Jumat, 15 Juli 2011

PRIMORDIA

PRIMORDIA

           
            Mungkin cinta tidak selamanya menghadirkan kebahagiaan. Ia mungkin hanya sebuah bualan, dengan harapan palsu. Anggapan itu selalu teriang di telinga Tria. Lima kali gagal dalam bercinta menimbulkan trauma besar baginya. Ia selalu tidak beruntung dalam menjalin hubungan. Sakit yang selalu ia rasa tak henti menghantui langkahnya. Hingga ia berfikir, bahwa Tuhan tidak menakdirkannya untuk merasakan kebahagiaan.
            Ingatan itu masih jelas terbayang. Ingatan tentang kisah cinta yang selalu mnyisahkan luka. Tentang perselingkuhan, perlakuan kasar, taruhan, dan banyak lagi kenyatan yang ia terima.
            Tiada tujuan lain yang Tria inginkan selain sebuah kabahagiaan. Bersama orang yang mencintainya, meghabiskan waktu serta mengukir kenangan indah. Ingin ia dapatkan itu tuk akhiri pencarian cintanya.
            Kaki terus melangkah. Tiada henti menelusuri jalan yang tak jua berujung. Lelah tiada lagi terasa. Terkubur dalam ruang hati yang terluka. Meleleh dalam tiap butir air mata.
            Barulah Tria tersadar akan hembusan angin yang membelai lembut wajahnya. Terbentang penorama alam yang indah dihadapannya. Dedaunan melambai seolah ikut serta menyambutnya. Bisikan-bisikan alam membuatnya merinding. Hingga tanpa sadar ia meneteskan air mata.
            Dari sudut terkecil dalam hatinya, ia merasa ada suatu kerinduan. Kerinduan akan kenangan indah yang ia tak tahu apa itu.
            “Kan tiada lagi primordia yang tumbuh, jika kau teteskan air mata.”
            Sebuah suara merdu mengisi keheningan.
            Tria menoleh ragu. Ia melihat seorang pemuda tampan berdiri dibawah pohon. Terpancar keramahan dari sorot mata wajah tanpa ekspresi itu. Sebuah senyuman indah mengembang dari bibir tipisnya. Serta sentuhan kain putih yang terajut indah membalut tubuh jangkungnya. Sinar kemerahan mentari senja membuat sosok itu senakin mempesona.
            Mungkin itu malaikat? Tria memfikirkan itu dalam benaknya. Tiada sedetik pun ia alihkan pandangannya. Ia seperti menemukan kedamaian ditengah kegalauan hatinya. Tidak ada satu pun kata yang terucap darinya. Seperti, kotak suaranya terkunci.
            “Gadis cantik, jangan menangis! Karena tetes air mata hanya akan menutupi kecantikanmu.”
            “Si,siapa?” tanya Tria dengan terbata.
            “Thantra. Penghuni tempat ini. Kamu?”
            “Tria”
            Pertemuan itu merubah jalan hidup Tria. Tiap hari ia selalu datang untuk menemui pemuda berparas tampan itu. Tiada kebahagiaan lagi bagi Tria selain kebersamaannya dengan Thantra. Anggapannya tentang cinta yang membawa luka  hilang sudah. Ia hanya percaya bahwa cinta membawa kebahagiaan.
            Bersama Thantra, ia merasakan rasa yang ia rindukan. Hangat dekapan Thantra. Indah senyuman Thantra. Dapat melepaskan segala bebannya.
Tiap kali bertemu Thantra selalu memberinya Primordia. Kata Thantra Primordia adalah hal yang terindah dalam hidupnya. Walau sungguh Triatidak mengerti apa maksudnya.
            “Rumah kamu dimana?” tanya Tria pada Thantra disuatu pertemuan disenja yang indah.
            “Ditempat yang jauh.” jawab pemuda itu.
            “Jauh dimana? Diluar negeri?”
            “Iya. Diluar. Ditempat yang sangat indah. Sebentar lagi aku akan kembali.”
            “Kapan?”
            “Secepatnya. Setelah tujuanku selesai.”
            Kabar itu membuat Tria tidak tenang. Jika Thantra benar akan pergi, bagaimana dengannya? Ia masih ingin menghabiskan waktu bersama pemuda itu.
            “Memang ..... tujuan kamu kesini untuk apa?” tanya Tria kemudian
            “Menunjukan jalan kebahagiaan pada seseorang yang aku sayang dan yang telah ku tinggalkan.” jawab pemuda itu.
            “Jalan kebahagiaan?”
            “Sesuatu yang ia cari.”
            Tria iri pada seseorang itu karena perasaan Thantra padanya. Ia sungguh berharap ialah orang yang Thantra. Tapi ia rasa tidak mungkin. Thantra baik kepada semua orang termasuk padanya.
            Tanpa henti ia memandang Thantra yang hanya terdiam melihat dedaunan dipohon. Matanya memandang lurus kedepan. Pemuda itu terlihat tampan dengan balutan kain putih yang selalu ia kenakan.
            “Kamu tahu kenapa aku menyukai daun muda?” tanya Thantra kemudian.
            Tria menggeleng.
            “Primordia adalah julukan yang kuberikan padaseseorang yang aku sayangi. Walau dia sudah melupakan ku dan semua kenangan kami, aku tetap berharap ia bahagia. Tempat ini adalah saksi cinta kami. Aku sering memberi dia daun muda.” jelas Thantra.
            Tria semakin menyukai Thantra setelah mendengar itu. Ia kagum pada pemuda itu yang selalu setia pada gadis yang dicintainya. Sungguh rugi gadis itu bila melepaskan pemuda sebaik Thantra.
            “Sekarang gadis itu dimana?”
            “Sangat dekat. Tapi tidak dapat aku raih. Karena aku tidak dapat terus bersamanya.”
            Semua hal yang Thantra katakan sangat membuat Tria terheran. Ia seperti telah mengerti isi hati dan perasaan Thantra.
            “Kamu pasti juga akan menemukan cinta yang kamu cari.” ucap Thantra lagi.
            Tria tersenyum malu. Ia harap Thantra lah cinta yang ia cari.
            Thantra mendekap tubuh mungil Tria.
            “Bersabarlah menantinya.” ucap pemuda itu.
            Dalam dekapan Thantra, Tria merasakan suatu yang aneh. Hangat dan nyaman. Sebuah rasa yang terasa pernah ia rasakan sebelumnya. Jantungnya berdetak tidak karuan. Ia berharap Thantra tidak mendengar suara detak jantungnya itu.
            iii
            Disisi lain, Tyo sahabat baik Tria selalu bertanya dalam benaknya. Siapa Thantra? Sosok yang membuat Tria berubah aneh. Ia harus mengenal pemuda itu dan memastikan Tria tidak akan sakit hati lagi. Karena kebahagiaan Tria adalah kebahagiaannya.
            Sejak masuk  SMA, Tyo selau memperhatikan Tria. Ia sudah menaruh perasaan pada gadis itu sebelum mereka saling mengenal.
            Suatu saat, Tria mengajak Tyo menemui Thantra. Latak bukit yang mulanya dekat berubah sangat jauh. Enah perasaan apa yang menyelubungi hati Tyo selama perjalanan mengikutinya.
            Bukit itu sepi. Tidak ada Thantra atau siapapun disana. Kehangatan yang biasa terasa, seperti membeku.
            Tria meminta Tyo untuk menunggu Thantra hingga sore menjelang. Bahkan senjapun mulai termakan oleh waktu.
            “Kita pulang yuk! Dia mungkin tidak datang hari ini. Besok aku temani lagi.” ajak Tyo.
            Setelah Adzan Maghrib berkumandang, mereka memutuskan untuk pulang. Tria pulang dengan membawa kekecewaan dihatinya. Tyo membiarkan sahabatnya itu berjalan didepan. Ia tahu hati Tria saat ini tidak tenang.
            Langkah Tyo terhenti oleh bisikan yang membuatnya merinding. Bisikan itu mengatakan bahwa ia harus menjaga dan membuat Tria bahagia.
            “Jagalah Primordiaku!!!!”
            Untuk malam itu Tyo mengacuhkannya. Namun kelamaan dia penasaran juga.
            Setelah sore itu, diam-diam Tyo datang keatas bukit. Tetapi tidak sekalipun ia melihat sosok Thantra. Ia meragukan keberadaan Thantra. Terlebih ia pernah melihat Tria berbicara sendiri dibawah pohon diatas bukit. Tapi Tria pernah mengatakan kalau ia selau bersama Thantra diatas bukit. Ia pun khawatir.
            “Kalau elo benar ada, tolong jaga Tria setelah gue pergi! Jangan pernah buat dia nangis!” ucapnya.

