Sabtu, 22 Oktober 2011

The Best Gift from God (Mini Cerbung : Goresan Pertama) < copas >

I love this story. Persahabatan yang indah, tanpa memandang status, derajat dan lain-lain....
saking sukanya, aq pos di blog q ini... moga pada suka y...

The Best Gift from God (Mini Cerbung : Goresan Pertama)
This perhaps just will be a chain of my simple words which decribes what a friendship is in my eyes...

***

    Rio menjalarkan pandangannya menelusuri sepanjang koridor di depannya sambil terus melangkah. Sepi. Dia kemudian berhenti melangkah. Kepalanya  melongok ke dalam sebuah kelas —bukan ruangan kelasnya—di samping kirinya dan mencari jam dinding yang menghuni kelas itu. Matanya memicing menatap jam dinding persegi dengan pinggiran berwarna biru tua yang tergantung di atas papan tulis di kelas itu. Pukul 6.00. Pantas saja masih sepi.

    Rio lalu menarik kepalanya keluar dari kelas itu kemudian kembali melangkah. Baru beberapa langkah, dia kembali berhenti ketika telinganya dapat menangkap dengan jelas ada suara derap langkah kaki yang tergesa-gesa yang merambat di sepanjang koridor. Rio lantas memutar badannya. Kini di hadapannya berdiri 3 orang pria yang berseragam putih abu-abu. Ketiga pria di depannya menatap dirinya dengan tatapan yang sulit ditebak.

    “Ikut dengan kami!” perintah pria yang berada di tengah singkat.

    Belum sempat Rio membuka mulutnya untuk bersuara, pria yang berbicara tadi telah mencengkram pergelangan tangan kanannya dengan kuat lalu menariknya dengan paksa. Mau apa mereka? tanya Rio dalam hati.

    Seperti yang dilihatnya tadi, koridor itu itu masih sepi. Belum terlihat ada orang lain di koridor itu selain mereka berempat. Dengan kondisi yang seperti itu, Rio hanya bisa pasrah membiarkan dirinya ditarik oleh salah satu pria dari ketiga pria di depannya. Sekali pun ada orang lain di koridor itu, Rio yakin betul, dia atau mereka pasti lebih memilih untuk berpura-pura tidak melihat daripada harus berurusan dengan 3 pria itu.

    Dan dia masih saja membiarkan dirinya ditarik paksa. Ketiga pria itu berjalan dengan langkah-langkah panjang dan cepat, membuatnya agak kesulitan untuk mengikuti mereka. Ditambah lagi tangan kanannya sedang ditarik oleh salah satu dari mereka sehingga beberapa kali dia sempat hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Rio bisa merasakan cengkraman pria di pergelangan tangan kanannya semakin erat. Agak sakit tetapi dia tidak berani sedikit pun untuk mengaduh. Dia masih berusaha menerka-nerka apa keinginan ketiga pria itu. Apa pun itu, satu yang pasti, Rio bisa merasakan akan ada hal yang tidak menyenangkan yang terjadi padanya beberapa saat lagi.

    Rio ikut berbelok ke kanan tepat di ujung koridor ketika ketiga pria itu berbelok ke arah yang sama juga. Tak perlu kepandaian lebih untuk menerka kemana mereka akan membawa dirinya. Pasti ke gudang belakang sekolah. Dan benar saja, beberapa saat setelah Rio berpikiran seperti itu, mereka—ketiga pria itu dan dirinya— telah berada di gudang belakang sekolah.

    Terdengar suara benturan yang cukup keras ketika tubuhnya dihempaskan oleh pria yang menariknya tadi ke dinding gudang itu dengan kasar. Kelupasan-kelupasan cat berwarna putih turun mengotori tanah—ada juga yang melekat di celana panjang abu-abunya—bersamaan dengan itu. Dan sekarang—sekali lagi—berdiri 3 orang pria dengan potongan rambut yang berbeda di hadapannya. Yang berada di tengah—yang menariknya tadi—dengan spike style. Di samping kanan pria itu, berdiri pria dengan gaya rambut emo, sedangkan di samping kirinya dengan potongan rambut harajuku.

