Selasa, 19 Juli 2011

Memori Dalam Kelopak Bunga Aster (skruel Di Dalam Kelopak Bunga Aster)

Memori Dalam Kelopak Bunga Aster


“Suatu saat kalau aku enggak ada, dan kamu ingin bertemu dengan aku, pandanglah kelopak bunga Aster ini. Kalau kamu ingin menangis, cabuti kelopak bunga ini dan biarkan dia pergi bersama angin. Jangan ada satu air mata pun yang jatuh dari mata kamu!!” 

Kata-kata itu masih dapat teringat jelas didalam memori otak Naya. Ucapan Dira saat mereka masih bersama dulu. Dan hingga kini, dia masih berusaha melakukannya.
Begitu mudah kata-kata itu terlontar. Begitu mudah meyakinkan hati ini untuk melakukannya. Namun sangatlah sulit menjalani semua itu.

Ketika rasa rindu itu memuncak, Naya datang ke Taman Bunga Aster yang selalu dia kunjungi bersama Dira. Taman yang tumbuh banyak bunga Aster dengan berbagai warna. Di pandangnya bunga itu dengan lekat. Saat air memenuhi kelopak matanya, dia mencabuti kelopaknya dan membiarkan kelopak itu terbang bersama angin.

Namun saat itu selalu air mata yang terlebih dahulu jatuh. Rasa sesak memenuhi relung hati dan jiwanya. Memaksa butiran bening jatuh membasahi pipi tanpa sempat terbedung. Tidak bisa rasanya hati dan jiwa menerima kenyataan. Dira telah pergi, tidak untuk kembali. Menyusul Nathan ke dunia baru, dimana tidak ada lagi sakit yang terasa.

Detik demi detik berganti. Siang dan malam datang dan kembali. Tiada terasa 2 tahun lebih Dira pergi. Namun belum juga rasa kehilangan memudar bersama berjalannya waktu.

Izal masih membiarkan bangku disampingnya kosong. Karena hanya ada Dira yang duduk ditempat itu. Yang pantas mengisi bangku kosong disampingnya. 

Anak-anak lain selalu mengingat dan mengenang Dira. Walau hanya sekian waktu mereka mengenal sosoknya. Namun Dira telah menyatu didalam memori otak mereka.
14 Maret selalu menjadi hari berduka disekolah. Dihari itu pihak sekolah mengadakan doa bersama untuk mengenang Dira. Serta berharap Tuhan akan menempatkan Dira ditempat yang terindah.

Dira adalah sosok yang tangguh. Dia adalah pedoman untuk terus berjuang dan semangat. Semangat selama 16 tahun dalam hidupnya telah menunjukkan kalau dia adalah seorang yang istimewa.
***
“Pagi Dira..” Nara menyapa foto Dira yang sengaja dia letakkan dimeja kamarnya. Dia meminta foto itu dari Orang Tua Dira. Karena tidak satupun foto Dira yang dia miliki. Kecuali foto Dira bersamanya dan Nathan saat mereka masih kecil. “Hari ini aku ujian. Doa in ya!! Kalo kamu masih ada, sekarang kita pasti bisa ujian bareng..” Satu tangkai bunga Aster dia letakkan didepan foto Dira.

Naya teringat fotonya bersama Dira dan Nathan. Dia mencari foto itu dikotak yang sengaja dia letakkan dibawah kasur. Dia ingin memajangnya bersama foto Dira.
Saat membuka kotak kayu usang itu, tidak hanya foto mereka bertiga. Banyak benda kenangan disana. Termasuk buku Agenda Biru milik Dira yang belum sempat dia baca.
Sebuah senyuman mengembang dari bibirnya. Naya mengambil buku Agenda itu. Kemudian meletakkannya kedalam tas. Segera dia pergi keluar dari kamarnya.

Seperti hari-hari sebelumnya. Izal sudah siap sedia didepan gerbang pintu rumahnya. Sejak 2 tahun lalu, Izal rutin menjemputnya. Karena dulu Dira pernah mengatakan agar Izal menjaga Naya saat dia tidak ada nanti.
“Pagi cantik. Siap buat Ujian kan?” sapa dan tanya Izal.
“Pasti. Gue udah minta restu sama Dira. Gue target masuk 10 besar. Kan gue pengen masuk sekolah kedokteran..” jawab Naya dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya. 

Naya bertekad menjadi dokter. Menyembuhkan orang-orang yang sakit. Dia tidak ingin melihat orang-orang kehilangan seperti dirinya. Dia ingin menyembuhkan mereka yang senasip dengan Dira. Izal melajukan mobilnya menuju sekolah. Dengan semangat dan harapan yang memayunginya.
***

Naya duduk sendiri ditaman Bunga Aster. Cukup lama dia diam disana. Dengan buku Agenda milik Dira yang masih tertutup rapat. Belum satu lembar pun dibacanya. Hati dan jiwanya masih sesak untuk membaca banyak kenyataan didalam buku itu.
Namun dia tidak bisa terus menghindar. Mau tidak mau dia harus membukanya. Sepahit apapun kenyataan yang akan didapatnya. Karena dari buku Agenda itulah dia dapat mngenal Dira lebih dalam.
Dengan ragu Naya membuka halaman pertama. Hanya ada nama Dira disana. Ditulis dengan huruf yang indah. 

Halaman kedua, tergores beberapa kata diatasnya.

Adilkah Tuhan padaku? Tidak sedikitpun dia berikan kebahagiaan didalam hidupku yang singkat ini. Dapatkan aku merasakan kebahagiaan?
Diusiaku yang baru menghitung hari, Dokter telah memvonis panjangnya umur yang ku miliki. Hanya 17 tahun. Disaat aku membutuhkan kasih sayang dan perhatian orang tuaku, mereka sama sekali tidak menampakkan diri mereka. Adikku membenciku karena menganggap Papa dan Mama lebih menyayangiku. Sejak kecil dia dititipkan dirumah Nenek. Dengan alasan ingin lebih focus merawatku. Namun kenyataannya sangat berbeda. Hanya materi bersama obat, dokter dan rumah sakit yang berkualitas yang kudapatkan.

Halaman ketiga, awal perjumpaan mereka.

Aku bahagia. Akhirnya ku temukan kebahagiaan sesungguhnya. Sebuah keluarga yang mengajariku kebahagiaan didalam kesederhanaan. Bersama dua anak mereka Naya dan Nathan.
Awalnya aku berjumpa dengan Nathan saat dia mengantarkan Koran kerumah. Setiap pagi dia datang kerumahku. Sekedar ngobrol dan berbagi pengalaman. Dia anak yang special. Umurnya yang 2 tahun lebih tua dariku, membuat aku merasakan kehangatan seorang kakak. Dari rentetan namaku, dia memanggilku Izka. Walau Nathan tahu penyakitku, dia sama sekali tidak menghiraukannya.
Setelah beberapa lama kami kenal, Nathan mengenalkan adik perempuannya padaku. Namanya Naya. Seorang gadis manis. Kami sering bermain bersama. Jadilah kami 3 sahabat yang sangat kompak.
Aku sangat bahagia.

Halaman selanjutnya mengisahkan hal-hal yang Dira, Naya dan Nathan lakukan bertiga. Dari hal-hal kecil sampai yang istimewa. Dira menuliskannya dengan rapi. Tanpa satu kejadianpun yang terlewatkan. Naya tersenyum membacanya. Memori ingatannya melayang disaat mereka bertiga masih bersama. Banyak tawa dan canda yang tercipta.

28 Januari,
Kebodohan kulakukan. Hari ini aku menjadi seorang pembunuh. Aku membunuh seorang teman yang mengajariku kebahagiaan dan cinta. Aku membunuh kakak dari seseorang yang ku cintai. Dengan tanganku sendiri.
Aku tidak pantas hidup!! Aku pembunuh!!
Pagi itu aku berbicara dengan papa dan mama agar mereka membiarkanku memberikan motor yang baru mereka belikan pada Nathan. Aku tahu, sudah lama aku menginginkan motor itu. Namun Nathan lebih membutuhkannya. Agar dia tidak lagi naik sepeda untuk bekerja mengantar Koran dan susu setiap paginya.
Tapi mereka malah memarahiku karena bergaul dengan anak-anak dari kalangan bawah. Mereka melarangku menemui mereka lagi. Dua orang yang aku kagumi hingga kini. Aku menolak dan tetap ingin bersama mereka. Hingga akhirnya aku kabur dengan mengendarai motor itu. Aku tidak memperdulikan saran dokter untuk beristirahat total dirumah selama 1 minggu.
Aku hendak menemui Nathan. Tapi ditengah jalan, jantung ini kembali terasa nyeri. Sangat sakit. Aku tidak kuat lagi menahannya. Hingga tanpa ku sadari, aku menabrak seorang pengendara sepeda. Seketika itu ketidaksadaran menguasai diriku.
Ketika kesadaranku kembali, aku mengetahui sesuatu yang sangat mengejutkan. Pengendara sepeda yang kutabrak adalah Nathan. Sahabatku sendiri. Dan sekarang dia kritis disebelah ruanganku.
Tanpa perduli keadaanku sendiri, aku mencabut selang infuse yang bersarang dilengan kiriku serta alat pendeteksi jantung di dadaku. Aku berlari hendak menemui Nathan. Namun langkahku terhenti ketika melihat Naya menangis didepan ruang ICU bersama kedua orang tuanya. Tangisnya semakin menggema setelah dokter memberitahukan kenyataan terburuk.
Nathan meninggal. Tanpa aku sempat melihatnya. Tanpa aku sempat mengucapkan maaf.
Aku terduduk ditempatku. Dadaku sesak. Tidak dapat ku merasakan udara sore ini. Sakit, sangat sakit. Tanganku telah membunuh orang yang begitu berarti. Aku terus menangis tanpa ada isak yang terdengar. Air terus berproduksi dimataku.
Aku tidak pantas lagi hidup didunia ini!! Aku PEMBUNUH!!! PEMBUNUH!!!!

Air mata Naya kembali berproduksi. Siap turun kapan saja bendungan itu jebol. Dia baru mengetahui kejadian sebenarnya yang melatari kecelakaan itu. Kebencian selama bertahun-tahun yang sempat dia rasakan ternyata sia-sia.
Dira sama sekali tidak bersalah. Itu kecelakan. Tidak hanya keluarganya yang menjadi korban. Tapi juga hati dan jiwa Dira.
Naya merasa begitu egois.

Lembaran selanjutnya kembali terbuka.

Sebuah dokumen berada didepanku. Mengaharapan aku menggoreskan tinta diatasnya sebagai tanda persetujuan. Kedua orang tuaku terlihat sangat gembira. Mereka tidak merasa bersalah dan enggan sama sekali.
Ya, dokumen itu adalah surat persetujuan pendonoran Jantung untuk ku. Sudah bertahun-tahun aku dan orang tuaku menunggu berita menggembirakan ini. Namun nama sang pendonor diatas kertas itu membuat jantungku terasa semakin sakit.
‘JONATHAN ARZIVA’ Nama seseorang yang telah kubunuh. Nama sahabat yang mati ditanganku.
Kata dokter, sebelum meninggal Nathan berniat mendonorkan jantungnya padaku. Entah apa yang membuatnya ingin melakukan itu. Tapi yang jelas kebaikannya itu tidak pantas untukku. Aku bahagia ditengah kedukaan keluarganya? Aku tidak dapat melakukan itu.
Jantung itu tidak pantas untuk pembunuh sepertiku. Aku tidak mau menerimana. Sungguh tidak mau.
Aku ingin mati! Aku ingin mati menyusulnya!
Bagaimana aku harus menghadapi Naya dan keluarganya nanti? Mereka pasti akan langsung mengusirku. Mereka akan marah padaku. Aku tidak mau kehilangan keluarga yang telah memenuhi kebahagiaanku. Aku tidak mau!!!!
AKU TIDAK MAU MENERIMA JANTUNG ITU!!! TIDAK!!!

Naya tidak kuasa menahan laju air matanya. Dadanya terasa sesak kata demi kata yang dituliskan Dira. Ingin dia menutup agenda itu segera. Namun rasa penasarannya akan sosok Dira membuatnya membuka halaman selanjutnya.

Dimana aku? Tempat ini seperti rumah sakit. Tapi tidak satu bendapun yang ku kenal.  Sudah berapa lama aku tertidur? Aku tidak ingat apapun.
Malam itu dadaku kembali terasa sakit. Aku berusaha memanggil suster. Namun tubuhku terjatuh dan semuanya menjadi gelap.
Ternyata aku ada di Singapura. Sudah hampir satu bulan aku koma. Papa dan Mama membawaku kesini untuk menjalani operasi pemasangan jantung buatan yang menggantikan jantungku yang tidak dapat lagi bekerja dengan baik.
Sudah selemah itukah aku? Padahal masih ada 5 tahun waktu yang diberikan dokter padaku.
Aku sungguh lelah. Kedua lenganku sudah penuh oleh bekas jarum suntik dan infuse yang menusuk kulitku dan memaksanya menerobos aliran darahku. Tidak terhitung jumlahnya.
Aku tahu tidak ada yang sempurna. Termasuk aku. Jadi biarlah Tuhan yang menentukan nasibku ini. Entah apakah aku masih bisa bertemu dengan Naya sebelum kematian menghampiri.
Aku berharap kelopak bunga aster yang ku terbangkan dapat menyamaikan perasaanku padanya.
Aku mencintaimu, Naya!!!

Naya tersenyum membaca kalimat terakhir yang tertulis dihalaman itu. Tiga kata yang paling dia sukai didunia ini. Kini dia tahu kemana Izka saat tiba-tiba menghilang dulu.
Dia kembali membuka halaman selanjutnya. Tidak ada tulisan disana. Hanya sebuah foto tua. Terabadikan 3 sosok anak-anak yang sedang tertawa senang. Dua anak laki-laki yang menghimpit seorang gadis manis.

Saat itu malam tahun baru. Naya, Dira dan Nathan pergi menghabiskan waktu dipasar malam. Meresa merasa bahagia saat itu. Tawa tidak pernah lepas dari bibir mereka. Sebenarnya Dira tidak boleh keluar rumah malam-malam karena udara malam tidak baik untuk jantungnya. Namun dengan ngeyelnya dia tetap pergi bersama mereka. Suster yang biasa merawatnya terpaksa ikut. Dira merasa risih karena dibuntuti kemanapun dia pergi.

Muncul ide jahil diotak Nathan untuk mengerjai suster itu. Mereka berpura-pura menaiki bianglala. Dengan jahilnya mereka meminta suster itu naik duluan. Saat bianglala mulai berputar, mereka tidak ikut naik. Tapi malah berlari menjauh dan membiarkan suster itu sendirian.

Dengan begitu beberapa saat mereka bisa bebas. Nathan mengajak Naya dan Dira duduk dibawah pohon. Dari sana mereka dapat melihat kembang api yang akan dinyalakan saat pergantian tahun nanti. Tidak lama menanti, kembang api meletus ria dilangit malam.

“Kita foto bareng yuk!! Buat kenang-kenangan!!” seru Dira sambil mengeluarkan Foto Digitalnya dari kantong jaket. Dengan berbagai fose masing-masing, terciptalah foto mereka bertiga yang tengah tersenyum senang.

Kembali sebuah senyuman mengembang dibibir Naya. Latarnya kembang api yang bertebaran dilangit malam. Masih teringat jelas kapan foto itu diambil. Keceriaannya masih terasa hingga kini.
Naya membuka lembar selanjutnya.
Kosong!!
Kosong!!
Kosong!!
Tidak ada tulisan sama sekali dibeberapa lembar selanjutnya.
Naya menutup buku agenda itu. Saat hendak meletakannya didalam tas, subuah foto keluar dari sela jepitan buku. Dia kembali membuka agenda dan mencari darimana foto itu terselip.

Dihalaman kesekian, terdapat foto Naya saat memakai atribut MOS sedang duduk sendiri dibawah pohon tempat pertama mereka kembali bertemu. Naya teringat saat itu dia sedang menunggu Dira.

Ku temukan lagi senyum yang sempat hilang

Halaman selanjutnya, kembali sebuah foto Naya saat termenung didalam kelas. Entah kapan dia mengambilnya.

Hanya dapat ku pandangi. Dia tidak mengenaliku. Biarlah seperti ini. Diujung hidupku, aku bahagia bisa melihatnya lagi.

Halaman berikutnya, foto Naya bersama Dira setelah mereka resmi berpacaran. Foto itu diambil saat mereka berada ditaman Bunga Aster.

Ku tak ingin menggenggamnya. Ku tak ingin memeluknya.
Tapi hati ini terlalu menguasai diriku untuk memelikinya.
Walau hanya sekejab, perasaan ini ingin sebentar saja merasakan kehangatannya.

Naya terdiam sejenak. Menghirup udara segar disekelilingnya. Menenangkan hati dan perasaannya agar tetap kuat membuka halaman demi halaman agenda Dira.

Hari ini terasa sangat berat,
Sesak dan sakit itu tanpa henti mendatangiku
Melucuti tulang dan kulitku tanpa henti
Membuat tubuh lemah ini tidak berdaya

Lembar selanjutnya kembali terbuka. Sebuah rangkaian kata tertulis dengan indah disana.

Kau datang bagai hujan disaat kemarau
Kau ada bagai pelangi selepas hujan
Kau hidup bagai bunga ditengah ilalang
Dan kau hadir bagai anugrah terindah dalam hidupku

Beberapa lembar berikutnya tertulis banyak nama Naya disana.
Naya,
Satu ada kata yang membuatku bahagia
Naya,
Satu ada kata yang membuatku sakit
Naya,
Satu ada kata yang membuatku berharap
Naya,                 
Satu ada kata yang membuatku pergi

---

Naya membuka halaman terakhir didalam buku agenda itu. Sebuah ungkapan indah tertulis disana.

Izka CINTA Naya, Selamanya…..

Tanpa terasa butiran hangat jatuh membasahi pipinya. Rasa sesak itu kembali datang, berbaur bersama sesal yang belum juga memudar. Andai dia mempercayai cinta Dira, andai dia bisa menerima Dira lebih cepat. Semuanya pasti akan lebih baik.

Selama ini belum pernah dia mendengar kata cinta dari mulut Dira. Langsung dari mulutnya, tanpa media tulis atau apapun.

Dihalaman terakhir itu, ada sebuah surat untuk Naya. Perlahan Naya membuka dan membacanya.

Aku tidak dapat melarikan diri lagi, sungguh tidak ingin,
Jika aku tidak tercipta untukmu, kenapa hati ini memilih mu?
Jika aku bukan milikmu, kenapa hatimu selalu memanggilku?
Jika aku tidak membutuhkanmu, kenapa namamu selalu menggema di kepalaku?
Jika aku tidak untukmu, kenapa aku selolah hidup selamanya bersamamu?

Aku tidak tahu kenapa rasa ini ada
Tapi aku tahu kalau ini benar
Karena aku mencintaimu
Entah itu salah atau benar
Yang pasti aku mencintaimu seumur hidupku

Mencintaimu… adalah seluruh cinta dalam hatiku
Mencintaimu… adalah segala rasa yang kumiliki
Mencintaimu… adalah seluruh sakit yang menguasai jantungku
Mencintaimu… adalah anugerah terindah dalam hidupku

Rasa ini memaksaku untuk bernafas
Membuat jatungku terus berdetak
Dan memercepat waktu ku berpijak

Tapi ada kala harap tiada
Dan asa tiba, tidak boleh kah manusia menyerah
Akan takdir dan kehendak Yang Kuasa

Walaupun cinta, rasa dan jiwa ingin tetap tinggal
Walau raga tetap selalu didekapannya

Di kala tak ada lagi yang tersisa untukku
Selain kenangan-kenangan yang indah bersamamu
Jauh meninggalkan ku

Cintamu tidak akan bisa membebaskanku
Takdir Tuhan lah yang selalu berkuasa

Tersenyumlah bersama guguran kelopak bunga aster,
Saat kau mengingatku
Menangislah bersama angin musim panas,
Ketika kau merindukanku

Cintaku akan tetap tinggal dihatimu
Hingga akhir hayat hiduku, saat akhir hirup nafasku
Dan setelah kematian menyapa
Hingga hanya tangan Tuhan lah yang akan menyatukan kita lagi….

-Raizkadira Andrianto-

Naya melipat kembali surat itu dan memasukkannya kedalam amplop. Bulir air mata tidak dapat lagi terbendung dikolapak matanya. Semuanya tumpah tanpa terkendali.
Dia terdiam sejenak. Berusaha menenangkan hati dan perasaannya.

Sesungguhnya dia rindu. Sangat rindu pada sosok Dira. Saat dia tertawa, saat dia marah, dan saat sifat dinginnya datang. Dira yang selalu tak acuh papanya, seolah tidak menginginkan kehadiranya. Dira yang dapat membuatnya nyaman walau hanya dengan memandangnya. Dira yang membuat air matanya terus mengalir saat mengingatnya.
Naya menghirup nafas dan membuangnya. Memantabkan hati untuk menarik ujung-ujung bibirnya, membentuk sebuah senyuman. Untuk mengingat Dira, bersama kelopak-kelopak bunga Aster yang diterbangkan oleh angin sore.

Dia tidak menyesal mencintai Dira. Menjadikan sosok rapuh itu penguasa tunggal hatinya.

Setelah ini pasti akan lebih berat. Tidak hanya 2 tahun saja. Tapi tahun-tahun selanjutnya akan dia jalani tanpa sosok Dira. Akan ada banyak air mata yang tercurah. Bersama rasa rindu yang mencekat jiwa.

Namun, Naya sama sekali tidak menyesal. Bertemu dan mencintai Dira adalah hal terindah dalam hidupnya. Dan dengan senyuman, dia akan mengingat Dira.
“Nay!!”
Naya tersadar dari lamunannya dan menoleh. Dia melihat Izal berlari kecil mendekatinya.
“Ketempat Dira yuk!!” ajaknya. “Udah selesaikan?”

Naya mengangguk dengan senyum yang masih mengembang dibibirnya. Kemudian dia bangkit mengikuti Izal yang berjalan mendahuluinya. 

Dira, adalah masa laluku
Yang mengajariku tentang cinta dan kebahagiaan
Dira, adalah masa indahku kini
Yang selalu membuatku semangat saat mengenangnya
Dira, adalah masa depanku
Yang membuatku termotifasi dan terus berharap

Cintanya, hidupnya, dan ceritanya akan tetap hidup. Didalam memori bersama kelopak bunga Aster yang berguguran.

By,
Naeny

Jumat, 15 Juli 2011

PRIMORDIA

PRIMORDIA

           
            Mungkin cinta tidak selamanya menghadirkan kebahagiaan. Ia mungkin hanya sebuah bualan, dengan harapan palsu. Anggapan itu selalu teriang di telinga Tria. Lima kali gagal dalam bercinta menimbulkan trauma besar baginya. Ia selalu tidak beruntung dalam menjalin hubungan. Sakit yang selalu ia rasa tak henti menghantui langkahnya. Hingga ia berfikir, bahwa Tuhan tidak menakdirkannya untuk merasakan kebahagiaan.
            Ingatan itu masih jelas terbayang. Ingatan tentang kisah cinta yang selalu mnyisahkan luka. Tentang perselingkuhan, perlakuan kasar, taruhan, dan banyak lagi kenyatan yang ia terima.
            Tiada tujuan lain yang Tria inginkan selain sebuah kabahagiaan. Bersama orang yang mencintainya, meghabiskan waktu serta mengukir kenangan indah. Ingin ia dapatkan itu tuk akhiri pencarian cintanya.
            Kaki terus melangkah. Tiada henti menelusuri jalan yang tak jua berujung. Lelah tiada lagi terasa. Terkubur dalam ruang hati yang terluka. Meleleh dalam tiap butir air mata.
            Barulah Tria tersadar akan hembusan angin yang membelai lembut wajahnya. Terbentang penorama alam yang indah dihadapannya. Dedaunan melambai seolah ikut serta menyambutnya. Bisikan-bisikan alam membuatnya merinding. Hingga tanpa sadar ia meneteskan air mata.
            Dari sudut terkecil dalam hatinya, ia merasa ada suatu kerinduan. Kerinduan akan kenangan indah yang ia tak tahu apa itu.
            “Kan tiada lagi primordia yang tumbuh, jika kau teteskan air mata.”
            Sebuah suara merdu mengisi keheningan.
            Tria menoleh ragu. Ia melihat seorang pemuda tampan berdiri dibawah pohon. Terpancar keramahan dari sorot mata wajah tanpa ekspresi itu. Sebuah senyuman indah mengembang dari bibir tipisnya. Serta sentuhan kain putih yang terajut indah membalut tubuh jangkungnya. Sinar kemerahan mentari senja membuat sosok itu senakin mempesona.
            Mungkin itu malaikat? Tria memfikirkan itu dalam benaknya. Tiada sedetik pun ia alihkan pandangannya. Ia seperti menemukan kedamaian ditengah kegalauan hatinya. Tidak ada satu pun kata yang terucap darinya. Seperti, kotak suaranya terkunci.
            “Gadis cantik, jangan menangis! Karena tetes air mata hanya akan menutupi kecantikanmu.”
            “Si,siapa?” tanya Tria dengan terbata.
            “Thantra. Penghuni tempat ini. Kamu?”
            “Tria”
            Pertemuan itu merubah jalan hidup Tria. Tiap hari ia selalu datang untuk menemui pemuda berparas tampan itu. Tiada kebahagiaan lagi bagi Tria selain kebersamaannya dengan Thantra. Anggapannya tentang cinta yang membawa luka  hilang sudah. Ia hanya percaya bahwa cinta membawa kebahagiaan.
            Bersama Thantra, ia merasakan rasa yang ia rindukan. Hangat dekapan Thantra. Indah senyuman Thantra. Dapat melepaskan segala bebannya.
Tiap kali bertemu Thantra selalu memberinya Primordia. Kata Thantra Primordia adalah hal yang terindah dalam hidupnya. Walau sungguh Triatidak mengerti apa maksudnya.
            “Rumah kamu dimana?” tanya Tria pada Thantra disuatu pertemuan disenja yang indah.
            “Ditempat yang jauh.” jawab pemuda itu.
            “Jauh dimana? Diluar negeri?”
            “Iya. Diluar. Ditempat yang sangat indah. Sebentar lagi aku akan kembali.”
            “Kapan?”
            “Secepatnya. Setelah tujuanku selesai.”
            Kabar itu membuat Tria tidak tenang. Jika Thantra benar akan pergi, bagaimana dengannya? Ia masih ingin menghabiskan waktu bersama pemuda itu.
            “Memang ..... tujuan kamu kesini untuk apa?” tanya Tria kemudian
            “Menunjukan jalan kebahagiaan pada seseorang yang aku sayang dan yang telah ku tinggalkan.” jawab pemuda itu.
            “Jalan kebahagiaan?”
            “Sesuatu yang ia cari.”
            Tria iri pada seseorang itu karena perasaan Thantra padanya. Ia sungguh berharap ialah orang yang Thantra. Tapi ia rasa tidak mungkin. Thantra baik kepada semua orang termasuk padanya.
            Tanpa henti ia memandang Thantra yang hanya terdiam melihat dedaunan dipohon. Matanya memandang lurus kedepan. Pemuda itu terlihat tampan dengan balutan kain putih yang selalu ia kenakan.
            “Kamu tahu kenapa aku menyukai daun muda?” tanya Thantra kemudian.
            Tria menggeleng.
            “Primordia adalah julukan yang kuberikan padaseseorang yang aku sayangi. Walau dia sudah melupakan ku dan semua kenangan kami, aku tetap berharap ia bahagia. Tempat ini adalah saksi cinta kami. Aku sering memberi dia daun muda.” jelas Thantra.
            Tria semakin menyukai Thantra setelah mendengar itu. Ia kagum pada pemuda itu yang selalu setia pada gadis yang dicintainya. Sungguh rugi gadis itu bila melepaskan pemuda sebaik Thantra.
            “Sekarang gadis itu dimana?”
            “Sangat dekat. Tapi tidak dapat aku raih. Karena aku tidak dapat terus bersamanya.”
            Semua hal yang Thantra katakan sangat membuat Tria terheran. Ia seperti telah mengerti isi hati dan perasaan Thantra.
            “Kamu pasti juga akan menemukan cinta yang kamu cari.” ucap Thantra lagi.
            Tria tersenyum malu. Ia harap Thantra lah cinta yang ia cari.
            Thantra mendekap tubuh mungil Tria.
            “Bersabarlah menantinya.” ucap pemuda itu.
            Dalam dekapan Thantra, Tria merasakan suatu yang aneh. Hangat dan nyaman. Sebuah rasa yang terasa pernah ia rasakan sebelumnya. Jantungnya berdetak tidak karuan. Ia berharap Thantra tidak mendengar suara detak jantungnya itu.
            iii
            Disisi lain, Tyo sahabat baik Tria selalu bertanya dalam benaknya. Siapa Thantra? Sosok yang membuat Tria berubah aneh. Ia harus mengenal pemuda itu dan memastikan Tria tidak akan sakit hati lagi. Karena kebahagiaan Tria adalah kebahagiaannya.
            Sejak masuk  SMA, Tyo selau memperhatikan Tria. Ia sudah menaruh perasaan pada gadis itu sebelum mereka saling mengenal.
            Suatu saat, Tria mengajak Tyo menemui Thantra. Latak bukit yang mulanya dekat berubah sangat jauh. Enah perasaan apa yang menyelubungi hati Tyo selama perjalanan mengikutinya.
            Bukit itu sepi. Tidak ada Thantra atau siapapun disana. Kehangatan yang biasa terasa, seperti membeku.
            Tria meminta Tyo untuk menunggu Thantra hingga sore menjelang. Bahkan senjapun mulai termakan oleh waktu.
            “Kita pulang yuk! Dia mungkin tidak datang hari ini. Besok aku temani lagi.” ajak Tyo.
            Setelah Adzan Maghrib berkumandang, mereka memutuskan untuk pulang. Tria pulang dengan membawa kekecewaan dihatinya. Tyo membiarkan sahabatnya itu berjalan didepan. Ia tahu hati Tria saat ini tidak tenang.
            Langkah Tyo terhenti oleh bisikan yang membuatnya merinding. Bisikan itu mengatakan bahwa ia harus menjaga dan membuat Tria bahagia.
            “Jagalah Primordiaku!!!!”
            Untuk malam itu Tyo mengacuhkannya. Namun kelamaan dia penasaran juga.
            Setelah sore itu, diam-diam Tyo datang keatas bukit. Tetapi tidak sekalipun ia melihat sosok Thantra. Ia meragukan keberadaan Thantra. Terlebih ia pernah melihat Tria berbicara sendiri dibawah pohon diatas bukit. Tapi Tria pernah mengatakan kalau ia selau bersama Thantra diatas bukit. Ia pun khawatir.
            “Kalau elo benar ada, tolong jaga Tria setelah gue pergi! Jangan pernah buat dia nangis!” ucapnya.

            iii
            Rani, sahabat Tria sejak kecil datang dari Amerika. Selama bertahun-tahun mereka bersahabat. Bahkan setelah mereka terpisah. Tria tidak sabar menceritakan segala hal tentang Thantra pada sahabat tercintanya selain Tyo.
            Ditaman kota Rani, Tyo & Tria bertemu. Semasa SMA mereka bersahabat.
            “Elo mau cerita apa, Tria sayang?” tanya Rani.
            Tria menceritakan semuanya pada Rani. Secara lengakap dan jelas. Dari tempat pertama kali mereka bertemu, hingga semua hal yang ia tahu soal Thantra. Intinya sosok itu begitu sempurna.
            Dari cerita Tria, Rani seperti mengenali sososk itu. Semua tentang sosok itu membuat Rani merinding. Dan jantungnya berdetak kencang. Orang itu seperti.........kakaknya yang telah tiada.
            “Namanya siapa, Ri?” tanya Rani tergesa.
            “Thantra. Thantra Adipura.” jawab Tria santai.
            Rani sangat terkejut. Tanpa terhenti, air matanya meleleh. Ia tidak menyangka mendengar nama itu dari mulut Tria.
            “Kenapa Ran?” tanya Tyo khawatir.
            Sejenak Rani terdiam. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dan tiba-tiba dia melihat sosok yang sangat dia rindukan. Sosok itu tersenyum padanya.
            Rani membasuh air matanya. Sekarang lah ia mengungkap kenyataan yang lama terkubur.
            “Thantra kakak kembar gue. Seseorang yang elo lupa.” jelas Rani.
            Tria memandang sahabatnya itu dengan tidak mengerti. Lupa? Apa yang ia lupa?
            “Elo punya kakak? Bukannya elo anak tunggal?” tanya Tyo heran. Karena sebelumnya ia tidak pernah mendengar tentang kakak Rani ataupun keberadaannya.
            “Ri, jujur kedatangan gue kesini, karena dia datang di mimpi gue. Dia......... kakak gue sekaligus orang yang dulu elo cinta.” jelas Rani.
            Tria semakin tidak mengerti. Begitupun dengan Tyo.
            Rani membuka mulut.
            Empat tahun lalu….
            Rani, Tria dan Thantra pergi kepuncak untuk merayakan kelulusan. Namun saat perjalanan pulang, tiba-tiba mag Thantra kambuh. Karena rasa sakit yang sangat hebat, Thantra kehilangan kendali mobilnya. Semua panic. Dan saat di tikungan, sebuah truk melintas. Thantra langsung membanting stir untuk menghindari truk. Namun mobil mereka malah manabrak mobil yang berjalan di belakang truk.
            “Primordia adalah nama panggilan buat elo. Dan orang yang ingin ia bahagiakan itu elo!” jelas Rani.
            Tria sungguh tidak mengerti.
            “Thantra adalah cinta pertama yang elo lupain.”
            “Apa-apaan sih lo Ran. Jangan bercanda deh..” elak Tria.
            “Dengerin Gue!! Waktu itu untuk merayakan kelulusan kita, elo, gue dan Thantra pergi kepuncak. Tapi ditengah jalan mobil kita kecelakaan dan Thantra..........”
            Air mata Rani meleleh lagi.
            “Dia berusaha melindungi kita dari maut.” tambahnya.
            Tria tersentak kaget. Ia tidak percaya semua itu. Tidak mungkin itu terjadi.
            “Sebelum meninggal Thantra bilang lebih baik dia yang celaka daripada kita. Lagipula dia bilang….”
            Rani terdiam sejenak. Dia teringat saat terakhir kali Thantra berbicara padanya.
            “Sebelum pengumuman, Thantra bertemu dokter. Dokter bilang, Thantra enggak kena mag. Tapi labih serius dari itu….”
            Rani kembali terdiam.
            “Thantra kena…. Kanker lambung”
            Tyo tertegun. Tria semakin tidak percaya. Rani hanya membual.
            “Elo bohongkan? Itu enggak bener!! ELO BOHONG!!!!!!” elak Tria
            “Gue enggak bohong. Waktu itu elo hilang ingatan Ri. Itu semua bener.”
            “Lalu menurut elo, siapa yang gue temuin selama ini?” tanya Tria.
            Seasana hening sejenak. Hingga akhirnya Tyo mengambil suara.
            “Dia Thantra yang hilang dari memori kamu Ri.” ucapnya.
            Tria berteriak histeris.
            Rani menarik tangan Tria. Ia membawa Tria kesuatu tempat dimana ia tidak dapat mengelak lagi. Mereka pergi kepamakaman.
            Rani menarik tangan Tria menelusuri pemakaman. Meraka berhenti di depan batu nisan yang bertuliskan nama “THANTRA ADIPURA”.
            Tria tersentak.
            “Itu makam Thantra, Ri.” ucap Rani.
            Tria terduduk lemas dihadapan nisan itu. Tidak hentinya air mata mengalir. Ia sungguh ingin menyangkal. Tetapi inilah kenyatannya.
            Didalam gundukan tanah itu. Orang yang paling ia kasihi terbaring. Seorang yang ia lupa bersama segala kenangan yang pernah terlewati.
            Segala bayangan semu Tria selama beberapa tahun ini mulai terungkap. Semuanya telah jelas. Ternyata semua itu memang benar. Ia hilang ingatan. Kedua orang tuanya terlalu takut mengatakan kepergian Thantra yang mengejutkan.
            Seterusnya, Tria selalu datang keatas bukit. Tapi, tidak sekalipun Thantra memperlihatkan wujudnya. Pemuda itu seperti menghilang dari peredaran. Tria berfikir mungkinThantra telah kembali ketempat seharusnya ia berada. Ketempat yang sangat jauh.
            Senja mulai datang. Tria masih tetap berdiri ditempatnya. Ia ingin berlama-lama ditempat itu.
            “Primordiaku!”                       
            Seru seseorang yang Tria kenal. Suara tanpa rupa.
            “Primordiaku!”
            Suara itu semakin terdengar jelas.
            Tria yakin suara itu adalah Thantra. Dia berusaha menyelidik di sekitarnta. Kosong.
            “Thantra.” panggilnya.
            Namun tiada sahutan.
            “Thantra kamu disini, kan?”
            Tria hampir putus asa. Tapi saat ia menoleh, ia mendapati sosok Thantra disana.
            “Aku senang kamu ingat tentang kisah kita dulu. Namun, sekarang semua itu percuma. Aku hanya serpihan ingatan di masa lalu kamu. Bukan aku cinta untuk kamu.” ucap Thantra.
            “Hanya kamu cintaku, Than. Sekarang maupun masa lalu.”
            Angin berhembus sepoi. Mentari telah kembali keperaduannya.
            “Mungkin itu benar. Namun, ada orang lain yang lebih pantas menjadi cinta kamu dimasa depan.”ucap Thantra.
            “Siapa?”
            “Larilah! Kejar dan jangan biarkan dia pergi. Ikuti kata hati kamu!”
            Tria gemetar, tubuh itu mulai menghilang.
            “Sayangi dia seperti kamu menyayangiku.”
            Tria berusaha meraih Thantra. Namun, tubuh itu telah menghilang bersama cahaya terang yang membawanya. Air matanya menetes. Sebuah daun muda tergenggam ditangannya.
            Thantra lenyap dengan sebuah senyuman bahagia.
            Tria menangis haru. Air matanya semakin banyak yang tumpah. Namun dia mulai berpikir.
            Mungkin Thantra benar. Ada cinta untuknya. Karena itu ia berlari. Ia tidak tahu kemana langkah kaki akan membawanya. Dijalan raya ia memanggil taxi. Dan tanpa sadar menyebut nama Bandara.
            Sekitar setengah jam, taxi itu berhenti didepan bandara.
            Tria berlari kedalam. Berbaur dengan banyak orang yang berlalulangan. Dia bingung akan apa yang ia cari. Untuk itu ia memejamkan mata.
            “JANGAN PERGI!!!!!!!!!!” teriaknya pada orang yang tidak ia tahu.
            Semua orangmenoleh kearah Tria.
            Saat membuka mata, ia melihat sosok Tyo dihadapannya. Ia memeluk tubuh itu dengan erat.
            “Entah kenapa, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, aku tidak ingin kamu pergi!” ucapnya.
            Tyo menyambut pelukan itu.
            “Thantra berkata, ada kebahagiaan lain dimasa depanku.”
            Lengan Tyo semakin erat memeluk Tria, seakan tak ingin melepas tubuh mungil itu. Sebuh tekat tumbuh dihatinya untuk selalu memlindungi sang Primordia.
            Sebuah daun muda terjatuh di hadapannya.
iii

=== TAMAT ===