Selasa, 25 Oktober 2011

The Truth About Forever (versi ICIL) Cap. 6 : What If

The Truth About Forever
( Dendam Membuatmu Kesepian )

Chapter #6
WHAT IF

"Pusing deh, punya tetangga kayak si Rio," komentar Sivia setelah mendengar cerita Ify. Sivia sedang berada di kost Ify, menengoknya karena tadi bolos kuliah.

Ify mengangguk setuju sambil membuka balutan perban di kakinya yang sudah tampak kotor. Dan kemudian menghela napas.

"Padahal, aku pikir akhirnya dia udah agak baik," kata Ify mendesah. "Ternyata, tetep se-labil yang kemaren-kemaren."

"Kira-kira apa ya, masalahnya?" tanya Sivia tiba-tiba. "Kabur dari rumah? Bokapnya selingkuh? Atau... ceweknya diambil orang?" lanjutnya ngaco.

Ify mendelik, tidak setuju pada kemungkinan-kemungkinan—ngawur—yang dikatakan Sivia. Sivia sendiri terkekeh saat mencoba membayangkan alien aneh nan cool itu benar-benar mengalami hal-hal tersebut.

"Apa pun masalahnya, sepertinya berat banget," kata Ify.

"Tapi, Fy... kalo suatu saat lo tau apa masalah dia, emangnya lo masih mau nemenin dia?"

Ify terdiam sebentar, tetapi kemudian memukul lengan Sivia.

"Kamu apa-apaan, sih, Vie! Jangan nakut-nakutin gitu, dong!" seru Ify membuat Sivia tertawa.

"Elo-nya serius amat, sih, jadi gue pengen aja ngegodain!" seru Sivia, dia bangkit dan berjalan menuju jendela, mencoba untuk melihat pemandangan di luar.


Tak berapa lama, Sivia sibuk melihat-lihat keadaan di luar, sementara Ify memikirkan perkataan Sivia tadi. Bagaimana kalau yang dikatakan Sivia benar? Bagaimana kalau masalah Rio jauh melebihi perkiraan Ify?

Ify ingin membantu Rio semampunya, tetapi Rio bahkan hampir tak pernah mengatakan apa pun mengenai dirinya sendiri. Mungkin Rio tak bisa memercayai siapa pun. Namun, Ify yakin Rio bisa memercayainya.

***

Rio melangkahkan kakinya pulang ke kost-nya. Dia melirik rumah Bu Winda yang masih gelap, penghuninya masih pergi. Ozy dan Septian juga tidak tampak di mana pun. Rio melirik ke atas, dan kamar Ify juga tampaknya gelap. Rio menghela napas lega. Dia tak mau bertemu cewek itu setelah kejadian semalam.

Saat Rio memutar kunci, dia berubah pikiran. Entah mengapa dia ingin mencari angin terlebih dulu. Dia bergerak ke tangga dan naik ke lantai tiga.

Rio terpaku saat melihat Ify sedang bersandar pada pagar pembatas. Dia tidak menyangka cewek itu akan ada di sini, jadi dia segera beranjak pergi sebelum cewek itu melihatnya. Namun, tahu-tahu Ify menoleh dan mendapati Rio yang baru mau turun.

"Rio!" seru Ify ceria membuat Rio tak sengaja menoleh. "Sini!"

Rio menatapnya malas, berbalik, dan berniat untuk turun. Sebelum dia sempat melangkahkan kaki, tangan Ify menariknya dan membawanya ke pagar pembatas. Ify lalu menunjuk ke langit yang bertaburan bintang.

"Liat deh, Yo! Barusan ada bintang jatuh!" sahut Ify girang. Rio menatap arah yang ditunjuk Ify, tetapi tak melihat apa pun yang jatuh. "Ditungguin sebentar aja, pasti ada lagi yang jatuh!" lanjut Ify lagi.

"Kemungkinannya satu banding sejuta," kata Rio pendek, melepaskan diri dari pegangan Ify.

"Heh? Masa, sih?" tanya Ify tak percaya.

"Mana gue tau, emangnya gue astronot!" balas Ify lalu beranjak pergi.

"Yee... kalo gitu nggak usah sok tau!" seru Ify sambil menarik Rio lagi.

"Apa, sih?" seru Rio sambil kembali berusaha melepas tangan Ify yang mengamitnya.

"Tungguin, Yo, siapa tau ada lagi! Kayak di Meteor Garden tuh, kan suka ada hujan meteor!" sahut 
Ify berapi-api. Rio menatapnya sebal, tetapi akhirnya menatap langit juga.

"Tau, nggak, apa permintaanku tadi?" tanya Ify lagi, danRio tak berniat menjawab. "Aku minta, apa pun permasalahan kamu, semoga bisa cepet selesai. Aku kurang baik apa tuh, malah ngedo'ain orang lain?"

"Nggak ada yang minta," jawab Rio sekenanya.

"Kamu ngerasa ngutang nggak?" tanya Ify.

"Nggak juga," kata Rio membuat Ify mendelik.

"Dasar nggak tau diri ya, udah dido'ain juga," balas Ify. "Kalo kamu ngerasa ngutang, kamu harus tungguin satu bintang jatuh lagi, terus do'ain yang baik-baik buat aku!"

Rio hampir mendengus karena menganggapnya permintaan bodoh. Baru saja Rio akan berkomentar, sebuah bintang jatuh terlihat di kejauhan, membuat mata Rio melebar tak percaya.

"Rio! Rio! Bintang jatuh lagi! Ayo cepet minta sesuatu!" sahut Ify girang sambil menggoncang-goncangkan Rio yang masih bengong. Beberapa lama kemudian, Rio tak juga berbicara. Ify menatapnya bingung, "Rio? Kamu minta apa?"

"Minta supaya cewek bawel ini nggak nyampurin urusan orang lain lagi," kata Rio sambil menatap Ify dingin. Rio kemudian beranjak pergi.

"Kenapa, sih, kamu segitu nggak percayanya sama aku?" tanya Ify membuat jejak langkah Rio berhenti. "Kenapa kamu tertutup banget?"

"Karena lo bukan siapa-siapa," jawab Rio sambil berbalik dan menatap Ify tajam. "Dan karena lo bukan siapa-siapa, gue nggak harus menceritakan apa pun sama lo. Bukannya gue udah bilang dari awal, jangan nyampurin urusan gue? Kenapa lo terus keras kepala, sih?"

"Tapi..."

"Apa susahnya, sih, ninggalin gue sendirian? Kalo lo sepeduli itu sama gue, tolong hargai privasi gue. Gue nggak suka ada cewek bawel nyampurin urusan gue," kata Rio lagi, dia pun bergerak turun.

Rio melangkah tanpa kesadaran ke kamarnya, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Bukan, bukannya Rio tidak memercayai Ify. Hanya saja, dia tak ingin Ify tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kalau Ify tahu, Ify mungkin saja akan menghindarinya, sama seperti orang lain. Dan, entah kenapa, Rio tidak menginginkan itu terjadi.

Ternyata, sangat susah hidup tanpa ketamakan dan keegoisan. Pada keadaan begini, Rio masih saja mengharapkan keajaiban yang dia tahu tak akan terjadi. Tak ada yang bisa Rio lakukan untuk menyelamatkan diri, tetapi setidaknya dia bisa menyelamatkan Ify walaupun dengan cara yang menyakitkan.

Rio menatap botol obat yang tergeletak di depannya, yang sudah sekian lama tidak disentuhnya. Botol yang berisi sisa hidupnya.

***

"Vin, gue harus cepet-cepet nemuin dia," kata Rio pada Alvin. Mereka sedang makan di kafetaria, setelah seharian berputar-putar di kampus Teknik.

Alvin menatap Rio heran. Tak pernah dilihatnya Rio seniat ini. Mungkin cowok itu sempat sangat bertekad pada awal-awal datang ke Bandung, tetapi akhir-akhir ini dia tak begitu memikirkannya. 
Baru sekarang Rio seperti ini lagi.

"Gue harus cepet-cepet pindah dari kost itu," kata Rio lagi, membuat Alvin menemukan permasalahannya.

"Cewek itu ya?" ujar Alvin paham. "Lo pada awalnya mikir kalo lo nggak mungkin jatuh cinta sama dia, tapi kenyataannya lo jatuh cinta?"

Rio tak menjawab. Dia malah menatap ke arah lain.

"Pokoknya gue harus cepet-cepet nemuin dia. Kalo perlu gue datengin juga setiap tempat kost di kota ini," kata Rio lagi. Alvin menatapnya simpati.

"Kasih tau aja cewek itu soal masalah lo ini, Yo," kata Alvin membuat Rio menatapnya marah. 

"Kalo dia malah menghindari lo, bukannya malah bagus? Masalah lo yang itu akan terselesaikan, kan? Bukannya itu yang lo mau? Lo jadi nggak perlu buru-buru pindah dari sana, kan?"

Rio terdiam, memikirkan kata-kata Alvin. Sepertinya ini sebuah usul yang bagus. Dengan demikian, cewek itu akan menjauh dengan sendirinya. Tetapi...

"Tapi lo nggak bisa karena lo nggak mau dia menjauh dari lo," kata Alvin seolah bisa membaca jalan pikiran Rio. Rio menatapnya tajam. "Lo nggak mau dia tau. Iya kan?"

"Gue bakal kasih tau pas dia pulang nanti," kata Rio cepat. "Malah bagus kalo dia ngejauhin gue. Usul lo bagus, Vin."

Alvin menatap Rio yang meremas-remas gelas plastik air mineral. Alvin bisa melihat kekalutan pikiran Rio dari raut wajahnya. Lagi-lagi, Rio harus melakukan sesuatu yang bisa menghancurkan dirinya sendiri, seperti lima tahun yang lalu.

"Jangan terlalu maksain diri, Yo," kata Alvin, tetapi Rio tak mendengarnya. Dia sudah membulatkan tekadnya untuk memberi tahu Ify, apa pun konsekuensi yang akan ditanggungnya nanti.

***

Ify menatap pintu kamar Rio ragu. Tantenya, Bu Winda, baru saja pulang dari rumah mertuanya di luar kota dan dia membawa banyak makanan. Ify disuruh memanggil Rio untuk makan malam bersama.

Tangan Ify tak bisa bergerak untuk mengetuk pintu Rio. Dia masih teringat pada perkataan Rio semalam. Ify tak mau Rio marah padanya lagi karena dianggap sudah menyampuri urusannya dengan mengajaknya makan.

Ify mendapat ide. Dia akan menulis sebuah memo dan menempelkannya di pintu. Namun, begitu tangannya menempel pada pintu, pintu itu terbuka sendiri. Ify terlonjak.

"Maaf! Pintunya kebuka sendiri, sumpah!" seru Ify cepat, takut Rioo mengamuk. Namun tak ada jawaban apa pun dari dalam.

Bingung, Ify melongok ke dalam kamar. Kamar itu ternyata kosong, yang berarti Rio belum pulang. Tumben sekali Rio lupa mengunci pintu kamarnya. Tanpa disadarinya, Ify sudah berada di dalam kamar itu.

"Ya ampun!" seru Ify saat melihat kamar yang sudah seperti tempat penampungan sampah itu. 

"Jorok banget, sih!"

Ify cepat-cepat mengambil kantong plastik besar, dan memunguti cup mie dan botol-botol air mineral yang berserakan di lantai. Setelah itu, dia mengambil sapu dan mulai membersihkan kamar Rio. Mata Ify tiba-tiba tertumbuk pada kasur yang kelihatan menyedihkan karena tidak diberi seprai.

"Ya ampun," gumamnya tak habis pikir. "Nggak gatel-gatel apa?"

Ify segera mengambil seprai dari lemarinya, dan memasangkannya ke kasur Rio. Ify sempat geli sendiri saat melihat seprai bergambar chappy dengan warna dasar ungu itu terpasang di sana, tetapi mau bagaimana lagi, Ify tidak punya seprai lain lagi.

Ify menghela napas, lalu melanjutkan untuk membereskan lagi. Dia melihat ransel Rio yang isinya berhamburan ke mana-mana, lalu mencoba membereskannya. Namun, tiba-tiba mata Ify membesar saat menemukan sebuah benda sepanjang lima belas senti dan terbungkus kulit hitam. Ify mengambilnya, lalu membukanya. Ternyata sebuah belati yang terlihat sangat tajam dan masih baru. Ify buru-buru meletakkannya kembali ke dalam ransel. Mungkin Rio membawanya hanya untuk sekedar sebagai alat perlindungan diri.

Selesai membereskan ransel, Ify mulai menyapu. Saat dia menyapu ke bawah meja, sebuah botol berguling. Ify segera mengambilnya dan mengamati botol itu.

"AZT," baca Ify lambat-lambat. "Apaan, sih, ini?"

Tiba-tiba, sebuah tangan mengambil botol itu dari tangan Ify. Ify terkejut saat melihat Rio sudah berada di sebelahnya dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.

"Eh, Rio. Sori, tadi kamarmu nggak dikunci, jadi sekalian aku bersihin," kata Ify sambil nyengir bersalah. "Ng... itu obat apaan, sih? Kamu sakit?"

"Keluar," kata Rio lambat-lambat. Tangannya yang terkepal sudah gemetar.

"Sori..."

"KELUAR!" sahut Rio keras membuat Ify terlonjak kaget. Urat-urat di dahi Rio menyembul, rahangnya mengeras, dan botol obat yang ada di genggamannya kini sudah remuk.

Ify menatap Rio takut, lalu segera berlari keluar kamar. Rio segera menutup pintu kamarnya, menguncinya, lalu memukulnya keras-keras. Setelah itu, dia merosot ke lantai. Tangannya yang gemetar menjambak rambutnya kuat-kuat.

Kenapa harus marah? Kenapa dia harus marah ketika melihat Ify mengetahui rahasianya? Bukankah itu tujuannya, untuk memberitahu Ify? Tetapi, kenapa sekarang dia malah tak ingin Ify melihat apa pun?

Kenapa Rio jadi setakut ini untuk ditinggalkan?

***

Ify menatap dinding di kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Rio bingung. Dia merasa bersalah karena lagi-lagi telah mencampuri kehidupan cowok itu. Ify ingin meminta maaf, tetapi kelihatannya dengan keadaan seperti ini Rio tak akan bisa diajak bicara.

Kenapa Rio semarah itu? Tanpa disadarinya, Ify memeluk lengannya sendiri. Tadi Rio kelihatan sangat menakutkan. Ify nyaris tak mengenali sosoknya yang seketika berubah menjadi monster yang menyeramkan.

Ify meletakkan tangannya di dinding itu, seolah bisa merasakan kepedihan yang dirasakan Rio melalui dinding pembatas itu. Ify tak tahu apa yang terjadi dengan Rio, tetapi dia mempunyai firasat kalau Rio sangat membutuhkan bantuan.

Ify tentu akan memberikannya dengan senang hati kalau saja Rio tidak menolaknya.

***

Rio memutuskan untuk keluar kamar dan membuat teh hijau, setelah semalaman tidak bisa tidur, setidaknya mungkin teh hijau bisa sedikit membantu menenangkan pikirannya. Sebelum sempat keluar, Rio memastikan kalau di luar tidak ada Ify. Setelah itu, dia berjalan ke dapur. Baru 
beberapa langkah, Ify keluar dari kamar mandi dan mereka sekarang berhadapan.

"Sori!" kata Ify begitu Rio mau menghindar. Rio terpaku. "Sori, aku udah nyampurin urusan kamu lagi! Aku nggak sengaja ngeberesin kamar kamu!"

Rio menatap bingung Ify di depannya yang kelihatan salah tingkah. Rio tak mengerti. Bukankah seharusnya cewek ini menjauhinya seperti rencana?

"Rio, kamu marah banget, ya? Sori!" sahut Ify lagi sambil mengatupkan kedua tangannya. Rio masih belum bekata-kata. Secercah harapan tahu-tahu muncul di dalam hatinya.

Namun, tiba-tiba Rio sadar kalau Ify mungkin belum tahu persis apa masalahnya. Ya, dia hanya belum tahu. Rio tertawa miris. Bodoh benar dia tadi, berharap kalau Ify mau menerimanya setelah mengetahui kenyataan itu. Cepat atau lambat Ify akan tahu, dan pada saat itulah, Ify akan benar-benar meninggalkan dirinya.

"Rio?" tanya Ify bingung pada Rio yang malah tertawa. Rio kembali menatap Ify dingin.

"Gue udah bener-bener bosen memperingatkan lo untuk jangan ganggu gue lagi," kata Rio. "Tapi, tunggu aja bentar lagi, lo juga pasti berhenti ngeganggu gue."

Rio lalu beranjak melewati Ify yang bingung.

"Eh? Emangnya kenapa?" tanya Ify, tak mengerti.

Rio tak menjawab, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Ify menatapnnya bingung, kemudian teringat kalau dia mempunyai kelas pagi itu dan buru-buru masuk kamar.

***

"Oke, dari cerita lo, makin ke sini Rio makin aneh," komentar Sivia saat Ify menceritakan kejadian kemarin padanya. Mereka sedang memakai akses internet yang ada di lobi Jurusan Hubungan Internasional.

Ify mengangguk setuju. Dia mengetik alamat forum tempat dia biasa meminta pendapat soal karyanya. Selama ini, proses pengerjaan novel miliknya sangat lambat. Mungkin, dia bisa meminta bantuan pada senior-senior yang sudah banyak menerbitkan buku.

"Tapi, lo bilang kemaren lo nemuin obat? Apa dia sakit?" tanya Sivia lagi membuat Ify teringat pada botol obat yang ditemukannya.

"Mungkin juga," jawab Ify sekenanya, jarinya mengetik salah satu web mesin pencari. Setelah halamannya terbuka, dia memasukkan kata kunci AZT dan menekan enter.

Berpuluh-puluh ribu hasil muncul, dan Ify meng-klik salah satunya. Mendadak, tangan Ify terasa kaku. Tubuhnya serasa mati rasa saat membaca artikel yang baru dibukanya.

"Ify? Kenapa?" tanya Sivia setelah melihat wajah Ify berubah pucat pasi dengan mata terpancang ke layar. Sivia menatap monitor yang dilihat Ify tadi, lalu menganga. "Fy, nggak mungkin, kan..."

Ify jatuh terduduk di depan komputer. Kakinya lemas dan seluruh tubuhnya gemetar. Ify menatap layar lagi, berharap kata-kata yang tadi dibacanya salah.

"AZT adalah obat antiretroviral untuk HIV positif."

***

Ify memasukkan motornya ke garasi, kemudian berjalan ke arah tangga layaknya zombie. Dia tidak bisa merasakan apa pun semenjak siang tadi. Ify menatap tangga di depannya dengan mata menerawang. Dia tak yakin harus menemui Rio dengan wajah seperti apa.

Ify menaiki tangga pelan-pelan, tidak ingin bertemu Rio dulu. Namun, harapannya tidak terkabul karena pada saat Ify akan membuka pintu, Rio keluar dari kamarnya dengan handuk tersampir di bahunya.

Ify hampir lupa bernapas saat melihat Rio. Mata Ify terasa panas saking tidak berkedip, menatap sosok tegap—tapi pendek—di depannya. Hampir tidak ada keanehan dalam sosok seorang Mario Stevano itu kecuali ribuan virus yang mengalir dalam darahnya.

Rio balas menatap Ify aneh, hingga akhirnya menghela napas.

"Akhirnya lo tau, ya?" ucapnya sambil terkekeh sinis, ucapannya itu lebih terasa sebagai pernyataan dibandingkan pertanyaan. "Sekarang, lo nyesel udah pernah bantu gue? Gue udah pernah bilang, kan..."

"Kenapa?" tanya Ify dengan napas tercekat membuat Rio menatapnya lagi.

"Kenapa apa?" tanya Rio datar.

"Kenapa... kamu dapet penyakit ini?" tanya Ify lagi, air matanya hampir jatuh.

Rio tak langsung menjawab pertanyaan Ify. Dia menatap Ify lama, lalu mengalihkan pandangannya.
"Hubungan seks," kata Rio singkat membuat mata Ify membesar. Air mata sudah membanjiri pipinya. "Kenapa? Kaget?"

Ify tak bisa menjawab Rio. Dia sibuk menahan tangis. Rio sebisa mungkin tidak melihat ke arahnya.

"Sekarang, lo pasti bisa nggak ganggu gue lagi," kata Rio sambil bergerak ke kamar mandi. Kepalanya berdenyut menyakitkan dan harus diguyur air.

Rio sebisa mungkin pura-pura tidak tahu kalau Ify terduduk lemas di depan kamarnya sambil menangis. Rio menutup pintu kamar mandi, memukul tembok dengan keras, kemudian terduduk di lantai sambil meremas kepalanya kuat-kuat.

Rio sudah tahu hari ini akan datang dan dia sudah mempersiapkan dirinya. Namun, tetap saja, rasa sakit di hatinya mengalahkan semua pertahanan yang sudah susah payah dibangunnya.

Berbagai 'kalau saja' sekarang berkelebat di benak Rio. Kalau saja dia tidak pernah datang ke kost ini. Kalau saja sejak awal dia menjauhi Ify.

Kalau saja dia tak pernah dilahirkan ke dunia ini.


-Selesainya? Masih lama, kok!-

Sepengal Kisah ( COPAS )

Prolog

Mengapa rindu ini begitu membelenggu?
Mengapa rasa ini terlalu menyesakkan hati?
Menyisakkan rasa sesal,kecewa,marah juga sedih yang mendalam….

Ucapan itu tak terlontar
Hanya barisan kata yang menjelaskan
Bukan dari bibirmu
Tapi hanya sebaris kalimat yang mengatakan….

Aku sayang kamu…




 ___


“hiks…hiks..” suara isak tangis seorang gadis kecil yang terduduk di bawah pohon dekat saung tanpa atap sambil membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya yang dilipat. Baju seragam merah putih yang dipakainya tampak basah,beberapa cap titik-titik coklat kotor terlihat di kemeja putihnya. Rambut selengannya lepek karena basah.
Tangisan alam dari Sang Maha Kuasa baru saja berhenti,meninggalkan titik-titik air dan embun yang masih senantiasa bergelayut manja di permukaan daun yang di jatuhinya. Menimbulkan aroma khas tanah dan rumput basah yang menenangkan.
Seorang anak kecil laki-laki berlari kecil sambil melindungi kepalanya dari gerimis dengan kedua tangannya. Baju merah putihnya juga sedikit basah. Anak laki-laki tadi berhenti berlari karena telinganya menangkap bunyi sesuatu, pandangannya meneliti masing-masing tempat yang tertangkap mata. Matanya menangkap seorang gadis kesil berambut se-lengan sedang menangis di bawah pohon. Entah mengapa kakinya melangkah mendekati gadis kecil tadi.
“Hei,kamu kenapa?” tanya anak laki-laki tadi sambil membungkukkan badannya untuk menyentuh pundak gadis kecil tadi. Gadis kecil tadi mendongak,menatap sang anak laki-laki.
“Jatuh..” jawab gadis kecil tadi dengan suara bergetar.
“Ayo berdiri,kita duduk disana aja ya…”ujar anak laki-laki sambil menunjuk saung tanpa atap.
“Disana kan basah..” kata gadis kecil polos.
“Nggak papa,disini kotor. Ayo!” ajaknya sambil mengulurkan tangan. Disambutnya tangan anak laki-laki tadi.
Mereka berjalan ke saung dan duduk di lantai saung yang basah.
“Kenapa bisa jatuh?” tanya anak kecil tadi.
“Kesandung tadi waktu lari..”
“Loh kok lari?”
“Tadi mau hujan tapi rumah masih jauh terus kesandung,jadinya neduh dulu di bawah pohon..”
“Sini aku liat lukanya.” Anak laki-laki tadi membersihkan luka di lutut gadis kecil dengan sapu tangan biru miliknya.
“Nama kamu siapa?” Tanya gadis kecil tadi.
“Raditya, kamu panggil Adit aja… tapi panggil aku kak ya!”
“Aku Ara,kok manggilnya kak Adit sih? Nggak mau!” tolak gadis kecil tadi yang bernama Fika.
“Aku kan lebih tinggi dari kamu! Harus mau pokoknya!”
“Iya deh iya…” balas Fika dengan terpaksa.
“Aku pulang dulu ya Aya,besok kita ketemu lagi ya? Kita teman kan?” teriaknya karena sudah berjalan menjauh.
“Aku Ara kak! Bukan Aya! Iya,kita teman!”
“Daaa Aya….” teriak Adit sambil melambaikan tangan.
“Kak Didit jelek…” balas Fika sambil berteriak.
            Pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Kalimat itu sering terdengar namun belum mengerti dan belum memaknai. Perpisahan, sedih ataupun senang, sengaja ataupun tidak sengaja. Pertemuan Ara dan Adit di desa pinggiran kota Bandung.

            Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan bahkan menginjak tahun. Ara dan Adit masih berteman mungkin bukan hanya berteman tapi sahabat. Ya,sahabat. Tanpa terasa 6 tahun jalianan persahabatan mereka untai. Seragam merah putih mereka telah berganti dengan biru putih,Ara yang kini duduk di bangku kelas 11 dan Adit di kelas 12. Panggilan kecil mereka, Aya dan kak Didit mereka masik sama,walaupun kini banyak yang memanggil mereka Karin dan Radit. Fikarina Azahra dan Raditya Pratama.
            Adit mengahampiri Ara yang sedang bersama teman-temannya. Ditepuknya pundak Ara.
            “Aya…” panggil Adit.
            “Eh kak Didit..kenapa?” tanya Fika.
            “Nanti ke saung ya?” ajak dan tawar Adit.
            “Oke kak!”
            “Yaudah aku kesana dulu ya.” kata Adit sambil menunjuk teman-temannya di lapangan basket. Ara hanya mengangguk.
Tanah lapang yang disebut mereka ‘saung’ itu adalah tempat pertama kali mereka bertemu. Saung tanpa atap dan pohon rambutan. Kini hanya tinggal pohon rambutannya saja,saung itu telah lapuk digerus waktu.
            “Kak…” panggil Ara.
            “Ya?”
            “Aku geli sendiri inget pertama kali kita ketemu…” tutur Ara.
            “Hahaha… Iya Ay,kamu yang nangis dibawah pohon sambil megangin lutut yang luka.” Balas Adit.
            “Kak,ke kebun teh yang dibukit yuk.” ajak Ara.
            “ Ayo…”
            Adit dan Ara berdiri di bukit kebun teh di desa mereka. Angin sejuk masih senantiasa menari-nari disekitar mereka membawa hawa sejuk maski matahari sudah berada tepat diatas kepala.
            Ara mengusap peluh yang membanjiri wajahnya dengan ujung seragamnya yang bersih. Lalu duduk dibawah pohon cengkeh yang di kelilingi oleh pohon-pohon teh yang agak jauh,sehingga memberi jarak.
            “ Hei pakai ini saja Ya.” tawar Adit sambil menulurkan sapu tangan biru miliknya.
            “Hehehe makasih kak Didit….” balas Ara sambil menerima sapu tangan Adit.
            “Eh,kak ini sapu tangan yang dulu kan?” tanya Ara saat menginggat penggalan kisah pertemuan pertamanya dengan Adit dan ia ingat itu sapu tangan yang dulu. Adit hanya menggangguk sekilas meng’iya’kan pertanyaan Ara tadi.
            “loh ada nama kakak?”
            “ Iya. Baru tau?”
            “Kan baru sekali megangnya…”
            “Hahahaha padahal spu tangan itu
            Dihabiskannya waktu siang hingga senja di bawah pohon di bukit. Banyak obrolan, celotehan, candaan mereka bergema disana.
           
            Wajah Adit beberapa hari ini terlihat murung,pucat dan dia menjadi pendiam. Saat bertemu Ara pun Adit bukannya menyapa,tersenyum seperti biasa hanya diam dan melamun.jarang sekali senyum manis terukir di wajah tampannya.
            Beberapa hari lagi kelas 9 akan melaksanakan Ujian Nasional. Hari ini mereka tidak ada pelajaran untuk merilekskan diri. Adit menemui Ara saat istirahat.
            “Aya!” panggil Adit saat melihat Ara berjalan di koridor.
            “Kak Didit…kenapa?”
            “Nggak apa-apa hehe…”
            “Oh iya kak,semangat ya buat ujian besok! Semoga sukses ya! Lulus dengan nilai bagus deh! Aya doa-in selalu!” kata Ara sambil menulurkan tangannya supaya dijabat oleh Adit.
            “Makasih Ay….” balas Adit.
            Ujian Nasional dan Kenaikan Kelas telah berakhir. Adit telah lulus dan Ara naik kelas.



Adit

            “Kak Didit kok sedih sih? Harusnya seneng dong lulus terus nilainya bagus.” kata Ara, aku menatapnya lirih.
            “mmm…Aya.” Panggilku.
            “Ya kak?”
            “Nanti bisa ke saung?”
            “Bisa kok…”
            “Nanti kesana ya..”
            “Ya.”
            “Tapi kamu duluan aja, aku mau ngurus sesuatu dulu.”
            “Sipp kak!”

            Aku melihatnya sudah duduk di bawah pohon rambutan, punggungnya bersandar pada batang rambutan yang kokoh. Dia membelakangiku.
            “Aya…” aku menepuk pundaknya. Dia terlonjak kaget lalu menoleh kearahku yang berjongkok dibelakangnya.
            “Kakak! Ngagetin aja deh!” katanya sambil menurut dada, aku mengambil tempat untuk duduk disampingnya.

            “mmm…kamu tau kan segala pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan?” tanyaku tanpa memandang Ara yang memandangku heran. Kulihat dari ekor mataku dia mengangguk ragu.
“kalau kita berpisah bagaimana?” tanyaku.
            “Tidak yakin…” jawab Ara pelan.
            “Kenapa?”
            “Bukankah hal yang pasti di dunia ini hanya ketidakpastian?” tanya Ara balik.
            “Ya. Lalu?”
            “Pertanyaan kakak sama halnya dengan jawabanku tidak ada yang pasti. Tidak ada yang pasti. Sama halnya dengan kematian, kita semua pasti mati tapi tidak tau kapan kita akan pergi dari dunia…” dia menjawab, aku mencoba mencerna jawabannya, dia terlihat dewasa.
            “Ya aku tau,tapi suatu saat kita harus terlepas dengan kalimat itu untuk mempercayai sesuatu Ya…” aku tau dia sangat suka membaca novel, dia sering mengucapkna sesuatu yang dia baca.
            “Lalu apa maksud kakak?” tanya Ara.
            “Mungkin ini memang pertemuan terakhir kita dan ini….pasti!” susah rasanya ingin mengatakan kalimat itu, andai waktu dapat berhenti aku ingin bersamanya selalu. Dia menatapku tidak percaya.
            “Mak…sud kakak?”
            “Cukup 6 tahun kita bersahabat….”
            “Persahabatan nggak ada akhir!” jawabnya tegas.
            “Tapi kamu harus percaya Ya, ini nyata!”
            “Ke..napa kak? Kenapa?” suaranya mulai bergetar.        
            “Aku pindah…”
            “Kenapa harus pindah kak?”
            “Keadaan yang menuntut ku untuk seperti ini Ya…”
            Ah dia mulai terisak, bahunya mulai bergerak naik turun. Semakin lama semakin keras.
            “Aya kamu harus tetep tersenyum seperti biasa, senyum seorang Aya…aku bakalan sering hubungin kamu… Aku akan selalu coba buat bisa ketemu kamu. Kita harus yakin dan mencoba yakin ini nggak….terakhir..” aku ragu sejenak untuk kalimat terakhirku.
            “Sedih kak! Nggak pernah aku mikirin bakalan ditinggal kakak! Sendiri disini! Kakak harus janji sama aku,walaupun kita berpisah kita tetep sahabat ya?” dia mengulurkan jari kelingkingnya.
            “Ya, kita tetap…sahabat!” aku menautkan jari kelingkingku. Aku merasa semakin ragu dengan kata ‘sahabat’ itu.
            “Emm… Ya,ini buat kamu. Tolong jaga baik-baik ya..” aku menyerahkan sehelai sapu tangan biru milikku. Disana terukir nama ‘Adit’ dengan benang berwarna merah.
            “Makasih kak. Dan ini juga buat kakak…” dia melepas gelang cokelat miliknya. Gelang cokelat dengan huruf ‘A’ ditengahnya.
            “Aku akan selalu berusaha menjaganya.” Ucapku.

Aku dan Ara mungkin sama-sama tidak sadar akan perasaan masing-masing. Perasaan asing yang selalu mencoba menyembul,menyeruak dan memaksa diantara kata persahabatan. Perasaan yang selalu kita sangkal selama ini.
  

Ara
3 tahun sudah kak Adit pindah. Kini aku sudah duduk di bangku 2 SMA. Aku sudah hilang kontak dengannya, hanya 2 bulan di awal hubungun kita baik tapi setelah itu tidak ada lagi. Surat terakhirku tidak dibalas. Ya, kami berhubungan dengan cara surat menyurat, terkesan norak dan ketinggalan jaman tapi aku menyukai hal ini.
            Aku berpikir kalau kak Adit sudah lupa denganku dan mungkin dia sudah mendapatkan sahabat baru atau malah pacar. Ah aku tak mengharapkan mendengar kabar terkahir itu!
            Hari ini entah mengapa kaki ku mengayun pelan berjalan kea rah saung. Aku ingat hari ini tepat 3 tahun kita berpisah. 8 Februari. Hatiku berkehendak ingin kesana, hanya untuk melamun ataupun duduk-duduk seperti yang sering aku lakukan saat aku disana semenjak dia pergi.
            Mataku membelalak melihat siluet seseorang yang aku rindukan yang kini telah menjadi sosok laki-laki dewasamsedang berdiri dibawah pohon. Kak Didit. Ya,itu dia! Secepatnya aku berlari  kearahnya.
            “Kak Didit!” pekikku tertahan. Dia menoleh,tersenyum kepadaku. Seyumnya masih sama.
            “Aya….” aku langsung menerjang tubuhnya hingga Kak Diditterhuyung kebelakang beberapa langkah. Tubuh kak Didit pucat dan…dingin.
            “Aku kangen sama kakak… Kakak kemana aja selama ini?” Aku mulai terisak dipelukannya. Pelukan ini terasa hambar,tidak…nyata.
            “Aku juga kangen kamu. Jangan nangis dong udah SMA juga…” candanya sambil menguraikan pelukanku.
            “Ih nyebelin banget sih kakak! Kan air mata bahagia tau!” sungutku.
            “Hehehe…udah ah. Aku Cuma bisa sebentar disini!” tegasnya.
            “Kenapa?”
            “Disini aku Cuma mau ketemu kamu. Ra…ini pertemuan terakhir kita. Aku mau bilang sama kamu. Maaf dan makasih,Ya. Maaf kalo selama ini aku bikin kamu sebel,jengkel,marah,kecewa. Makasih Ya, kamu mau jadi…sahabat aku selama ini.”
            “Maksud kakak apa?” aku dibuat heran dengan ucapannya.
            “Aku mau ngembaliin ini.” Dia mengembalikan gelang pemberianku.
“Kamu jaga ini baik-baik ya dan jaga sapu tanganku juga.” lanjutnya.
“Kenapa kakak kembaliin?”
“Karena aku udah nggak bisa menjaganya lagi,biar gelang itu balik kepemiliknya aja. Yaudah aku pergi ya…”
“Bentar! Aku punya sesuatu buat kakak..yang ini nggak harus kakak jaga cukup baca aja.” cegahku. Lalu aku membalikkan badan memunggunginya untuk mengambil secarik kertas dari dalam tasku. Setelah menemukannya di dasar tas aku menghadap ke arahnya lagi sambil menggenggam kertas tadi. Tapi dia sudah menghilang dari tempatnya berdiri tadi. Sontak kepalaku menengok ke semua penjuru,mencari bayangannya.
“KAK DIDIT!!!” teriakku.
“Kak…” panggilku lagi sambil mencari-carinya.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada setangkai mawar merah yang tergeletak ditanah,segera kuambilnya mawar itu. Entah mengapa jantungku berdebar keras. Lagi-lagi mataku menangkap tulisan berwarna merah di tangkai mawar itu ‘DIDIT & AYA’. Aku yakin ini dari dia. Tapi dimana dia?
Aku terlonjak kaget saat sebuah tangan menyentuh bahuku. Seorang laki-laki yang lebih tua dari kak Didit berdiri sambil tersenyum…hampa. Aku mengenalnya. Kak Rama,kakak dari kak Didit.
“Kak Rama? Kesini juga?” dia mengerutkan dahi tanda tak mengerti.
“Tadi kak Didit eh kak Adit juga kesini kok!” ucapku yang membuatnya menaikkan alis dan kulihat dia kaget. Aku semakin bingung.
“Gak mungkin!” desis kak Rama tertahan.
“Apa kak?” tanyaku karena mendengarnya mengatakan hal yang terlalu lirih.
“Nggak mungkin Adit kesini Ra!”
“Dia kesini! Ini buktinya! Dia ngembaliin gelang dan ninggalin bunga mawar ini!”
“Nggak Ra! Engga!” desis kak Rama tajam,kedua tangannya meremas pundakku. Aku hanya meringis kesakitan.
“Maaf…” Kak Rama melepaskan tangannya dari pundakku.
“Kenapa nggak mungkin? Kenapa?” tanyaku heran dan tak sabar melihat raut muka kak Rama yang memucat.
“Adit udah pergi…” kak Rama mengucapkan dengan lirih tapi aku mendengarnya. Sontak jantungku berhenti berdetak.
“APA?! Nggak! Nggak mungkin! Jangan bohong ka Rama!!” aku histeris.
“Bener Ra! Kakak nggak bohong! 1 minggu yang lalu dia meninggal…” lututku melemas. Tubuhku melorot ke tanah. Kak rama ikut berlutut dihadapanku.
“Kenapa kak?” tanyaku disela isakan.
“Sakit! Dia leukemia selama 4 tahun..”
“4 tahun? Sebelum dia pindah?”
“Ya…kamu nggak tau?” aku menggeleng tanda tidak tau.
“Dia ke Jakarta buat berobat. Baru dua bulan tapi dia udah lumpuh…1 tahun yang lalu kita bawa dia ke Singapore buat berobat tapi 1 minggu yang lalu Tuhan berkata lain buat ngambil dia. Mungkin Tuhan tau kalo dia udah nggak kuat…”
Ucapan kak Rama membuat satu pertanyaan di otakku selama ini terjawab sudah. Mengapa dia tidak membalas suratku? Karena dia…lumpuh. Air mata mulai menganaksungai di pipi ku.
“Asal kamu tau Ra..nama yang setiap hari selalu dia sebut itu kamu.. kamu semangat dia buat sembuh. Kamu,orang pertama yang bakal dia temuin setelah kami –keluarganya- saat sembuh. Kamu,orang yang dia harapin buat dia liat saat buka mata. Kamu,yang selalu di ingat. Kamu….”
“Cukup!” aku memotong ucapan kak Rama,tidak kuat untuk mendengarnya lagi.
“Ini buat kamu. Aku nemuin ini di kamarnya,mungkin dia nulis ini sebelum lumpuh. Maaf baru bisa kakak kasihin sekarang…” kak Rama mengulurkan secarik kertas yang mulai menguning.
“Terima kasih kak…” kak Rama mengannguk.
“Kalau kamu mau ke makan Adit temuin kakak dirumah yang dulu ya..” aku menggangguk. Kak Rama mulai berjalan menjauh. Kubuka lipatan kertas itu.

                                                                                                            8 April 2008
Buat Aya –Ara- (Fikarina Azahra)

Hai Aya…apa kabar? Semoga baik dan selalu baik ya. Aku disini mm…bisa di bilang tidah baik haha…
Pas kamu baca surat ini aku lagi apa dan dimana ya? Aku masih di dunia apa nggak ya? Aku mau ngasih tau Ya… maaf ya baru ngasih tau kamu. Mungkin kamu juga udah tau dari Kak Rama. Aku sakit leukemia stadium 3,udah sekitar 1 tahun. Aku pergi bukan buat sekolah tapi berobat Ya,maaf bohongin kamu..
Maaf ya udah bohongin kamu. Maaf bikin kamu sering marah,sebel,jengkel,kecewa dan sedih. Maaf udah nyeret kamu ke kehidupanku.
Makasih Ya. Makasih mau jadi sahabat aku. Makasih mau ngasig warna cerah di hidupku. Makasih mau ngisi….hatiku.
Aya,aku baru sadar sama perasaanku. Di hatiku ada satu perasaan aneh yang aku selalu sangkal tetapi sangat kuat. Rasa nyaman saat sama kamu dan rasa kosong saat pisah sama kamu. Lama aku ngerasa seperti ini. Mungkin dulu aku belum ngerti tapi semakin aku dewasa aku ngerti sama perasaan ini. Tapi aku sadar aku Cuma cowok penyakitan yang bakalan nyusahin kamu,jadi beban hidup kamu. Aku nggak mau persahabatan kita hancur karena perasaan ini jadi aku putuskan buat memendam rasa ini.
AKU SAYANG KAMU
Sayang ini beda dari dulu. Rasa sayang ini lebih dari sahabat Ya.
Aku mau setelah kamu tau perasaanku kamu berubah. Aku mau Aya tetep Aya yang ceria,selalu tersenyum dan semangat! Haha…
Udah panjang banget ya suratku ini. Jangan berubah Aya…
Kita sahabat selamanya….

Didit –Adit- (Raditya Pratama)
Tubuhku terguncang hebat. Bahuku bergetar keras. Air mata semakin deras membanjiri wajahku. Aku mengambil kertas –yang akan kuberikan untuk kak Didit- tadi.
Aku sayang kakak….
Kalimat itu memang hanya tulisan aku terlalu penakut untuk mengatakannya. Ternyata kami memiliki rasa yang sama. Rasa sayang yang sama. Aku berlari ke rumah kak Rama untuk memintanya mengantarku ke makamnya.
           
  
            Keesokan harinya Ara sudah bersimpuh di hadapan nisan bertuliskan nama Adit. Sendirian. Kak Rama memilih untuk menunggu di mobil saja,memberi privasi.
            “Hai kak…” kata Ara lirih. Dia mulai bermonolog.
            “Maaf ya baru bisa jenguk sekarang. Aku nggak bisa dateng saat hari kakak di istirahatkan…” air mata mulai menetes di pipi Ara.
            “Kenapa kakak nggak bilang dari dulu tentang perasaan kakak? Tentang kondisi kakak?”
            “Aku juga sayang sama kakak… kenapa kakak nemuin aku saat kakak udah pergi?”
            “Kita tetap sahabat kan? Aku selalu mendoakan kakak… selalu sayang kakak..”
            Setelah 1 jam bermonolog ria bersama ‘Adit’ Ara berhenti. Menatap nisan Adit sejenak,memejamkan mata, memanjatkan doa.
            “Ini buat kakak…” Ara meletakkan setangkai bunga mawar merah dengan tulisan ‘Aya dan Didit’ di tangkainya.
            “Aku pamit dulu ya kak. Aku bakal berusaha sering kesini. Kakak baik-baik yaa…” pamit Ara sambil membelai nisan Adit pelan. Lalu berdiri dan berjalan menjauh perlahan. Meninggalkan Adit sendiri.
            Tanpa ada yang menyadari,sepulas senyum terukir di awan biru cerah. Senyum khas Adit,Raditya. 

___


Epilog

Tidak selamanya kita harus meyakini segala sesuatu
Ada saatnya kita bisa berdiri sendiri tanpa seseorang
Sahabat….
Bagi sebagian orang adalah sesuatu yang penting
Namun ada sebagian orang yang menganggapnya angin lalu saja
Sahabat….
Seseorang yang selalu mencoba mengulurkan tangannya saat kita jatuh
Selalu mencoba berdiri disamping kita saat apa pun
 Persabatan…
Hal klasik namun mengandung makna yang mendalam saat kita berada di dalamnya….