    Pria dengan potongan rambut harajuku itu kemudian maju satu langkah ke depan. “Maaf sebelumnya kalau kami terkesan kasar terhadapmu.” Melihat Rio mengangguk, dia melanjutkan,”baiklah, langsung ke poin utamanya saja. Kau tahu siapa kami?” tanyanya. Lagi-lagi Rio mengangguk. “Bagus. Tetapi aku tetap saja aku ingin tekankan, kami adalah sahabat Alvin sejak SMP,” tekannya dan memberikan penegasan di empat kata terakhir.

    Pria itu kemudian mundur satu langkah. Diselipkannya tangan kanannya ke saku celananya, sedangkan tangan kirinya bergerak mengusir sedikit  debu yang menempel di nama tagnya yang bertuliskan Cakka. K. Nuraga. “Awalnya kami tidak mempermasalhkan perihal kedekatanmu dengan Alvin. Kami juga awalnya tidak keberatan kalau kalian berdua bersahabat. Tetapi...” Cakka maju satu langkah lalu menatap Rio tajam. “belakangan ini kami berubah pikiran.” Dua pria di belakangnya mengangguk. “Belakangan ini Alvin semakin jarang menghabiskan waktu dengan kami. Dia juga menjadi jarang mengikuti latihan futsal. Kau tahu sendiri kan, Alvin itu harapan terbesar tim futsal sekolah ini? Dan kau tahu penyebab semua ini?” tanya Cakka. Kali ini Rio menggeleng. Cakka tersenyum sinis. “Itu semua karena kau!” hujat Cakka dengan nada yang agak tinggi.

    “Alvin absen hampir di setiap jadwal latihan dengan alasan ingin belajar bersamamu,” ujar Cakka. Pria itu lalu tertawa hambar. “Apa gunanya belajar?” tanyanya, tidak jelas kepada siapa. Sedetik setelah itu, dia menatap Rio dengan tatapan yang tak bersahabat. “Alvin berubah semenjak dia mengenalmu. Dan kami tidak menyukai perubahan itu, kau tahu?”

    “Biar kujelaskan saja dengan cepat,” sahut suara lain. Kali ini, pria bergaya rambut emo yang angkat bicara. “Kami tidak suka kau berteman dengan Alvin. Jadi mulai sekarang, tolong jauhi dia.” Tidak terdengar seperti sebuah permintaan, tetapi lebih kepada sebuah perintah. “Kau dan Alvin terlalu jauh berbeda untuk disandingkan sebagai sahabat. Terlalu aneh malahan. Kau tahu siapa Alvin. Kapten tim futsal sekolah, anak dari pemilik yayasan sekolah ini, populer dan digilai oleh hampir seluruh siswi di sekolah ini. Sedangkan kau...” Pria itu menggantungkan kalimatnya lalu menyapu tatapannya dari ujung kepala Rio, terus menurun hingga ke ujung kakinya lalu kembali menatap Rio. “Kau hanya seorang yang beruntung karena bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di sekolah elit seperti ini. Kau terlalu jauh berbeda jika dibandingkan dengan Alvin.” Pria itu tersenyum mengejek.

    “Ayolah, kami tahu kau itu murid yang cerdas. Kau pasti sudah mengerti maksud kami,” ujar pria dengan gaya rambut spike. “Jadi kami minta, jauhi Alvin mulai sekarang. Kau bisa kan, Mario Stevano?” tanya pria ‘spike’ itu. Rio mengangguk takut-takut lalu menunduk. “Baguslah kalau kau bisa. Cakka, Gabriel, ayo kita pergi sebelum ada yang melihat kita.”

    Belum sempat pria ‘spike’ itu berbalik, pria itu kembali membuka mulutnya lalu berkata,“ou ya, jangan pernah memberitahukan hal ini kepada Alvin. Percayalah, aku, Obiet, akan benar-benar berlaku kasar kepadamu jika kau berani memberitahukannya,” tegas Obiet, lalu berbalik dan melangkah pergi. Baru beberapa langkah, Obiet memutar tubuhnya, menatap Rio yang sudah mengangkat kepalanya lalu berujar,”Mario Stevano. Nama yang bagus. Malah terlalu bagus untuk orang sepertimu. Sama seperti Alvin yang terlalu baik untuk menjadi sahabatmu.” Obiet menyeringai meremehkan lalu melangkah menjauhi Rio.

***

    Rio membalik halaman buku di hadapannya dengan tak bersemangat. Matanya tertuju pada halaman buku itu tetapi dia tidak benar-benar memperhatikan isinya. Otaknya telah terganjal oleh sesuatu yang tidak menyenangkan sehingga saat ini hal tersulit baginya adalah berkonsentrasi. Otaknya masih saja memutar ulang kejadian pagi tadi. Percakapan searah yang terjadi di gudang belakang sekolah tadi terus terngiang-ngiang di kedua telinganya. Kata-kata ketiga pria itu terus membayang di telinganya bak suara yang menggema yang memenuhi rongga telinganya.

    Semua yang dikatakan mereka itu benar. Seharusnya dia sudah menyadari dari awal kalau Alvin terlalu baik untuknya. Dia tidak pantas sedikit pun bersahabat dengan Alvin. Bahkan untuk berdiri di samping Alvin pun rasanya dia tidak pantas. Apa yang dikatakan Gabriel tadi itu benar. Dia dan Alvin terlalu jauh berbeda. Lancang sekali dia karena berani-beraninya berharap dapat bersahabat dengan Alvin.

    ‘Rio, dengar! Jauhi Alvin! Kau benar-benar tidak pantas berdekatan dengannya apalagi bersahabat dengannya. Sadarlah, kau ini siapa dan Alvin itu siapa. Kau tidak pantas bersahabat dengan Alvin. Tidak akan pernah pantas,’ seru Rio kepada dirinya sendiri dalam hati.

    “Hai, Yo. Tumben pagi-pagi sudah melamun. Apa yang kau lamunkan, hah?” sapa dan tanya seorang pria yang langsung mengambil temapt di samping Rio.

    Rio terkesiap. Dengan agak ragu, dia menoleh ke samping kiri. “Eh, Alvin,” ujarnya canggung.

    “Lamunin apa?” Alvin mengulang pertanyaannya lalu tersenyum tipis. Senyum yang sangat bersahabat.

    “Bukan apa-apa,” jawab Rio cepat lalu memaksakan seulas senyum.

    Alvin membuang nafas panjang. “Jangan pernah tersenyum kepadaku kalau kau tidak benar-benar ingin tersenyum. Senyummu barusan terlihat amat aneh, kau tahu?” ucap Alvin. “Ada hal buruk yang terjadi padamu pagi ini?” tanya Alvin sambil menaikkan alis kanannya.

    Rio tersentak, tidak menyangka Alvin akan menanyakan pertanyaan itu. “Ti..tidak. Tidak terjadi apa-apa. Semuanya baik-baik saja,” jawab Rio tergagap.

    Alvin kembali membuang nafas. Sedetik setelah itu, suara lonceng menyebar memenuhi ruangan itu. Baiklah, dia tidak akan memperpanjang percakapan ini meskipun sebenarnya masih ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

***

    Penghuni kelas itu sebagian mulai menghambur keluar ruangan sesaat setelah bunyi lonceng pertanda waktu istirahat menggelitik semua telinga penghuni ruangan itu. Sebagian lagi masih menetap di kelas, termasuk Rio dan Alvin. Beberapa di antara yang masih menetap mulai membentuk kawanan di beberapa sudut. Baik Rio dan Alvin tidak peduli apa yang akan mereka lakukan atau bicarakan.

    “Yo, ke kantin yuk. Lapar nih,” ajak Alvin sementara tangan kanannya mengelus-elus kecil perutnya.

    “Maaf, Vin. Aku sudah sarapan dari rumah,” tolak Rio halus.

    “Kalau begitu kita makan siang saja,” tawar Alvin, berusaha bercanda.

    Rio melirik jam dinding bulat dengan warna emas yang membalut pinggirannya yang tergantung di depan kelas. “Ini baru pukul setengah sepuluh, Vin. Tidak ada yang namanya makan siang pada pukul setengah sembilan.” Rio menggeleng pelan.

    Alvin terkekeh. “Kalau begitu, temani aku saja. Aku lagi malas sarapan sendirian.”

    “Sekali lagi maaf, Vin. Aku tidak bisa. Ada yang harus kukerjakan sekarang di sini, di kelas ini,” tolak Rio sambil mengeluarkan buku Matematikanya, membuka halaman 102 lalu berpura-pura sedang berpikir untuk mengerjakan soal yang ada di halaman itu.

    “Baiklah, aku akan menunggumu sampai apa yang harus kaukerjakan itu selesai kaukerjakan.”

    Rio menoleh ke kiri lalu menatap Alvin. “Vin, sebaiknya kau makan sendirian saja. Butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Nanti kau malah tidak sempat  sarapan karena waktu intirahat sudah habis,” saran Rio.

    Alvin membuang nafas. Kecewa. “Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Mau titip sesuatu?” tanya Alvin seraya bangkit dari duduknya.

    Rio menggeleng. “Tidak, Vin. Terima kasih,” ucap Rio lalu tersenyum kikuk.

    “Sudah kubilang, jangan tersenyum kalau kau tidak ingin tersenyum,” ujar Alvin datar lalu melangkah pergi.

Rio menatap punggung Alvin dengan tatapan bersalah. Dia lalu menunduk dan bergumam pelan, “Maaf, Vin.”

***
Ada yang salah dengan Rio hari ini, simpul Alvin. Pria itu tidak seperti biasanya. Sudah dua kali pria itu memberinya senyum aneh pagi ini. Alvin sebenarnya tahu kalau pria itu berbohong saat pria itu mengatakan tidak ada yang terjadi padanya pagi ini. Dan tidak biasanya pria itu berbohong. Pasti ada yang terjadi pada pria itu pagi ini, atau sebelum pagi ini.

Saat Alvin masih sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba saja ada sesuatu yang terlitas di pikirannya yang menyentaknya. Sejak kapan Rio sarapan dari rumah? Yang Alvin tahu, selama hampir 1 tahun mengenal Rio, sarapan dari rumah bukanlah kebiasaan pria itu. Bahkan pria itu tidak jarang tidak sarapan kalau saja Alvin tidak mengajaknya bersarapan. Memang ada yang salah dengan pria itu hari ini, tegas Alvin.

Alvin lalu bangkit berdiri dan meniggalkan nasi goreng dan jus alpukat yang belum sempat disentuhnya sedikit pun. Dia kemudian melangkahkan kakinya menuju stan penjual roti di kantin itu.

***

    Alvin menjentikkan karinya begitu melihat apa yang terjadi di depannya. Dia melihat dari ambang pintu, Rio tengah menunduk dan mengelus perutnya. Anak itu pasti tengah kelaparan, pikir Alvin. Benarkan dugaannya kalu pria itu memang berbohong tadi? Dasar! Sebenarnya ada apa dengan sahabatnya itu? Membohonginya sampai dua kali hari ini. Alvin mendengus kesal lalu melangkah memasuki ruangan kelasnya.

    Rio mengangkat kepalanya begitu mendengar bunyi berisik seperti suara plastik yang diremas-remas. Ditolehkan kepalanya ke kiri. Matanya dapat melihat ada sekantung plastik, cukup besar yang entah berisikan pap di atas meja Alvin.

    “Ini,” ujar Alvin sambil menyodorkan 3 bungkus roti rasa cokelat ke hadapan Rio.

    “Aku sudah sarapan, Vin dan aku masih kenyang,” ujar Rio.

    Alvin mendengus lalu mendecak kecil. Dibukanya salah satu bungkus roti itu setelah dua yang lain dia letakkan di atas meja. Kemudian tangan kirinya merogoh sesuatu dari dalam saku kemejanya. Lalu dengan satu gerakkan, dia melemparkan sesuatu yang dirogohnya itu ke arah Rio. “Iiihhh, cicak...” teriak Alvin dengan  suara yang agak keras.

    Rio terlonjak kaget begitu ada sesuatu yang kecil, kenyal dan dingin menempel di kulit tangan kirinya. “Aaaahhh... Cicaaakk...” teriak Rio dengan suara yang lebih keras dari Alvin.

    Alvin tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan satu gerakan cepat, disumbatnya mulut Rio yang tengah terbuka lebar itu dengan roti dalam genggaman tangan kanannya. “Makanlah,” ujarnya setelah roti itu dengan sukses menyumbat mulut Rio.

    Alvin lalu membuka bungkus roti yang lain. “Aku tahu kau belum sarapan,” kata Alvin lalu mengiggit roti dalam pegangannya lalu mengunyahnya cepat. Setelah potongan roti itu melewati tenggorokannya, dia membuka mulutnya lalu berkata,”Jangan pernah membohongiku lagi. Percayalah, kau tidak punya bakat sedikit pun untuk menjadi seorang pembohong. Satu lagi, itu hanya cicak mainan.”

Bukankah seorang sahabat akan mengenalmu bahkan sampai hal terkecil yang tidak pernah kaupikirkan? 

___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar