio membuat Gabriel bingung. "Hidup gue hancur lebur, Gabriel. Semua yang lo bilang gue punya itu hilang gara-gara lo."

Gabriel bergerak mundur sampai punggungnya membentur dinding karena Rio terus mendekatinya dengan belati tajam di tangannya.

"Jangan lakukan ini, Yo. Gue tau lo nggak mau ngebunuh gue," kata Gabriel takut.

"Oh, ya? Kenapa gue nggak mau ngebunuh lo? Lo yang udah bikin gue hancur," kata Rio sambil terus mendekati Gabriel. "Lima tahun gue nyari lo, dan sekarang lo udah ada di depan mata gue, kenapa gue nggak mau ngebunuh
lo? Biar gue nggak mati sendirian."

"Maksud lo apa, Rio?" tanya Gabriel heran.

"Lo bener-bener mau tau, Yel?" tanya Rio. "Lo bener-bener mau tau? Yah, karena ini udah menjelang akhir hidup lo, gue bakal kasih tau supaya lo nggak mati penasaran. Karena lo udah nyuntik gue pakai jarum suntik sialan itu,
gue kena HIV. Puas lo?"

Mata Gabriel—untuk kesekian kalinya—membesar setelah mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Rio.

"Karena gue kena HIV, gue bakal ke AIDS. Dan, karena gue bakal kena AIDS, semua kebahagiaan yang lo bilang tadi lenyap. Nyokap gue, bokap gue, Shilla, semua pergi. Cita-cita? Musnah. Selama lima tahun gue hidup dalam pengasingan, sementara lo senang-senang. Jadi, apa yang..."

Rio berhenti bicara, karena Gabriel tiba-tiba merosot hingga terduduk di tanah. Wajahnya tampak pucat.

"Kenapa lo? Ngerasa bersalah?" tanya Rio sinis. "Yah, emang udah semestinya. Jadi, lo nggak marah, kan, kalo gue..."

"Yo... Lo... serius?" tanya Gabriel, tampak kacau.

"Apa yang bikin lo berpikir kalo gue bercanda?" seru Rio emosi.

Gabriel menjambak rambut hitamnya, tampak tidak percaya. Rio hanya menatapnya. Gabriel pasti merasa bersalah karena selama ini tidak tahu. Mendadak hujan turun rintik, tetapi Rio tidak peduli. Sudah sangat terlambat bagi Gabriel untuk menyesal.

"Nah, gue nggak mau berlama-lama lagi. Gue harus menyelesaikan ini," kata Rio. " Gue jijik liat lo bahagia, jadi lo harus..."

"Yo," kata Gabriel gugup sambil menatap Rio. Di antara rintik hujan yang membasahi wajah Gabriel, Rio bisa melihat dengan jelas air mata yang mengalir di wajahnya. "Suntikan itu... punya gue."

Petir menggelegar tepat setelah kalimat tadi meluncur keluar dari mulut Gabriel. Rio rasanya salah mendengar.

"Apa?" kata Rio, sementara Gabriel sudah kembali menjambak-jambak rambut hitamnya lagi.

"Suntikan itu punya gue," ulang Gabriel miris. "Sebelum gue suntik lo... gue pakai dulu suntikan itu."

Mendadak tubuh Rio terasa aku. Rio menatap nanar sosok di depannya. Rio tak bisa memercayai pendengarannya,
tapi seluruh tubuh Gabriel sudah gemetar. Bukan karena dinginnya hujan, melainkan karena baru menyadari sesuatu yang mengerikan telah terjadi pada dirinya.

Rio mendengus geli. Lalu dia terbahak untuk menyembunyikan air mata yang keluar tanpa bisa ditahan.

"AAARRGGHHH!" sahut Rio emosi sambil menendang batu yang ada di sebelahnya, lalu bergerak buas ke arah Gabriel yang tampak sudah pasrah. "Kenapa Yel? Kenapa?"

Gabriel tampak seperti sudah tidak bernyawa, masih syok dengan kenyataan yang baru diterimanya. Rio meninju tembok di sebelahnya dengan sekuat tenaga.

Rio benar-benar tidak pernah menyangka kalau persahabatannya dengan Gabriel akan berakhir dengan cara seperti ini.


***


Ify duduk di depan kamar Rio sambil terus berdoa. Ify memeluk lututnya karena merasa hawa di sekitarnya semakin dingin. Ify benar-benar khawatir pada Rio yang sampai saat ini belum juga pulang.

Mungkinkah Rio benar-benar membunuh Gabriel?

Ify segera menggeleng, tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Namun, bila mengingat Rio yang tadi seperti hilang kendali begitu, Ify tidak tahu.

Mendadak, Rio muncul dari tangga, membuat Ify segera berdiri. Rio berjalan terseok-seok, tampak basah kuyup. Ify segera menghampirinya.

"Rio? Yo, kamu nggak..." Ify tidak meneruskan perkataannya, karena belati yang dipegang Rio terjatuh. Rio juga ikut terjatuh. Ify cepat-cepat menangkapnya.

Ify melirik takut belati yang ada di sebelahnya, takut melihat darah, tetapi belati itu bersih. Ify melirik Rio yang tampak pucat.

"Yo..."

"Fy, gue tadi ketemu Gabriel," kata Rio dengan pandangan kosong.

"Terus... kamu nggak..." Ify tidak bisa meneruskan pertanyaannya, terlalu takut kalau-kalau hal itu benar-benar terjadi. Rio tiba-tiba mendengus, dan air mata mengalir dari mata indahnya. Ify menatapnya khawatir. "Rio...?"

"Suntikan itu... punya dia, Fy," ujar Rio miris, membuat Ify berpikir. Detik berikutnya, Ify membekap mulutnya sendiri,
tak percaya.

"Itu berarti... dia...?" kata Ify takut. Rio mengangguk pelan.

"Dia yang nularin virus ini," kata Rio membuat Ify menahan napas. "Dia mengidap penyakit yang sama, dan dia baru
sadar tadi—setelah gue bilang kalo gue kena HIV."

"Ya ampun," gumam Ify. Air mata Rio masih mengalir.

"Selama perjalanan ke sini gue berpikir. Apa salah kami? Kenapa kami harus mengalami semua ini? Kenapa?" kata Rio lirih. "Memang bener gue pengen ngebunuh dia, tapi gue sama sekali nggak pernah sedikit pun berharap dia punya penyakit yang sama kayak gue. Kenapa kami bisa jadi kayak sekarang ini? Kenapa?"
Ify mengusap lembut pipi Rio untuk menghapus air matanya.

"Dulu gue begitu deket sama dia, Fy. Kami tertawa bersama, menangis bersama, semuanya akan gue lakukan untuk dia. Dia udah kayak kakak gue sendiri. Tapi, kenapa?" kata Rio lagi. "Cuma karena satu kesalahan kecil, hidup kami langsung hancur. Kenapa dia harus berurusan sama narkoba sialan itu?"

Ify ikut menangis melihat Rio yang terlihat begitu menderita. Ify tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan sahabat, tetapi rasanya Ify bisa ikut merasakan kepedihan hati Rio.

"Tapi, setelah gue pikir-pikir lagi, Ify, mungkin ini kesalahan gue. Mungkin gue nggak pernah jadi sahabat yang baik buat dia. Gue tau dia selalu kesepian karena di rumahnya semua orang sibuk, tapi gue nggak peduliin dia. Semenjak gue kenal film, gue sering nolak ajakan maen dia. Gue jadi jarang ada buat dia," kata Rio sambil menjambak rambutnya. " Mungkin ini salah gue juga dia jadi bergaul dengan orang-orang nggak jelas."

"Yo, jangan menyalahkan diri kamu sendiri," kata Ify sambil menahan tangan Rio yang mau menjambak rambut lagi.
"Kalau pun ada kesalahan kamu, semuanya udah terjadi, Yo. Sekarang, yang kamu bisa lakukan adalah meneruskan hidup kamu, dan berharap Gabriel juga melakukan hal yang sama."
Rio menatap Ify dalam-dalam.

"Ify, menurut lo gue ini jahat? Gue menimpakan semua kesalahan sama Gabriel tanpa berpikir kesalahan gue, apa menurut lo gue jahat?" tanya Rio membuat Ify terdiam. Ify menggeleng.

"Yo, semua orang pernah berbuat kesalahan. Kamu seharusnya bersyukur karena kamu nggak mengulangi kesalahan itu," jawab Ify sambil menatap belati yang tergeletak. "Walaupun berat, kamu dan Gabriel sudah sama-sama menerima akibat dari kesalahan itu. Yo, kamu mungkin sedikit lebih beruntung dari Gabriel. Kamu punya keluarga, punya teman seperti Alvin dan Shilla, dan kamu juga punya aku. Kita semua pasti bisa melalui ini, Rio."

Rio menatap Ify, dan mulai menangis lagi. Ify merengkuhnya tanpa memedulikan bajunya yang sudah ikut basah. Ify membiarkan Rio menangis di pelukannya untuk beberapa saat.

Tangan Ify terkepal keras. Karena benda haram seperti narkoba, hidup dua orang anak manusia sudah hancur. Mengapa benda-benda seperti itu harus ada di dunia? Mengapa orang-orang tidak bisa lebih menyayangi diri mereka sendiri sehingga tidak ada orang yang putus asa dan terjerumus ke dalam dunia narkoba?

Begitu banyak pertanyaan yang ada di dalam benak Ify, tetapi Ify sendiri tidak tahu siapa yang bisa menjawabnya.



TBC or end?

The Truth About Forever (versi ICIL) Cap. 12 : There Is Still Tomorrow


The Truth About Forever
(Dendam Membuatmu Kesepian)


Chapter #12
THERE IS STILL TOMORROW


Rio baru saja berkeliaran di kampus Teknik Universitas Bandung. Setelah berbagai kejadian kemarin, Rio kembali bernapsu untuk menemukan Gabriel. Gabriel-lah yang harus bertanggung jawab di balik semua penderitaan yang dialami Rio.

Rio pulang tanpa membawa hasil. Dia menaiki tangga sambil mematikan iPod-nya, tanpa melihat Ify yang menatapnya terkejut dari depan kamarnya. Rio baru sadar saat dia melihat sepasang kaki di depannya. Rio mendongak, lalu menatap Ify kaget.

"Lo bukannya..." Rio mendadak terdiam. Dia tidak akan membuka percakapan apa pun lagi dengan Ify. Dulu, semua adalah kesalahannya. Dia sudah membiarkan dirinya terlibat terlalu jauh dengan Ify. Sekarang, Rio memastikan hal itu tidak akan terjadi lagi. Lalu, Rio kembali melangkahkan kaki menuju kamarnya.

"Rio, tunggu!" sahut Ify sambil menghalanginya. Rio menatap cewek itu, dan mendadak Rio menyadari bahwa sudah terlalu lama dia tidak melihat mata Ify. Rio segera mengalihkan pandangannya.

"Apa?" tanya Rio, berusaha supaya terdengar tidak peduli.

"Apa? Apa?!" tanya Ify tak percaya sambil mengulang ucapan Rio sebelumnya. "Bukannya 'apa'! Kamu harusnya minta maaf sama aku!"

"Hah?" seru Rio.

"Kamu harusnya minta maaf setelah semua yang kamu lakuin selama ini! Dasar pembohong," ujar Ify, tetapi tak sedikit pun terlihat marah. Rio yakin, Shilla pasti sudah mengatakan yang tidak-tidak pada Ify.

Ify sekarang melipat kedua tangannya di depan dada, dan menatap Rio seolah menunggu permintaan maafnya. Rio menghela napas. Pola ini terulang lagi, tetapi kali ini Rio tidak akan mau kalah.

"Denger, ya, apa pun yang Shilla bilang sama lo..."

"Aku lebih percaya sama Shilla," balas Ify, memotong perkataan Rio, membuat cowok manis itu terdiam. 
"Kamu selalu bohong, jadi aku udah nggak percaya lagi sama kamu."

"Lo... bisa nggak, sih, biarin gue sendiri?" sahut Rio geram.

"Apa? Kamu mau ngomong sesuatu yang kejam lagi?" tantang Ify, sama sekali tidak terlihat takut. Rio menatapnya tajam, dan dia meninju pintu di depannya, tepat di samping wajah Ify. Ify balas menatap Rio berani, dia yakin, sekejam-kejamnya Rio terhadapnya, pemuda itu tak akan sampai tega memukulnya.

"Apa Shilla udah bilang kalo gue sebenernya takut kehilangan lo?" tanya Rio. "Karena kalo iya, berarti lo kegeeran banget. Sama sekali nggak pernah terlintas di pikiran gue..."

"Aku udah nggak peduli lagi sama semua kebohongan kamu," potong Ify membuat Toushiro melotot. "Mau 
kamu bilang aku ini cewek yang sok pengen jadi malaikat dengan ikut campur urusan orang lain, aku bukan tipe kamu, kamu nggak suka aku, kamu benci aku, aku nggak peduli."

Rio menatap Ify bingung.

"Yo, aku udah denger semuanya dari Shilla, dan aku sekarang tau apa penyebab kamu punya penyakit ini," ujar Ify lembut, matanya menatap mata Rio dalam-dalam. "Aku sekarang tau kalau bukan salah kamu bisa dapat penyakit itu. Sebenernya, alasan apa pun nggak penting, karena aku nggak akan menjauhi kamu cuma karena kamu punya penyakit itu."

"Berhenti ngomong sesuatu yang manis-manis," potong Rio geram. "Lo dulu sempat ragu, kan?"

"Emang bener aku sempat ragu, tapi aku nyesel. Harusnya aku nggak pernah ragu. Waktu itu—aku akui—aku emang takut. Tapi, setelah itu, aku benci diriku yang penakut seperti itu. Waktu itu, aku pikir, kalo aku takut, aku nggak akan pantas buat kamu," kata Ify lagi. "Tapi, Yo, sekarang aku nggak akan pernah takut lagi. Aku tau kayak apa kamu mungkin berubah beberapa tahun lagi, tapi, Yo, aku nggak pernah punya perasaan sekuat ini sama siapa pun selain kamu. Kamu berubah jadi apa juga nggak akan mungkin bikin aku mundur."

"Lo nggak akan pernah tau apa yang bakal terjadi di masa depan," ujar Rio dengan suara gemetar. Ify tersenyum.

"Kamu juga nggak tau, kan?" Ucapan Ify membuat mata Rio melebar sempurna. "Jadi, kenapa kita nggak coba ambil risiko itu?"

Rio ingin sekali merengkuh gadis di depannya ini. Setitik air matanya menetes. Ify mengelap air mata itu dan memegang pipi Rio lembut. Rio bahkan tidak menghindar.

"Gue cuma punya waktu lima tahun," kata Rio membuat Ify tersenyum lagi.

"Jadi, ayo kita pergunakan waktu itu sebaik-baiknya," jawab Ify membuat setitik lagi air mata jatuh dari mata indah Rio. "Kalo kamu tau kamu cuma punya waktu lima tahun, ayo kita buat kenangan sebanyak-banyaknya dalam kurun waktu itu."

"Lo... rela ngorbanin lima tahun hidup lo buat gue?" tanya Rio lagi.

"Aku nggak mau bilang aku rela ngorbanin lima tahun hidupku untuk kamu," kata Ify. "Karena aku nggak mau cuma lima tahun bareng kamu. Aku mau selamanya bareng kamu."

Rio menatap Ify dalam-dalam, mencari kebenaran dalam matanya.

"Fy... Boleh gue percaya omongan lo sekarang?" tanya Rio membuat air mata Ify juga mulai menetes. Ify mengangguk, membelai pipi Rio yang sudah basah oleh air mata. Ify lalu memeluk Rio. Awalnya Rio hanya membatu, menyangka dirinya sedang berada di alam mimpi. Namun, wangi lavender rambut Ify menyadarkannya, bahwa saat ini dia benar-benar hidup dalam dunia nyata. Rio mengangkat tangannya ragu, dia lalu menyentuh punggung Ify yang terasa hangat. Semuanya terasa begitu nyata.

Rio mempererat pelukannya pada Ify. Rio tidak ingat kapan dia pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Kali ini, dia tidak akan melepaskan Ify lagi. Tidak akan pernah lagi.


***


Rio membuka matanya dan seberkas cahaya menelusup melewati jendela kamarnya. Rio mengerjap-ngerjapkan matanya, dan setelah semua nyawanya terkumpul, dia berusaha mengingat kejadian semalam.

Semalam, dia bermimpi telah memeluk Ify. Dia bermimpi bahwa Ify mengatakan akan selalu bersamanya. Rio mengangkat tangannya dan menatap tangan itu. Tangan yang sudah menyerah pada seorang gadis bernama Alyssa Sufika.

Mendadak Rio sadar, kalau kejadian semalam bukanlah mimpi. Wangi tubuh Ify ada di mana-mana di kamar ini. Semalam, setelah Rio memeluk Ify, emosinya begitu meledak-ledak sampai-sampai dia tak ingin melepaskan Ify dari dekapannya. Rio terus memeluk Ify sampai Ify jatuh tertidur.

Rio terbangun dengan tersentak, dia melihat sekelilingnya. Ify sudah tidak ada. Rio segera bangkit dan 
membuka pintu kamarnya. Dia sekarang berdiri di depan kamar Ify dan menatap pintu kamar Ify ragu.

Rio menjambak-jambaknya sendiri. Harusnya semalam dia bisa lebih menahan diri. Harusnya dia bisa melepaskan Ify dan membiarkan Ify tidur di kamarnya sendiri. Rio benar-benar takut Ify sudah menganggapnya yang tidak-tidak. Ify pasti sangat terkejut saat melihat Rio di sampingnya saat bangun, sehingga langsung kabur dan tidak mau melihat Rio lagi.

Rio masih saja menjambak-jambak rambut putihnya frustasi saat dia mendengar suara pintu di tingkap atas. Rio menatap pintu itu penasaran. Mungkin saja Ify ada di atas.

Rio segera naik ke lantai tiga dan Ify ada di sana, sedang bersandar pada pagar pembatas, menatap bangunan-bangunan di depannya. Rio menghela napas lega karena setidaknya Ify masih berada di kost ini.

Tiba-tiba Ify menoleh, dan tersenyum pada Rio yang segera salah tingkah. Rio lalu menghampiri Ify  ragu-ragu.

"Ng...," gumam Rio tak jelas. "Sori, semalem gue..."

"Nggak apa-apa," kata Ify sambil tersenyum. "Semalem aku kebangun, terus kamu udah ketiduran. Jadi, aku selimutin kamu terus pindah ke kamar."

Rio mengangguk-angguk, benar-benar lega karena Ify tidak berpikiran yang aneh-aneh tentangnya. Rio kemudian ikut bersandar di sebelah Ify. Sebenarnya, Rio masih ingin memeluk Ify, tapi keinginan itu ditahannya.

"Kok, diem?" tanya Ify membuat Rio menoleh. Ify tertawa kecil. "Rio, aku belum dengar dari kamu, lho, kalo kamu suka sama aku..."

Rio menatap Ify tak percaya, membuat Ify terbahak.

"Nggak usah bilang juga udah tau, kan?" ucap Rio tanpa melihat Ify. Ify berhenti tertawa, lalu ikut menatap pemandangan di depannya.

"Sampai saat ini, aku masih belum percaya kalau kamu akhirnya mau percaya sama aku," kata Ify membuat Rio menatapnya. "Aku seneng banget sampai rasanya pengen nangis."

Ify tidak bisa mengatakan kalau semalam saat dia terbangun dan mendapati Rio ada di sampingnya, dia menangis lagi. Ify benar-benar senang karena Rio sudah bisa memercayainya.

Ify menggigit bibirnya, mau menangis lagi. Rio menepuk kepalanya dan mengacak rambutnya.

"Harusnya gue yang ngomong begitu," ujar Rio membuat Ify benar-benar menangis. "Hus. Jangan nangis terus, ah! Dasar cengeng."

"Biarin cengeng juga!" sahut Ify sambil terisak. Rio tersenyum simpul.

Mereka terdiam sesaat sampai akhirnya Rio berbaring di lantai dengan kedua tangan terlipat di belakang kepalanya. Ify ikut duduk di sebelahnya. Sejenak mereka menikmati angin berembus sepoi.

Ify melirik Rio yang sudah terpejam. Ify memeluk lututnya.

"Ng... Yo?" tanya Ify pelan.

"Hm?"

"Ng... Aku boleh tanya sesuatu, nggak?"

Rio membuka matanya, menatap awan putih yang berarak menghiasi langit. Dia tahu, cepat atau lambat Ify pasti akan bertanya soal masa lalunya.

"Boleh aja," kata Rio akhirnya.

"Hm... Apa bener cita-cita kamu jadi sutradara?" tanya Ify  hati-hati. Rio terdiam sesaat. "Kata Shilla, dulu pas SMA kamu pengen jadi sutradara."

"Bener," jawab Rio setelah terdiam beberapa saat. Dia duduk dan mengorek saku celananya, mengeluarkan rokok. Ify dengan segera merampas rokok itu dan membuangnya. Rio menatapnya sebentar, dan menghela napas. "Tapi, sekarang udah nggak ada gunanya lagi, kan, ngomongin itu?"

Ify menatap Rio bingung. "Kenapa?" tanyanya. Rio balas menatapnya.

"Kenapa? Ya udah jelas, kan? Mana bisa gue jadi sutradara," kata Rio lagi.

"Kenapa nggak bisa?" tanya Ify lagi membuat Rio sekarang benar-benar memusatkan perhatian padanya.

"Denger, ya," ujar Rio setengah geli. "Orang kayak gue ini udah nggak punya masa depan. Nggak mungkin gue bisa jadi sutradara."

Mata Rukia membesar saat Rio mengatakan itu.

"Yo, aku pikir kamu nggak akan menyerah." Ucapan Ify sukses membuat Rio mendengus.

"Emangnya gue pernah ngomong begitu?" katanya, dan Ify sadar kalau Rio memang tak pernah mengatakannya.

"Rio, kamu jangan nyerah gitu, dong. Kamu pasti bisa jadi apa pun yang kamu mau kalo kamu nggak nyerah!" ujar Ify. Rio menatapnya kesal.

"Jangan ngasih gue ceramah lagi, deh," katanya, membuat Ify terkejut. Rio menghela napas. "Gue emang berterima kasih karena lo udah mau nerima keadaan gue, tapi bukan berarti lo bisa nyeramahin gue."

Ify menatap Rio tak percaya. Rio menolak untuk menatapnya balik.

"Yo, aku tau kamu emang sakit. Tapi, apa sekarang kamu lumpuh? Apa sekarang kamu cacat? Nggak, kan?" seru Ify membuat Rio kaget. "Kamu masih bisa jadi apa pun yang kamu mau!"

"Kalo sekarang gue berusaha pun belum tentu ntar gue bisa jadi sutradara!" sahut Rio balik.

"Tapi itu lebih baik daripada kamu nggak ngelakuin apa pun!" sahut  Ify lagi. "Setidaknya kamu udah berusaha, itu yang penting!"

Rio terdiam mendengar kata-kata Ify. Ify menghela napas.

"Rio, orang yang udah tau bakal mati dan hanya diam menerima nasib itu orang yang paling menyedihkan," lanjut Ify, volume suaranya sudah sedikit turun. "Semua orang tau kalau mereka mungkin aja mati besok, tapi nggak ada satu orang pun yang cuma diam menunggu kematian menjemputnya."

"Tapi, nggak semua orang tau kapan tepatnya mereka mati, nggak kayak gue," kata Rio miris. "Gue cuma diprediksi bisa hidup lima tahun lagi, dan setiap inget itu, gue jadi hilang semangat."

"Kalo bener kamu cuma hidup lima tahun lagi, berarti kamu harus bisa menghargai setiap harinya." Ucapan Ify membuat Rio menatapnya. "Bahkan, setiap detiknya. Karena cuma tinggal lima tahun, makanya jangan biarkan sedetik pun berjalan begitu aja."

"Rio," kata Ify sambil tersenyum pada Rio. "Kalo kamu, aku yakin pasti bisa. Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti bisa jadi sutradara. Kamu cuma harus berusaha, jangan pernah menyerah sama keadaan kamu. Itu aja."

Rio berhenti menatap Ify, dia kini beralih menatap awan. Sudah begitu lama Rio tidak memikirkan cita-citanya. Rio selalu menganggap cita-cita itu bagian dari masa lalu yang tak akan pernah diungkitnya lagi. 
Namun, sekarang, seorang gadis bernama Ify telah membuatnya kembali menginginkan cita-cita itu.Ify mengatakan hal-hal yang tadinya dirasa tidak mungkin menjadi mungkin.

Dulu, Rio menyerah untuk masuk sekolah perfilman karena terlalu takut. Takut kalau ada yang mengetahui penyakitnya dan menjauhinya. Takut kalau sebelum sempat memulai dia sudah akan mati.
Sekarang, mendengarkan Ify, Rio mulai menyadari kalau hidupnya yang tinggal sedikit ini tidak oleh disia-siakan.

Ify melirik Rio yang tampak sedang berpikir keras. Ify benar-benar menginginkan Rio untuk kembali bersemangat dan melupakan dendamnya pada Gabriel. Ify tidak ingin melihat Rio lebih menderita lagi.

"Rio," ujar Ify pelan. "Tolong, janji satu hal sama aku."

Rio  menatap Ify. Ify menggigit bibir bagian bawahnya ragu.

"Lupain soal... Gabriel," kata Ify lirih membuat mata Rio melebar. Rio terdiam sebentar, dan kemudian mendengus.

"Lo nyuruh gue lupain baji**an itu?" tanya Rio, tiba-tiba kembali menjadi seorang Mario yang dingin. "Lo bercanda, kan?"

"Yo, kalo kamu masih nyari dia, kamu nggak akan bisa nerusin cita-cita kamu! Kamu ngerti, kan, akibatnya kalo membunuh dia? Kamu bakalan menghabiskan sisa hidup kamu di penjara!" seru Ify. "Kamu mau seperti 
itu?"

Tangan Rio terkepal keras, bahkan sampai bergetar. Rio bukannya tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Memang dulu Rio tidak peduli kalau dia sampai dipenjara atau mati sekalipun, karena tidak ada yang peduli padanya. Namun, sekarang berbeda. Sekarang, ada yang peduli padanya. Seorang gadis dengan wajah khawatir yang sedang duduk di sebelahnya.

"Rio, aku udah janji mau nemenin kamu, kan? Terus apa gunanya kalo kamu malah ada di penjara?" kata Ify lagi. Dia memegang pipi Rio dan memandangnya dalam-dalam. "Rio, aku mohon."

Rio balas memandang Ify. Rio benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Memang benar dia sekarang tidak mau kehilangan Ify, tetapi dia juga tidak bisa melupakan dendam lima tahunnya begitu saja. Karena Gabriel, seluruh kehidupannya hancur berantakan.

Rio tiba-tiba bangkit, membuat Ify terkejut. Rio turun tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Ify. Sedangkan Ify hanya bisa terduduk pasrah sambil menatap punggung Rio yang segera menghilang.
Ify benar-benar merasa Rio sudah tidak tersentuh lagi.

***

Rio duduk di atas kasur di kamarnya. Rio melirik seprai itu. Seprai berwarna ungu dengan gambar kelinci yang sering disebut-sebut Ify dengan nama Chappy. Rio menghela napas, lalu meraih handycam di sebelahnya.

Dari semua hal, Rio paling tidak pernah bisa melepaskan handycam ini. Handycam yang diberikan ayahnya—Zeth—saat dia berumur sepuluh tahun. Handycam yang tidak akan pernah digantinya dengan apa pun.

Rio menyetel sebuah kaset saat ulang tahunnya yang kesebelas. Tampak figur ayah dan ibunya yang bahagia. Handycam itu kemudian dipegang oleh orang lain, dan figur Rio tampak di sana. Dia meniup lilin, sementara Zeth dan Manda memeluknya erat.

Tangan Rio bergetar menatap pemandangan itu. Melihat putaran video itu membuat semuanya terputar balik di otaknya. Saat-saat mereka mengetahui penyakit Rio. Saat Ayahnya  memutuskan pergi dari rumah karena tak kuat menanggung malu. Saat Ibunya menangis tak henti-henti.

Kalau saja Tuhan mengizinkan Rio untuk membuat satu saja permohonan, Rio ingin kembali ke saat-saat di mana semuanya masih baik-baik saja, seperti saat ulang tahunnya yang kesebelas ini.

Rio mengelus handycam itu pelan-pelan. Handycam yang sudah belasan tahun menemaninya. Handycam yang merekam semua perjalanan hidupnya. Handycam yang menjadi awal dari cita-citanya.

Rio menjambak rambutnya. Dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Tahu-tahu ponsel di sebelahnya bergetar. Rio meraih ponsel itu heran. Setahunya, dia tidak pernah memberikan nomor ponselnya pada siapa 
pun, kecuali Alvin.

Mata Rio membesar saat membaca angka yang tertera di layar ponselnya. Itu nomor telepon rumahnya. Rio merasakan tangannya menjadi dingin saat dia menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

"Halo? Vano?" Terdengar sebuah suara perempuan dari seberang.

Rio bergeming saat mendengar suara Mamanya. Sudah begitu lama, sampai-sampai Rio begitu merindukannya.

"Rio? Ini Rio, kan?" tanya Mamanya lagi. Tenggorokan Rio terasa kering.

"Kenapa?" kata Rio dengan suara serak.

"Rio!" seru Retsu. "Untung nomernya benar! Kamu ada di mana sekarang, Nak? Masih di Bandung?"

Mendadak, Rio sadar kalau Shilla pasti sudah melaporkan segalanya pada Ibunya. Dan, Shilla mendapatkan nomor ponsel Rio dari Alvin. Rio mengatur napasnya.

"Kenapa?" tanya Rio lagi.

"Rio, ayo pulang, Nak," kata Manda, terdengar seperti mau menangis. "Ayo pulang, Yo. Kami sudah menunggu di rumah."

Rio tertawa dalam hati. Kami? Kami siapa maksudnya?

Rio masih terdiam. Sebenarnya, dia hanya ingin mendengar suara Ibunya. Rio juga takut kalau dia bicara, dia akan menangis dan ingin cepat pulang.

"Rio, kamu marah sama mama, ya?" tanya Manda kemudian. "Kamu masih marah sama Mama, kan? Rio, maafkan Mama. Maafkan Mama, Nak."

Rio hampir tidak bisa menahan emosinya. Rio sama sekali tidak menyangka kalau ibunya akan meminta maaf seperti itu.

"Maafkan Mama karena Mama bukan ibu yang baik," kata Manda, sudah tersedu. "Maafkan Mama karena Mama nggak bisa merawat kamu dengan baik. Pulanglah, Rio, izinkan Mama merawat kamu sekali lagi."
Rio masih mendengarkan tanpa bisa berkata apa pun. Rahang Rio sudah mengeras, menahan segala keinginannya untuk menangis.

"Mama nggak akan menangis lagi, Rio, Mama akan tegar. Mama akan lebih percaya diri. Mama nggak akan peduli lagi apa kata tetangga. Rio pulang, ya?" kata Manda lagi. "Rio, kalau kamu pulang, ada seseorang yang menunggu kamu di rumah."

Rio mengernyit heran. Siapa yang menunggunya? Shilla-kah?

"Rio?" kini, terdengar suara yang berat dari seberang, membuat jantung Rio serasa berhenti berdetak.
Rio tak bisa memercayai pendengarannya. Mungkin Rio sudah salah dengar. Mungkin Rio tadi berkhayal.

"Rio? Nak? Ini Papa," kata suara itu lagi membuat Rio benar-benar hilang kendali. Dadanya terasa sesak karena mendengar suara itu untuk yang pertama kalinya dalam lima tahun terakhir.

Zeth terdiam sebentar di ujung sana.

"Rio? Papa tahu kamu pasti sangat marah sama Papa. Tapi, beri Papa kesempatan sekali lagi, Yo. Beri Papa kesempatan sekali lagi," kata Zeth membuat tangis Rio tak terbendung lagi. Zeth sendiri juga sudah mulai terisak.

"Papa...," gumam Rio di tengah tangisannya.

"Rio, maafkan Papa, ya? Papa benar-benar bodoh karena sudah meninggalkan kamu dan ibumu. Selama lima tahun Papa mengintrospeksi diri, dan ternyata memang Papa yang salah. Kamu tidak bersalah, Nak. Papa yang sudah salah karena pergi. Seharusnya, Papa tetap mendukung kamu. Maafkan ayahmu yang pengecut ini, Rio," kata Zeth lagi membuat tangisan Rio semakin keras.

"Rio, kamu pulang, ya, Nak? Ayo, kita coba sekali lagi," kata Zeth lagi. "Kali ini, Papa tidak akan lari lagi. Kita ulangi lagi semuanya dari awal. Kamu, Papa, dan Mama."

Rio tidak bisa menjawab. Dia sudah menangis sejadi-jadinya. Seumur hidupnya, dia tidak pernah sebahagia ini. Dia sangat bahagia sampai dadanya seperti mau meledak.

Terdengar ketukan di pintu, tetapi Rio tak bisa mendengarnya. Ify muncul dari pintu dan terkejut menatap Rio yang sedang menangis. Ify segera menghambur ke arah Rio.

"Rio? Kamu kenapa?" tanya Ify panik. "Kamu sakit? Apanya yang sakit?"

Rio tak bisa menjawab. Ify bingung menatap Rio yang menangis sejadi-jadinya itu, lalu menatap ponsel yang sedang dipegang Rio. Ify mengambil ponsel itu, dan ternyata masih tersambung. Ragu, Ify mendekatkan telinganya pada ponsel.

"Rio? Nak? Kamu masih di sana?" sahut sebuah suara wanita. Ify terbelalak, yakin itu suara ibu Rio. Ify tak berani menjawab. "Rio, setelah kamu tenang, kami telepon lagi, ya. Cepat pulang, ya, Rio, kami tunggu."

Setelah itu sambungan terputus. Ify tersenyum, sudah mengerti arti dari tangisan Rio. Ternyata, keluarga Rio mengharapkan Rio untuk pulang. Rio sekarang sudah tidak sendirian lagi.

Ify mengulurkan tangan untuk mengusap air mata Rio, dia lalu memeluk Rio yang masih menangis. Ify benar-benar bahagia karena akhirnya Rio sudah kembali mendapatkan kehidupannya.

Ify ikut menitikkan air mata. Ify tahu seharusnya dia tidak boleh sedih, tetapi dengan begini Rio akan lebih cepat menghilang darinya. Rio akan kembali pada keluarganya di Manado, tetapi Ify harus bisa mendukungnya.

Karena Ify sudah berjanji akan menjadi kuat untuk Rio.


TBC