            iii
            Rani, sahabat Tria sejak kecil datang dari Amerika. Selama bertahun-tahun mereka bersahabat. Bahkan setelah mereka terpisah. Tria tidak sabar menceritakan segala hal tentang Thantra pada sahabat tercintanya selain Tyo.
            Ditaman kota Rani, Tyo & Tria bertemu. Semasa SMA mereka bersahabat.
            “Elo mau cerita apa, Tria sayang?” tanya Rani.
            Tria menceritakan semuanya pada Rani. Secara lengakap dan jelas. Dari tempat pertama kali mereka bertemu, hingga semua hal yang ia tahu soal Thantra. Intinya sosok itu begitu sempurna.
            Dari cerita Tria, Rani seperti mengenali sososk itu. Semua tentang sosok itu membuat Rani merinding. Dan jantungnya berdetak kencang. Orang itu seperti.........kakaknya yang telah tiada.
            “Namanya siapa, Ri?” tanya Rani tergesa.
            “Thantra. Thantra Adipura.” jawab Tria santai.
            Rani sangat terkejut. Tanpa terhenti, air matanya meleleh. Ia tidak menyangka mendengar nama itu dari mulut Tria.
            “Kenapa Ran?” tanya Tyo khawatir.
            Sejenak Rani terdiam. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dan tiba-tiba dia melihat sosok yang sangat dia rindukan. Sosok itu tersenyum padanya.
            Rani membasuh air matanya. Sekarang lah ia mengungkap kenyataan yang lama terkubur.
            “Thantra kakak kembar gue. Seseorang yang elo lupa.” jelas Rani.
            Tria memandang sahabatnya itu dengan tidak mengerti. Lupa? Apa yang ia lupa?
            “Elo punya kakak? Bukannya elo anak tunggal?” tanya Tyo heran. Karena sebelumnya ia tidak pernah mendengar tentang kakak Rani ataupun keberadaannya.
            “Ri, jujur kedatangan gue kesini, karena dia datang di mimpi gue. Dia......... kakak gue sekaligus orang yang dulu elo cinta.” jelas Rani.
            Tria semakin tidak mengerti. Begitupun dengan Tyo.
            Rani membuka mulut.
            Empat tahun lalu….
            Rani, Tria dan Thantra pergi kepuncak untuk merayakan kelulusan. Namun saat perjalanan pulang, tiba-tiba mag Thantra kambuh. Karena rasa sakit yang sangat hebat, Thantra kehilangan kendali mobilnya. Semua panic. Dan saat di tikungan, sebuah truk melintas. Thantra langsung membanting stir untuk menghindari truk. Namun mobil mereka malah manabrak mobil yang berjalan di belakang truk.
            “Primordia adalah nama panggilan buat elo. Dan orang yang ingin ia bahagiakan itu elo!” jelas Rani.
            Tria sungguh tidak mengerti.
            “Thantra adalah cinta pertama yang elo lupain.”
            “Apa-apaan sih lo Ran. Jangan bercanda deh..” elak Tria.
            “Dengerin Gue!! Waktu itu untuk merayakan kelulusan kita, elo, gue dan Thantra pergi kepuncak. Tapi ditengah jalan mobil kita kecelakaan dan Thantra..........”
            Air mata Rani meleleh lagi.
            “Dia berusaha melindungi kita dari maut.” tambahnya.
            Tria tersentak kaget. Ia tidak percaya semua itu. Tidak mungkin itu terjadi.
            “Sebelum meninggal Thantra bilang lebih baik dia yang celaka daripada kita. Lagipula dia bilang….”
            Rani terdiam sejenak. Dia teringat saat terakhir kali Thantra berbicara padanya.
            “Sebelum pengumuman, Thantra bertemu dokter. Dokter bilang, Thantra enggak kena mag. Tapi labih serius dari itu….”
            Rani kembali terdiam.
            “Thantra kena…. Kanker lambung”
            Tyo tertegun. Tria semakin tidak percaya. Rani hanya membual.
            “Elo bohongkan? Itu enggak bener!! ELO BOHONG!!!!!!” elak Tria
            “Gue enggak bohong. Waktu itu elo hilang ingatan Ri. Itu semua bener.”
            “Lalu menurut elo, siapa yang gue temuin selama ini?” tanya Tria.
            Seasana hening sejenak. Hingga akhirnya Tyo mengambil suara.
            “Dia Thantra yang hilang dari memori kamu Ri.” ucapnya.
            Tria berteriak histeris.
            Rani menarik tangan Tria. Ia membawa Tria kesuatu tempat dimana ia tidak dapat mengelak lagi. Mereka pergi kepamakaman.
            Rani menarik tangan Tria menelusuri pemakaman. Meraka berhenti di depan batu nisan yang bertuliskan nama “THANTRA ADIPURA”.
            Tria tersentak.
            “Itu makam Thantra, Ri.” ucap Rani.
            Tria terduduk lemas dihadapan nisan itu. Tidak hentinya air mata mengalir. Ia sungguh ingin menyangkal. Tetapi inilah kenyatannya.
            Didalam gundukan tanah itu. Orang yang paling ia kasihi terbaring. Seorang yang ia lupa bersama segala kenangan yang pernah terlewati.
            Segala bayangan semu Tria selama beberapa tahun ini mulai terungkap. Semuanya telah jelas. Ternyata semua itu memang benar. Ia hilang ingatan. Kedua orang tuanya terlalu takut mengatakan kepergian Thantra yang mengejutkan.
            Seterusnya, Tria selalu datang keatas bukit. Tapi, tidak sekalipun Thantra memperlihatkan wujudnya. Pemuda itu seperti menghilang dari peredaran. Tria berfikir mungkinThantra telah kembali ketempat seharusnya ia berada. Ketempat yang sangat jauh.
            Senja mulai datang. Tria masih tetap berdiri ditempatnya. Ia ingin berlama-lama ditempat itu.
            “Primordiaku!”                       
            Seru seseorang yang Tria kenal. Suara tanpa rupa.
            “Primordiaku!”
            Suara itu semakin terdengar jelas.
            Tria yakin suara itu adalah Thantra. Dia berusaha menyelidik di sekitarnta. Kosong.
            “Thantra.” panggilnya.
            Namun tiada sahutan.
            “Thantra kamu disini, kan?”
            Tria hampir putus asa. Tapi saat ia menoleh, ia mendapati sosok Thantra disana.
            “Aku senang kamu ingat tentang kisah kita dulu. Namun, sekarang semua itu percuma. Aku hanya serpihan ingatan di masa lalu kamu. Bukan aku cinta untuk kamu.” ucap Thantra.
            “Hanya kamu cintaku, Than. Sekarang maupun masa lalu.”
            Angin berhembus sepoi. Mentari telah kembali keperaduannya.
            “Mungkin itu benar. Namun, ada orang lain yang lebih pantas menjadi cinta kamu dimasa depan.”ucap Thantra.
            “Siapa?”
            “Larilah! Kejar dan jangan biarkan dia pergi. Ikuti kata hati kamu!”
            Tria gemetar, tubuh itu mulai menghilang.
            “Sayangi dia seperti kamu menyayangiku.”
            Tria berusaha meraih Thantra. Namun, tubuh itu telah menghilang bersama cahaya terang yang membawanya. Air matanya menetes. Sebuah daun muda tergenggam ditangannya.
            Thantra lenyap dengan sebuah senyuman bahagia.
            Tria menangis haru. Air matanya semakin banyak yang tumpah. Namun dia mulai berpikir.
            Mungkin Thantra benar. Ada cinta untuknya. Karena itu ia berlari. Ia tidak tahu kemana langkah kaki akan membawanya. Dijalan raya ia memanggil taxi. Dan tanpa sadar menyebut nama Bandara.
            Sekitar setengah jam, taxi itu berhenti didepan bandara.
            Tria berlari kedalam. Berbaur dengan banyak orang yang berlalulangan. Dia bingung akan apa yang ia cari. Untuk itu ia memejamkan mata.
            “JANGAN PERGI!!!!!!!!!!” teriaknya pada orang yang tidak ia tahu.
            Semua orangmenoleh kearah Tria.
            Saat membuka mata, ia melihat sosok Tyo dihadapannya. Ia memeluk tubuh itu dengan erat.
            “Entah kenapa, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, aku tidak ingin kamu pergi!” ucapnya.
            Tyo menyambut pelukan itu.
            “Thantra berkata, ada kebahagiaan lain dimasa depanku.”
            Lengan Tyo semakin erat memeluk Tria, seakan tak ingin melepas tubuh mungil itu. Sebuh tekat tumbuh dihatinya untuk selalu memlindungi sang Primordia.
            Sebuah daun muda terjatuh di hadapannya.
iii

=== TAMAT ===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar