Sabtu, 22 Oktober 2011

The Best Gift from God (Mini Cerbung : Goresan Kedua) < copas >

The Best Gift from God (Mini Cerbung : Goresan Kedua)
    Alvin berusaha mengatur nafas sambil mengedarkan pandangannya, berusaha mencari sosok yang membuatnya harus berlari cepat seperti tadi. Sekali mengedarkan, dia tidak menemukannya. Lalu diedarkan pandangannya sekali lagi. Kali ini lebih lambat dan matanya memicing lebih tajam. Aha! Itu dia! Akhirnya matanya menangkap keberadaan sosok itu juga. Sosok—pria— itu sedang berjalan dengan langkah kecil dan lambat menuju gerbang sekolah.

    Alvin menatap punggung pria itu lekat-lekat. Ada yang harus dijelaskan pria itu kepadanya. Belakangan ini ia merasa pria itu sepertinya mencoba untuk menghindarinya. Ah, tidak! Pria itu memang menghindarinya. Dan semua ini bermula dari pagi itu, saat untuk pertama kalinya pria itu melemparkan sebuah senyum aneh untuknya. Sejak itu, pria itu hampir menolak semua ajakannya—ajakan untuk sarapan dan makan siang di kantin sekolah, ajakan untuk pulang bersama, belajar bersama dan masih banyak lagi. Pasti ada alasan di balik ini semua. Tidak mungkin pria itu tiba-tiba menghindarinya tanpa alasan. Dia tahu betul, itu sama sekali bukan watak pria itu.

    Alvin melangkahkan kakinya dengan cepat, atau lebih tepatnya setengah berlari ke arah pria yang sudah hampir mencapai gerbang bercatkan warna silver itu.

    “Yo, Rio,” panggil Alvin. Melihat pria yang dipanggilnya itu, Rio, tidak bergeming sedikit pun malah mempercepat langkahnya, Alvin pun melangkah dengan langkah yang lebih panjag dan cepat. “Rio,” panggilnya sekali lagi. Kali ini terdengar lebih keras namun tetap saja tidak berhasil membuat Rio menghentikan langkahnya atau sekedar menoleh.

    Alvin mendengus kesal. Apa-apaan pria itu? Sesaat kemudian, Alvin telah benar-benar berlari menghampiri Rio. Dan saat Rio sudah berada dalam jangkauannya, Alvin menepuk pundak pria itu. “Mario Stevano, sejak kapan kau tuli, hah? Atau namamu sudah bukan Rio lagi?” ujar Alvin kesal.

    Rio menoleh, singkat, lalu memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alvin.

    “Apa yang terjadi padamu, hah? Kenapa kau mempercepat langkahmu tepat setelah aku memanggilmu?” tanya Alvin.

    Tanpa menoleh, Rio membuka mulutnya lalu menjawab,”Maaf, aku tidak dengar kau memanggilku.”

    Alvin membuang nafas. Alvin yakin Rio pasti berbohong. Kenapa belakangan ini pria ini sering sekali berbohong? tanya Alvin dalam hati. Meski begitu, Alvin—kali ini—berusaha tidak memerdulikannya. Ia berusaha mencari kebenaran kalau pria itu memang tidak mendengar penggilannya.

    “Belajar bersama yuk di rumahku,” ajak Alvin. “Aku benar-benar tidak mengerti tentang pelajaran Fisika barusan. Kalor? Entah apa itu,” lanjutnya.

    “Maaf, Vin, aku tidak bisa.” Rio berhenti sesaat ketika telinganya mendengar desah nafas kecewa dari pria di sampingnya. Astaga! Harus berapa kali lagi ia harus membuat pria itu kecewa? Ada sebentuk rasa bersalah yang semakin membesar yang memadati harinya. “Aku harus berkeliling menjual martabak setelah ini,” tambahnya. Sedetik setelahnya, Rio bisa merasakan lidahnya mendadak menjadi kelu.

    “Kalau begitu, aku ikut,” ujar Alvin cepat.

    “Tapi, Vin...”

    “Dan aku akan tetap ikut sekali pun kau tidak mengizinkannya,” sambar Alvin. Nada suaranya tegas, seolah-olah tidak ingin mendengar adanya bantahan.

    “Vin...” desak Rio.

    “Oh, baiklah.”Alvin menghela nafas panjang. “Ada yang harus kaujelaskan. Belakangan ini aku merasa kau selalu berusaha menghindariku. Kenapa?” tanya Alvin dengan nada yang terdengar serius.

    Rio menundukkan kepalanya. Mesin-mesin dalam otaknya langsung bergerak cepat, berusaha memikirkan apa yang sebaiknya ia katakan kepada Alvin. Ya, ia sudah mendapatkannya! Mungkin  bukan jawaban yang efektif, tetapi ini adalah satu-satunya yang terlintas di otaknya saat ini. “Aku tidak menghindarimu. Aku...”

    “Aku tahu kau menghindariku,” sergah Alvin. “Sekarang, jelaskan kepadaku alasannya!”

    “Aku benar-benar tidak menghindarimu, Vin,” tukas Rio.

    “Yes, you did. Sudah kubilang, kau tidak punya bakat sedikit pun untuk menjadi seorang pembohong. And now, i get you to explain the reason,” desak Alvin tak sabar.

    Keberanian Rio untuk mengangkat kepalanya menguap saat itu juga. Harusnya dia sadar dari awal kalau Alvin terlalu sulit untuk dibohongi. Rio membuka mulutnya namun segera ditutupnya kembali. Dia sudah berjanji tidak akan memberitahukan alasan yang sebenarnya kepada Alvin bukan karena dia takut terhadap ancaman dari Obiet, tetapi terlalu mengerikan untuk membayangkan apa yang akan dilakukan Alvin kalau pria itu sampai mengetahuinya.

    Alvin memutar tubuhnya menghadap Rio yang masih berdiri menyampingi dirinya. Alvin menjadi gemas sendiri karena pria itu tak kunjung menyuarakan satu kata un. Sekali lagi dia menghela nafas panjang. “Baiklah jika kau tidak mau bicara. Biar aku tebak saja. Ini semua ada hubungannya dengan Obiet dan kawan-kawan?”

    Rio masih betah membisu, tidak bergeming, dan bagi Alvin itu adalah pertanda kalau dugaannya benar.

    “Mereka...” geram Alvin. “Aku harus memberi mereka pelajaran.”

    Belum sempat Alvin memutar tubuhnya dan melangkah,Rio dengan cepat mencengkram pergelangan tangan kanan Alvin. “Jangan, Vin.”

    “Kenapa?” tanya Alvin tak habis pikir. “Mereka tak bisa seenaknya seperti itu. Mereka pasti menyuruhmu untuk menjauhiku kan? Punya hak apa mereka sampai berani-beraninya menentukan dengan siapa aku harus bersahabat? Mereka sudah keterlaluan.”

    Rio mengangkat kepalanya dengan agak ragu, memberanikan diri menatap Alvin. “Yang mereka katakan semuanya benar. Aku tidak pantas, sangat tidak pantas berdekatan apalagi bersahabat denanmu. Aku dan kau terlalu juauh berbeda. Lihat saja! Kau itu kaya, anak pemilik yayasan sekolah ini, kapten tim futsal sekolah yang populer. Sedangkan aku? Aku tak lebih dari seorang yang hanya beruntung bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di sekolah seelit ini. Aku seharusnya tahu diri,” jelas Rio.

    Alvin mengepalkan tangan kanannya erat-erat sehingga buku-buku jarinya memutih. Urat-uratnya yang berwarna hijau kebiruan itu menimbul di balik kulit putih yang membalutnya. “Dan aku tidak peduli dengan semua itu. Aku tidak keberatan,” tegas Alvin.

    “Ayolah, Vin. Kapan kau akan menyadari kalau aku dan kau terlalu jauh berbeda untuk bersahabat?” tanya Rio putus asa.

    “Aku tidak akan pernah dan tidak akan mau menyadarinya,” Alvin menegaskan.

    “Vin, aku tidak pantas untuk menjadi sahabatmu.”

    “Di mataku, kau jauh lebih pantas dari siapa pun.”

    “Vin, kau itu kaya. Kau tidak pantas bersahabat dengan aku yang seorang yatim piatu, yang hanya seorang penjual martabak yang mis...”

    “Miskin? Iya?” potong Alvin geram. “Lalu kaupikir aku adalah orang yang memandang status sosial dalam bergaul?” tanya Alvin kesal. “Aku tidak menyangka, selama ini kau memandangku dengan pandangan seperti itu. Aku kecewa.” Alvin lalu menyentakkan tangan kanannya dengan kasar, melepaskan pergelangan tangan kanannya dari cengkraman tangan Rio, kemudian berlalu melewati gerbang, meninggalkan Rio.

    “Vin, Alvin,” panggil Rio.

    Alvin dapat mendengar panggilan itu namun dia tak peduli. Pria itu telah terlanjur kecewa. Bisa-bisanya sahabatnya berpikir seperti itu tentangnya? Diangkatnya tangan kanannya ke atas lalu mengibas-ngibaskannya asal-asalan di udara tanpa menoleh.

    Rio menatap punggung Alvin dengan lesu. Sekali lagi, dia telah berhasil membuat pria itu kecewa. ‘Maafkan aku, Vin.”

***

    “Dasar bodoh! Apa yang sudah kaulakukan, Mario? Kau baru saja mengecewakan sahabat terbaik yang pernah kau punya.” Rio merutuki dirinya sendiri sambil memukul penggorengan datar berbentuk piringan di depannya dengan spatula yang ia pegang sehingga menimbulkan suara kasar yang berisik.

    “Berhentilah melakukan hal bodoh seperti  itu sebelum kau mendapatkan satu tiket gratis untuk menginap di rumah sakit jiwa.”

    Rio dengan cepat memutar tubuhnya begitu suara yang sudah amat dikenalnya itu menggelitik telinganya. “Alvin.” Alvin hanya tersenyum tipis. “Sedang apa kau di sini?” tanya Rio. Benar-benar bingung.

    “Kan sudah kubilang, aku akan ikut denganmu menjual martabak,” ujar Alvin dengan nada suara yang sangat bersahabat.

    Astaga! Apakah pria itu tiba-tiba saja mengalami amnesia? Apakah dia sudah melupakan kejadian 3 jam yang lalu? Kenapa pria itu bisa bersikap seramah ini kepadanya seolah-olah kejadian 3 jam yang lalu itu tidak pernah terjadi? tanya Rio.

    “Vin, aku mau minta ma...”

    “Permintaan maaf diterima,” potong Alvin lalu tersenyum hangat. “Sebenarnya sih permintaan maafmu tidak berarti. Kau tahu kenapa? Karena aku sudah memaafkanmu sejak 1 menit setelah peristiwa tadi,” jelas Alvin.

Bukankah dalam sebuah persahabatan, kata maaf itu tidak benar-benar diperlukan?

    “Dan kali ini, biar aku saja yang mengayuh gerobak ini,” sambung Alvin

    “Tidak,” tukas Rio. “Kau tidak akan kuizinkan mengayuhnya.”

    “Ayolah, Yo. Kau selalu menolak tiap kali kau ingin mengayuh gerobak ini. Sekali ini saja,” pinta Alvin memelas.

    “Tidak, Vin,” tegas Rio. Dia tidak mungkin membiarkan sahabatnya itu mengayuh gerobaknya di siang yang begitu terik seperti ini. Dia tidak tega membiarkan peluh-peluh keringat membasahi tubuh dan seragam sahabatnya itu. Dan sekali pun jika hari ini mendung, dia juga tidak akan membiarkan sahabatnya itu. Dia merasa tidak enak kepada sahabatnya itu. Sahabatnya itu terlalu tidak pantas melakukan itu. Melihat raut wajah Alvin yang berubah lesu, Rio segera menambahkan,”kau mau menemaniku berkeliling saja itu sudah lebih dari cukup, Vin.”

    “Tapi...” ujar Alvin, masih berusaha.

    “Tidak, Vin. Kau cukup duduk manis di jok belakang, ok?”

    Avin menurut. Ia Ialu mengambil tempat di jok belakang, di belakang Rio. Rio menoleh sekilas dan mendapati Alvin tengah memasang wajah terjeleknya. Kecewa mungkin? Rio kemudian membuang nafas panjang lalu turun dari sepeda yang menjadi satu dengan gerobaknya.

    “Kanapa?” tanya Alvin sambil menaikkan sebelah alisnya.

    “Tidak akan ada yang mau membeli martabakku kalau kau memasang tampang sepeti itu,” ujar Rio pasrah. Rio lalu menunjuk jok depan dengan dagunya. “Sudah sana.”

    Sedetik kemudian senyum Alvin mengembang. Segera saja dia melompat ke jok depan dengan semangat.

    “Ingat, Vin, ini kali pertama dan kali terakhirnya. Jangan pernah meminta untuk mengayuh gerobakku lagi,” ucap Rio.

    Alvin mengacungkan jempolnya lalu tersenyum. Rio membalas tersenyum. Namun sesaat kemudian, senyum di wajah Rio menghilang dan digantikan oleh ringisan. Rio mencengkram dada sebelah kirinya dengan erat. Suara rintihan kesakitan keluar dari mulutnya.

    “Yo, kau kenapa?” tanya Alvin panik begitu menyadari ada yang tidak beres dengan Rio. Alvin menyapu pandangannya dengan cepat. Sial! Amat sepi. Alvin segera turun dari sepeda dan mendekati Rio. “Yo, Rio, kau kenapa?” tanya Alvin, terdengar lebih panik saat tubuh Rio ambruk dalam tangkapannya.

    Telinga Rio masih bisa mendengar suara Alvin dengan jelas saat pandangan matanya mulai mengabur. Telinganya menjadi panas saat suara tajam berfrekuensi tinggi menyerang telinganya. Dan beberapa detik kemudian, gelap sudah menutupi pengelihatannya dengan sempurna.

    Dan tanpa berpikir sedetik pun, Alvin segera menggendong tubuh Rio yang melemas itu lalu berlari.

Seorang sahabat tidak akan mengulurkan tangannya untukmu ketika kakimu terluka dan kau terjatuh. Lebih dari itu, dia akan meminjamkan punggungnya sebagai tempatmu bersandar sementara dia menggendongmu. 

___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar