Sabtu, 22 Oktober 2011

The Best Gift from God (Mini Cerbung : Goresan Ketiga) < copas >

The Best Gift from God (Mini Cerbung : Goresan Ketiga) 

    “Apa, Dok tadi?” tanya pria berseragam putih abu-abu itu.

    “Valvular Stenosis. Itu salah satu kelainan jantung dimana klep jantung berukuran lebih kecil dari biasanya karena kelopak klepnya menjadi kaku. Hal ini menyebabkan jantung harus bekerja lebih berat untuk memompa darah. Ini harus segera ditangani. Kalau tidak, kelainan ini akan dapat menyebabkan kelainan jantung yang lebih parah seperti gagal jantung,” jelas dokter itu.

***

Jari-jari Rio bergerak cepat di atas remote berwarna hitam dalam pegangan tangan kanannya. Dia terus-menerus menggonta-ganti channel siaran yang disuguhkan oleh televisi di depannya sampai akhirnya dia menarik satu kesimpulan. Tidak ada siaran yang menarik baginya. Pria itu lalu melemparkan remote itu ke samping kirinya, di ruang yang masih kosong di atas ranjang putih yang juga tengah ia duduki sekarang.

    Pria itu memutar kepalanya, menatap keluar jendela. Dihembuskannnya nafas panjang. Sampai kapan dia harus tetap tinggal di sini? Jujur saja, bau obat-obatan khas ini mulai menganggunya. Dan lagi, pria itu sering merasakan sesuatu yang dinamakan kebosanan selama dia berada di rumah sakit ini.

    Rio melepaskan pandangannya dari dunia di luar sana dan menoleh ke arah pintu kamar rawatnya begitu suara decitan pintu menggelitik halus telinganya. Seorang pria yang sudah amat dikenalnya berjalan menghampirinya sambil membawa amplop berwarna cokelat yang lumayan besar.

    “Jelaskan kepadaku maksud dari semua ini!” tuntut Alvin lalu melemparkan amplop yang ia pegang ke arah Rio. Belum sempat Rio membuka dan mencari tahu isi amplop itu, Alvin telah membuka mulutnya lalu bertanya,”Sejak kapan kau merahasiakan ini dariku, hah? Kenapa kau merahasiakannya?”

    Rio mengerutkan keningnya, tidak mengerti apa yang sedang Alvin bicarakan. “Vin, apa yang sedang kau bicarakan? Rahasia apa?”

    “Penyakit jantung. Valvular Stenosis. Kenapa kau tidak pernah memberi tahuku kalau kau mengidap penyakit jantung?”

    Air wajah Rio berubah terkejut. Bibirnya mengering tiba-tiba. Baru saja Rio hendak membuka mulutnya ketika Alvin kembali berusara.

    “Sudahlah. Aku yakin kau punya alasan yang kuat untuk menyembunyikan hal ini dariku. Hanya saja, jika kau memberitahukanku dari awal, aku akan lebih memerhatikan kondisi fisikmu,” ujar Alvin. “Baiklah, istirahatlah. Kau masih akan tinggal di sini selama 1 minggu ke depan.” Melihat Rio yang hendak bersuara, Alvin buru-buru menambahkan, “Dan jangan membantah. Aku urus biaya administrasimu dulu. Setelah itu, aku akan kembali,” kata Alvin lalu berbalik dan melangkah menjauhi ranjang Rio. Saat baru saja tangan kanannya memegang kenop pintu, Alvin berbalik. “Satu lagi, aku mohon, jangan pernah merahasiakan apa pun lagi dariku,” pintanya. Setelah itu, tangan kanannya memutar kenop pintu di depannya lalu berlalu keluar dari kamar itu.

***

    “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Alvin di suatu siang lalu meletakkan ranselnya di atas lantai, di samping kursi yang sesaat kemudian telah ia duduki. Pria itu masih mengenakan seragam sekolah yang ia pakai sewaktu hendak berangkat ke sekolah pagi tadi. Penampilannya agak berantakan dengan kemeja yang sebagian keluar dari celana panjangnya.

    “Akan jauh lebih baik kalau aku boleh meninggalkan penjara putih ini detik ini juga,” ujar Rio. Ada nada kekesalan di sana. “Aku sudah menanyakan kepada dokter perihal kondisiku. Dan katanya aku sebenarnya sudah boleh pulang semalam. Saat aku menanyakan kenapa aku masih ditahan di sini, dokter itu menjawab ini semua atas permintaanmu. Kau mau aku mati kebosanan di sini ya?” tanya Rio kesal.

    Alvin menyeringai. “Aku hanya takut penyakitmu kambuh lagi dan aku harus menggendongmu lagi. Kau itu berat, kau tahu?” balas Alvin santai.

    “Vin...” geram Rio.

    “Sudahlah, Yo. Ini juga kan untuk kebaikan..”

    “mu, bukan untuk kebaikanku,” potong Rio lalu memajukan sedikit bibirnya, kesal, lalu memalingkan wajah.

    Alvin tertawa lepas melihat wajah Rio yang tengah kesal. Namun itu tidak berlangsung lama. Beberapa detik setelah itu, tawa Alvin lenyap. “Shit! Aku mohon jangan sekarang,” ujar Alvin agak pelan. Tangan kanannya mencengkram pinggang kanannya kuat-kuat.

    Meski pelan, Rio bisa mendengar suara Alvin yang sepertinya tengah menahan sakit. Dengan cepat Rio menoleh dan mendapati Alvin yang sedang tidak dalam keadaan baik. Matanya dapat menangkap dengan jelas, Alvin sedang meringis kesakitan. Segera saja tangan Rio bergerak menekan bel kecil yang ada di samping ranjangnya. “Vin, apa pun yang terjadi kepadamu sekarang ini, bertahanlah!”

***

    Rio menarik kursi di dekatnya lalu duduk di atasnya. “Sudah sadar kau rupanya,” kata Rio. Nada suaranya terdengar tidak begitu ramah. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Rio dengan nada suara yang masih sama.

    “Jauh lebih baik dari sebelumnya, tentunya,” ujar Alvin enteng.

    Bugg! Rio mendaratkan sebuah pukulan ringan ke atas pipi kiri Alvin. Alvin yang menerima pukulan itu menunjukkan ekspresi yang aneh. Pria itu malah tersenyum.

    “Kau...” garam Rio. “Bagaimana kau bisa memintaku untuk tidak merahasiakan apa pun darimu tetapi nyatanya kau sendiri juga merahasiakan sesuatu dariku?” tanya Rio geram.

    Alvin tertawa kecil. “Sepertinya kita mempunyai alasan yang sama untuk merahasiakan penyakit kita dari sahabat kita.”

    “Karena kita tidak ingin sahabat kita khawatir,” ujar Alvin dan Rio bersamaan. Mereka berdua lalu saling berpandangan dan tertawa.

    “Miris ya?” ucap Alvin. “Dua orang bersahabat dan sama-sama memiliki penyakit yang bisa saja merenggut nyawa mereka kapan pun.”

    “Sebuah kebetulan yang konyol,” tambah Rio lalu terkekeh pelan.

***

    Rio menutup novel dalam pegangannya dengan agak kasar, enggan untuk membukanya lagi. Dia sudah melahap isi novel itu tiga kali sampai-sampai pria itu yakin seperdelapan dari isi novel itu dapat dia tuturkan dengan lancar. Alvin, kau benar-benar harus bertanggung jawab atas semua ini, umaptnya dalam hati.

    Rio masih harus tinggal di sini, di rumah sakit ini 2 hari lagi—yang terasa seperti 2 bulan. Sedangkan Alvin? Pria itu bersikeras meminta kepada dokter untuk diizinkan pulang. Dan pria itu sudah meninggalkan tempat ini sejak 2 hari yang lalu. Alvin hanya dirawat 1 hari. 1 h-a-r-i! Sedangkan dirinya, atas permintaan konyol Alvin harus dirawat 1 minggu. Seenak Alvin saja memutuskan sesuatu, gerutunya.

    Rio meletakkan novel itu ke atas meja kecil di samping kiri ranjangnya, bersebelahan dengan gelas berisi air putih yang tinggal sedikit itu. Kemudian nafas panjang keluar dari hidungnya. Apa lagi yang bisa dia lakukan agar jarum jam dinding bulat itu bisa bergerak 10 kali labih cepat? tanyanya sendiri.

    Rio menggerakan kepalanya, mengarahkan pandangannya ke arah pintu saat suara kenop pintu yang diputar mulai menyebar di kamar itu. Matanya dapat meihat seorang pria sedang berdiri di balik pintu itu, melemparkan seulas senyum bersahabat sambil mengangkat tangan kanannya ke atas.

    “Keadaanmu?” tanya pria itu begitu pria itu sudah berdiri di samping ranjang yang sedang ditempati Rio. Rio belum sempat menjawab saat pria itu menarik kursi di dekatnya lalu duduk.

    “Keadaanku? Seperti yang pernah kubilang. Akan jauh lebih baik kalau aku tidak lagi berada di sini,” ujar Rio gemas. “Tunggu dulu. Aku tidak pernah tahu kalau kau merokok, Vin.”

    “Hah?” tanya Alvin tak mengerti.

    “Aku mencium bau asap rokok,” jelas Rio.

    “Oh itu. Tidak. Kau tahu sendiri aku sangat benci asap rokok. Bagaimana mungkin aku merokok,” kata Alvin
.

    “Lalu?”

    “Aku naik bus tadi.” Alvin memberi penjelasan.

    “Bus? Bus kota?” tanya Rio. Melihat Alvin mengangguk, Rio kembali bertanya,”Dimana motormu?”

    “Sudahlah. Tidak penting untuk dibahas,”Alvin menolak menjawab pertanyaan Rio. “Ou ya, ada sesuatu untukmu.”Alvin lalu memutar ransel di belakang punggungnya ke depan, merogoh sesuatu dari dalam lalu mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih “Ini.” Alvin menyerahkan amplop yang termasuk besar itu kepada Rio.

    Rio menerimanya tanpa bersuara. Dibukanya amplop itu lalu tangan kanannya bergerak masuk ke dalam dan mengeluarkan beberapa lembar kertas berukuran HVS dari dalam amplop itu. “New York International Hospital?” tanya Rio setelah membaca sekilas isi kertas itu.

    Alvin mengangguk. “Dokter mangatakan jantungmu harus segera ditangani,” kata Alvin. “Pamanku adalah seorang dokter spesialis jantung di sana. Aku sudah membicarakan tentang kondisimu dengan pamanku. Kau bisa menjalani operasi transplantasi jantung di sana. Masalah donor jantungnya dapat diusahakan. Di dalam amplop itu sudah ada tiket pesawat, paspor dan surat-surat lainnya. Masalah administrasi juga sudah aku urus. Kau tinggal berangkat saja,” jalas Alvin dengan ringan lalu tersenyum

    “Vin, tapi...”

    “Kau tidak boleh menolaknya,” sergah Alvin. “Aku masih ingat kau pernah mengatakan kau takkan mau menerima sesuatu yang kubeli dengan menggunakan uang orang tuaku. Dan percayalah, semua ini aku usahakan dengan menggunakan uangku sendiri,” terang Alvin.

    Rio kelihatan tengah berpikir. Beberapa detik kemudian, kelopak matanya melebar. Sepertinya dia sadar akan sesuatu.

    “Tunggu dulu, kau tadi bilang kau datang ke sini dengan menggunakan bus kota kan? Katakan padaku, dimana motormu?” tanya Rio.

    “Sudah kukatakan, itu tidak penting untuk dibahas,” jawab Alvin.

    “Biar kutebak. Kau menjual motormu untuk ini semua?”

    Alvin terdiam.

    “Jawab aku, Vin,” desak Rio. Alvin lalu mengangguk kecil. “Beritahu aku, apa lagi yang kaujual. Aku yakin hasil dari penjualan motormu takkan cukup untuk menutupi biaya semua ini.”

    “Yo, itu tidak penting.” Alvin mengibaskan tangannya.

    “Vin, aku mohon beritahu aku,” pinta Rio.

    “Itu tidak pen...”

    “Beritahu aku, Vin!” desak Rio. Suaranya meninggi.

    Alvin membuang nafas. “Baiklah. Aku menjual semua koleksi jam tanganku dan miniatur Supermanku.”

    Rio tersentak kaget. “Astaga! Apa yang kau lakukan? Aku tahu betul, semua jam tanganmu kaudapatkan dari luar negeri. Semua jam tanganmu bermerek terkenal dan selalu keluar dalam edisi yang terbatas. Juga miniatur Superman itu. Semua itu limited edition kan? Kau mendapatkan miniatur-miniatur itu dengan susah payah dan dengan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Semua itu, jam tangan dan miniatur itu, mereka adalah barang yang sangat berharga bagimu. Kenapa kau menjualnya dengan sebegitumudahnya?” tanya Rio tak habis pikir.

    “Alasannya sederhana. Karena kau jauh lebih berharga dari semua barang-barang itu.”

Bukankah seorang sahabat itu lebih berharga daripada sebongkah emas murni dan lebih bernilai daripada sebutir berlian paling berkilau sekali pun? Kau bisa membeli sebongkah emas dan sebutir berlian, tetapi percayalah, kau tidak akan bisa membeli seorang sahabat. Sahabat yang benar-benar seorang sahabat.

    “Maaf, Vin, aku tidak bisa menerima ini,” ujar Rio lalu memasukkan kembali kertas-kertas itu ke dalam amplop.

    “Bagitu ya? Baiklah, aku juga tidak akn pernah menjalani operasi pencangkokkan ginjal,” kata Alvin enteng.

    “Kau...!!!” Rio menggeram.

    “Aku hanya seorang yang ingin menolong sahabatnya. Apa itu salah?” tanya Alvin lantang.

    Rio terenyuh. Kepalanya lalu tertunduk. “Tapi aku takut, Vin. Aku takut aku tidak akan pernah bisa membalas kebaikkanmu. Sudah terlalu banyak yang kauberikan untukku.”

    “Dan aku tidak  pernah mengharapkan balasan apa pun,” ujar Alvin sungguh-sungguh. “Mungkin ini akan terdengar berlebihan, tapi percayalah, aku akan melakukan apa pun asalkan kau bisa sembuh. Aku bahkan rela memberikan jantungku kalau itu bisa membuatmu sembuh.”

    “Dasar bodoh.” Rio melemparkan bantal di sampingnya tepat ke wajah Alvin. “Balum pernah ada dan tidak akan pernah ada manusia yang bisa hidup tanpa jantung. Kau kira aku akan membiarkanmu mati demi aku?”

    “Aku memang bodoh,” aku Alvin.

    “Ya. Orang paling bodoh yang pernah kutemui.”

    “Dan aku bersyukur untuk itu, karena jika aku tidak bodoh, aku tidak akan mungkin bisa memikirkan keputusan ini. Keputusan yang mungkin saja menurutmu bodoh, namun ini akan menjadi keputusan yang tidak akan pernah aku sesali.”

    “Vin, terima kasih,” ujar Rio. Dia tidak mampu menahan laju air matanya. Air hangat menyeruak keluar begitu saja dari matanya.

    Alvin menyambar bantal yang sempat mendarat di wajahnya yang kini berada di atas lantai, lau melemparkannya ke arah Rio, “Dasar bodoh! Untuk apa kau menangis? Hapus air matamu! Jangan pernah berharap aku akan meminjamkan jari-jariku untuk mengapus air matamu. Akan terasa sangat aneh sekali kalau aku melakukannya.”

    Tangan kanan Rio terangkat bermaksud untuk menyeka air matanya. Namun belum sempat jarinya menyentuh pipnya sendiri, tangan lain terjulur dan jari dari tangan itu menyeka air matanya.

    “Ini kali terakhirnya aku meminjamkan jariku untuk menghapus air matamu,” ucap Alvin lalu tersenyum.

    “Lalu, apakah kau akan menemaniku ke Amerika nanti?” tanya Rio.

    Alvin menarik kedua ujung bibirnya ke atas. “Tentu saja. Aku akan mati di sini karena khawatir kalau aku tidak ikut.”

    “Vin, teri...”

    “Sama-sama.”

Seorang teman akan memberikanmu lilin ketika kau sedang berada dalam kegelapan, tetapi seorang sahabat tidak akan segan-segan menjadi lilin untukmu. 

___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar