Sabtu, 22 Oktober 2011

The Best Gift from God (Mini Cerbung : Goresan Keempat *Last Part*) < copas >

The Best Gift from God (Mini Cerbung : Goresan Keempat *Last Part*) 

    Alvin mengangkat wajahnya begitu suara decitan kasar roda-roda besi dan suara roda yang beradu dengan lantai itu merambat sepanjang koridor itu. Dilihatnya Rio tengah berbaring, masih tersadar, di atas ranjang yang tengah didorong oleh beberapa perawat itu.

    Alvin bangkit dari duduknya saat ranjang itu berhenti di hadapannya.

    “Dok, boleh saya bicara sebentar dengan Alvin dulu?” tanya Rio kepada dokter yang berdiri di sampingnya yang juga adalah paman Alvin.

    “Sure,” jawab pria berumur itu.

    “Vin,” panggil Rio.

    “Yo, apa yang kau rasakan sekarang? Kau takut?” tanya Alvin.

    “Bohong jika aku menjawab tidak. Aku bukan takut mati. Ya, sedikit. Tapi aku lebih takut aku tidak akan punya waktu dan kesempatan lagi untuk membalas semua kebaikanmu,” ujar Rio lemah.

    Air mata Alvin jatuh begitu saja. Untuk kali ini saja, detik ini saja, untuk pertama kalinya dia membiarkan dirinya menangis di depan sahabatnya itu. “Aku sama takutnya denganmu.”Alvin tidak berbohong. Sedikit pun tidak. Detik itu, dia benar-benar merasa takut. Rasa takut terbesar yang pernah ia alami.

Menangis karena takut kehilangan. Bukankah itu manusiawi?

    “Bodoh! Berhentilah menangis!” tangan kanan Rio kemudian terangkat dan ibu jarinya menghapus bulir air mata di pipi kiri Alvin. “Ini mungkin akan menjadi kali terakhirnya aku menghapus air matamu.”

    “Yo, aku mohon, berjuanglah. Demi dirimu sendiri dan demi aku.”

    Rio mengangguk kecil. “Pasti.”

    “Aku akan mendoakan segala sesuatu yang terbaik untukmu,” janji Alvin. Rio mengangguk. “Paman, aku mohon lakukan yang terbaik.”

    “Tentu Alvin. Bantulah kami dengan doamu,” balas pria berjas putih itu.

    Sesaat setelahnya, Rio telah menghilang di balik ruang operasi.

    Alvin duduk kembali lalu mengepalkan tangannya dan memejamkan matanya. “Tuhan, berikan apa yang menurutMu paling baik untuk Rio. Aku mohon.”

***

    Sudah hampir 4 jam berlalu sejak Rio menghilang di balik ruangan itu, namun lampu di atas pintu ruangan itu tak kunjung padam, menandakan operasi masih berlangsung. Alvin masih menunggu dengan segala kecemasan dan ketakutan yang membalut seluruh tubuhnya. Duduk di koridor itu dengan gelisah sambil meremas-remas tangannya, satu kebiasaan yang hanya akan dia lakukan ketika pria itu benar-benar tengah cemas. Dan sejak tadi, pria itu terus-menerus menyerukan doa yang mewakili keinginan terbesarnya kepada Tuhan dari dalam hati. Pria itu sadar, dia bukan anakNya yang baik, namun dia benar-benar berharap Tuhan akan tetap mengabulkan keinginannya.

    Alvin melompat berdiri begitu pintu ruangan operasi itu terbuka. Tanpa menunggu detik berikutnya berjalan, dia segera menghampiri pamannya yang sedang berjalan keluar ruangan.

    “Bagaimana, Paman?” tanya Alvin segera.

    Pria di hadapan Alvin menggeleng. Dan saat itu pula, Alvin bisa merasakan tulang kakinya tiba-tiba saja melunak. Dia pasti akan jatuh kalau saja pria di hadapannya tidak dengan cepat menangkap tubuhnya.

    “Alvin, kendalikan dirimu,” ujar pria itu. Pria itu melepaskan tangannya dari pundak Alvin ketika Alvin mengangguk.

    Alvin lalu berjalan menjauhi pamannya dan kembali duduk. Meski dia sudah mempersiapkan diri selama hampir sebulan untuk kemungkinan buruk ini, namun tetap saja kekagetan, kehilangkan dan kesedihan itu berhasil mengguncang tubuhnya. Dia tidak pernah mengira daya guncangnya akan sebeginibesarnya sampai-sampai mampu melunakkan tulang-tulangnya.

    Tidak akan ada lagi yang menemaninya belajar di rumah. Tidak akan ada lagi yang akan memberikan contekkan untuknya ketika ulangan. Tidak ada lagi yang bisa ditemaninya untuk berkeliling menjual martabak. Dan tidak akan ada lagi yang memintanya untuk mengusir cicak.

    Dia tidak bisa melihat senyum hangat pria itu lagi. Dia tidak akan bisa mendengar suaranya lagi. Tawa pria itu tidak akan menggelitik telinganya lagi. Dia tidak akan bisa bercanda dengan pria itu lagi.

    Pria yang selalu berhasil membuatnya tertawa lepas sudah meninggalkan dirinya. Sahabat terbaiknya sudah pergi.

    Sebulir air mata turun dari matanya.

    “Ada sebuah amanat dari Rio untuk paman, tetapi sebelum itu, baca dulu ini,” kata pria yang telah duduk di sebelah Alvin sambil menyodorkan sebuah surat kepada Alvin.

    Alvin menerima surat itu. Dengan tangan yang agak gemetar, dia membuka lipatan kertas itu. Pupil matanya mulai mengikuti alur tulisan tangan Rio di atas kertas itu.

Untuk Alvin, sahabat terbaik yang pernah kumiliki.

Vin, bisa kupastikan, saat kau membaca surat ini, kemampuanku untuk bernafas pasti telah menguap.

Vin, mungkin aku sudah mengatakan hal ini berulang kali, tetapi kali ini aku ingin kau benar-benar percaya saat kukatakan kau adalah pria yang baik, amat baik. Pernahkah kau menyadari itu? Bahkan aku sudah mengetahuinya saat pertama kali kita bertemu.

Aku ingat, saat itu kita tengah mengikuti MOS. Kala itu, pada hari pertama kegiatan MOS, aku lupa membuat topi kerucut dari karton. Aku masih ingat betul, saat itu kau yang tengah berdiri di sampingku melepaskan topi yang kaukenakan lalu menyerahkannya kepadaku. Saat aku menolaknya, kau malah meremas-remas topi itu menjadi bola lalu membuangnya sehingga kita berdua sama-sama dihukum. Jujur, sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, kenapa kau melakukan hal itu karena setiap kali aku menanyakannya kepadamu, kau selalu bilang tidak ada alasan khusus.

Vin, selama hampir 1 tahun kita bersahabat, pernahkah kau mencoba untuk menghitung sudah berapa banyak kebaikan yang kaulakukan untukku? Banyak, Vin, sangat banyak hal baik yang telah kau berikan untukku sampai-sampai aku menjadi takut aku tidak akan pernah bisa membalasnya. Kau sangat baik, Vin. Terlalu baik kepadaku. Bahkan aku sempat berpikir kau akan dengan senang hati memberikan rumahmu kepadaku kalau saja aku memintanya. Hahaha...

“Dasar...” gumam Alvin.

Vin, mungkin ini belum bisa membalas semua kebaikanmu kepadaku, namun aku minta, terimalah ginjalku. Jangan menolaknya, aku mohon. Ini akan menjadi hal terakhir yang bisa aku lakukan dan berikan untukmu.

Vin, mungkin kau sudah bosan mendengar kalimat yang satu ini, tetapi tetap saja aku ingin mengatakannya.
Terima kasih untuk semuanya, Alvin Jonathan.

Vin, percayalah saat kukatakan kau adalah hadiah terbaik yang pernah Tuhan berikan untukku.

Dan kalau kau masih berkenan melakukan sesuatu untukku, aku minta, tetaplah hidup dengan ginjalku dan jadilah orang yang berguna suatu hari nanti. Hanya dengan begitulah, aku akan benar-benar bisa tersenyum melihatmu dari tempatku nantinya.

Sahabatmu,
Rio.

    Alvin melipat kembali surat itu. Sebulir air mata kemudian turun lagi dari matanya.

    “Jadi bagaimana Alvin? Apa kau menerimanya?” tanya pria di samping Alvin.

    “Dia pasti akan menghantuiku kalau aku tidak menerimanya,” ujar Alvin.

    Pria itu tersenyum. “Jadi kapan kau siap menjalani operasi itu?”

    “Secepatnya.”

    Pria itu mengangguk. “Dia pasti adalah orang yang berarti bagimu.”

    Alvin mengangguk. “Sangat berarti. He is the best gift that God ever gave me,” ujar Alvin lalu tersenyum ke arah pamannya.

Tuhan memberimu sepasang mata untuk melihat hadiah terbaikNya untukmu. Dia juga memberikan sekeping hati untukmu agar kau bisa merasakan bahwa hadiah itu adalah sahabatmu.

-SELESAI-

Epilog

Dan waktu tidak pernah berhenti berjalan, meski hanya sedetik...

“Jujur saja, Vin, paman sampai saat ini masih belum percaya, kau yang dulu sangat memusuhi buku-buku pelajaran sekarang bisa berada di sini,” ujar seorang pria paruh baya dengan kacamata yang bertengger di atas hidung mancungnya dan jas putih yang membalut tubuhnya.

    Alvin menurunkan cangkir berisi kopi hangat yang baru ia sesap ke atas meja persegi di depannya. Pria itu lalu memundurkan tubuhnya, bersandar ke belakang kursi yang tengah didudukinya. “Aku sendiri juga masih sulit memercayainya, Paman. Tapi ya, seperti yang bisa Paman lihat, aku memang berada di sini sekarang,” ucap Alvin.

    Jo tersenyum. “Ou ya, Vin, ada satu hal yang ingin Paman katakan kepadamu 10 tahun yang lalu, namun saat itu Paman lupa mengatakannya.”

    Alis kanan Alvin terangkat. “Apa itu?”

    “10 tahun yang lalu, sewaktu Paman tengah melakukan operas transplantasi jantung kepada sahabatmu, entah kenapa Paman merasa sahabatmu itu mirip dengan almarhum adikmu,” tutur Jo.

    “Bukan hanya Paman yang merasakan hal itu. Aku juga merasakannya. Dia memang mirip dengan Deva, meski sedikit.”

    “Itukah alasannya kenapa kau rela berkorban sedemikian jauh untuknya?”

    Alvin mengangguk. “Tapi itu hanya sepersekian persennya saja. Selebihnya, itu karena dia adalah sesuatu yang paling berharga yang kupunya saat itu. Dan dia akan selalu begitu sampai kapan pun.”

    Lagi-lagi Jo tersenyum. “Diakah alasan utama kenapa kau memilih untuk menjadi dirimu yang sekarang?”

    “Dokter Alvin,” panggil seorang perawat yang sedang berdiri di samping meja yang ditempati oleh Alvin dan pamannya.

    Alvin menoleh dan bersuara, “Ya. Ada apa?”

    “Keluarga dari pasien yang akan menjalani operasi transplantasi jantung sore ini ingin berbicara dengan Dokter. Mereka sedang menunggu di ruangan Dokter,” jawab perawat itu.

    “Oh, baiklah,” ujar Alvin lalu bangkit berdiri. “Paman, kita lanjutkan pembicaraan ini nanti saja,” ucap Alvin. Jo mengangguk maklum.

    Alvin kemudian berjalan mengikuti perawat itu.

    ‘Menjadi orang yang berguna. Itu kan pesan terakhirmu? Saat pertama kali aku membuka mata setelah menjalani operasi pencangkokkan ginjal itu, aku sudah memutuskan untuk berjuang agar aku bisa menjadi seorang dokter spesialis jantung. Yo, sekarang seharusnya kau sudah bisa tersenyum melihatku. Iya kan?’

___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar