Jumat, 08 Juli 2011

KU Berikan Cinta Pertamaku Padamu ##part II

Ku Berikan Cinta Pertamaku Padamu
##Part II


Rio membereskan barang-barang di kamar barunya. Tidak lama kemudian seorang pria berkacamata masuk.
Pria itu terlonjak kaget melihat Rio. "Ah! Bukankah kau laki-laki yang dilamar di podium?" tanyanya. "Aku teman sekamarmu, Gabriel Stevent."
Gabriel mengulurkan tangannya dan disambut dengan hangat oleh Rio.

Di lain sisi, Ify masuk ke kamar barunya.
"Permisi." kata Ify.
"Kau orang yang mengungkapkan cinta di podium." kata gadis teman sekamar Ify.
"Aku Alyssa Saufika. Biasa dipanggil Ify." ujar Ify memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya.
"Aku teman sekamarmu, Agni Tri Nubuwati." ujar Agni, menyambut uluran tangan Ify.

Seorang laki-laki duduk diam di depan asrama putri.
"Permisi." kata seorang murid perempuan. "Disini asrama putri."
Murid-murid perempuan keluar untuk melihat laki-laki itu. Laki-laki yang tertawa saat melihat Ify dan Rio bertengkar.
"Aku akan keluar, tapi jika aku bisa, aku ingin tinggal bersama kalian disini." kata laki-laki itu. Laki-laki itu berjalan mendekati gadis yang menegurnya. Ia melepas kacamata gadis itu. "Ah, sudah kusangka, kau memang manis. Halo semua! Aku murid baru. Namaku Alvin Jonathan."

Ify belajar memanah di klub memanah. Ia memanah dengan sangat canggih dan menjadi satu-satunya murid yang bisa memanah tepat di tengah target.
Rio dan Gabriel melihat dari jauh.
"Ify bisa melakukan segalanya, ya?" tanya Gabriel.
"Dia menunjukkan kemampuannya lebih dari sebelumnya." jawab Rio. "Dia pasti akan unggul dalam segala hal jika tidak perlu menjagaku."
Tidak sengaja Ify melihat Rio dan langsung melambaikan tangan senang. Sebagai akibatnya, ia kena marah ketua klub.
Rio menertawakannya.

Ify menempel terus pada Rio. Bahkan ketika Rio naik bus hendak check up, Ify membuntutinya. Ify  menggandeng tangan Rio dan menyandarkan kepala di bahunya.
"Aku hanya check up." kata Rio. "Kenapa kau ikut?"
"Karena kita bisa bersama lagi dan itu adalah anugerah." jawab Ify.
"Jangan dekat-dekat!" seru Rio, menarik tangannya dari pelukan Ify.
"Karena kita bisa bersama lagi dan itu adalah anugerah!" teriak Ify dan memeluk Rio lagi, hingga Rio terjatuh ke bangku bus.
Semua penumpang menoleh ke arah mereka.
"Hentikan!" teriak Rio kesal.
"Hussshh..." bisik Ify.
"Maafkan aku. Maafkan aku." ujar Rio pada para penumpang bus. Ia berpaling pada Mayu. "Sudah kubilang jangan dekat-dekat."
"Tidak apa-apa." kata Ify, tidak menggubris kata-kata Rio. "Tidak apa-apa. Tidak apa-apa."

Rio memeriksakan diri ke Dokter Tian. Dokter mengatakan kesehatan Rio baik-baik saja.
"Dokter, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Rio. "Sejauh mata batasan olahraga yang boleh kulakukan?"
"Apa maksudmu?"
"Karena aku tidak bisa lari, bolehkan aku melakukan olahraga yang tidak perlu lari?" tanya Rio.
"Olahraga tanpa lari?" gumam Dokter.
"Sebagai contoh, memanah." kata Rio.
"Memanah?" gumam Dokter.
"Dan bercinta?" tanya Rio lagi.
Dokter Tian mematahkan pulpennya dan hendak memukul Rio. Rio kaget.
"Kau akan melakukan olahraga itu dengan siapa?" tanya Dokter, mencoba menahan emosinya.
"Aku tidak akan melakukannya dengan Ify." kata Rio takut-takut. "Aku tidak akan melakukannya dengan putri Dokter. Karena aku belum pernah melakukannya, aku ingin tahu bagaimana melakukannya."
"Itu akan menghabiskan banyak tenaga." kata Dokter, duduk lagi ke kursinya. "Sebagai Dokter, aku tidak menyarankan hal itu."
Rio  tersenyum. "Begitu." ujar Rio seraya memutar-mutar kursinya.. "Untuk seseorang yang tidak bisa bercinta, menikah adalah hal yang mustahil juga. Gadis itu tidak akan mengerti hal ini."

Ify menggandeng dan memeluk tangan Rio erat. Ia juga menyandarkan kepalanya di bahu Rio.
"Aku tidak bisa berjalan begini!" seru Rio.
"Sekarang kau sedang jalan." kata Ify. "Kenapa kau malu?"
"Aku tidak malu!" kata Rio, mencoba melepaskan diri dari Ify.
Rio menekan tombol elevator.
"Rio?" sapa seorang gadis ragu.
"Kau Via , bukan?" tanya Rio. "Lama tidak bertemu."

Rio dan Via berbincang berdua di taman rumah sakit.
"Aku tidak percaya!" seru Via. "Rio si anak kecil sekarang sudah menjadi seorang pria tampan."
"Kita terakhir bertemu saat SD, bukan?" tanya Rio.
Sebuah bola menggelinding ke kaki Via. Via melemparkannya lagi pada seorang anak kecil.
"Kau masih bersama Ify." ujar Via, memandang Ify yang duduk sendirian dari jauh. "Dulu, para perawat menyebut kalian 'Pasangan Suami Istri kecil'."
Rio tertawa, melihat Ify.
Via bertanya pada Rio apakah Rio sudah mendaftar transplantasi organ.
Tentu saja Rio sudah mendaftar. "Karena hanya itulah cara untuk menyelamatkan kami."
Via dan Rio memiliki penyakit yang sama, yakni penyakit jantung. Via pergi ke rumah sakit itu untuk dirawat.

Mendadak Ify menjadi marah dan menjauh dari Rio. Di bus, ia tidak lagi lengket pada Rio.
"Kenapa kau marah?" tanya Ify.
"Tidak apa-apa." jawab Ify ngambek.
"Kalau masalah Via, kau sudah mengenalnya, bukan?" tanya Rio. "Dia biasa bermain bersama kita ketika masih kecil."
"Aku tidak ingat!" seru Ify, pindah ke kursi depan. "Kenapa laki-laki seperti ini? Ketika melihat gadis yang cantik sedikit saja, mereka akan pergi."
"Perempuan juga begitu!" balas Rio tidak mau kalah. "Ketika melihat pria tampan, mereka akan tersenyum dari telinga sampai telinga."

Ify mencari Rio di kelasnya, tapi teman-teman Rio mengatakan bahwa Rio pergi ke rumah sakit.
Ify kesal. "Aku tahu kenapa ia ke rumah sakit." ujarnya marah.

Rio menjenguk Ify di rumah sakit dan membawakanya bunga.

Ify  keluar dari kelas Rio dengan kesal dan langkah kasar. Ketika ia membuka pintu dan berjalan, tanpa sengaja ia menabrak seorang pria hingga terjatuh. Alvin.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Alvin, mengulurkan tangan untuk membantu Ify.
"Aku tidak apa-apa." jawab Ify, tidak menerima uluran tangan Alvin.
Alvin menatap tangannya sendiri. "Kau Alyssa Saufika, bukan?" tanyanya. "Aku adalah Alvin Jonathan, murid yang menempati posisi tertinggi kedua saat ujian masuk."
Lagi-lagi Alvin mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Ify, tapi Ify diam saja.
Para murid menonton mereka. Gadis-gadis menjerit histeris. Alvin adalah murid populer di sekolah.
Karena Ify diam saja, Alvin meraih tangan Ify. "Tuan Putri, ayo kita nikmati masa-masa sekolah."
Ify meronta, melepaskan tangannya dari Alvin. Tapi Alvin memegang tangannya dengan erat hingga Ify  tidak bisa berkutik.
"Lepaskan!" seru Ify marah, kemudian berlari pergi.
Alvin tersenyum.

Ketika Rio pulang dari rumah sakit malam harinya, ia melihat Alvin sedang menemui seorang wanita. Wanita itu memberi Alvin makanan.
"Aku akan datang lagi." kata wanita itu. Sepertinya ia adalah ibu Alvin.
"Jangan datang lagi." ujar Alvin dingin.
Wanita itu berjalan pergi.
"Kangan katakan pada siapapun apa yang baru saja kau lihat." kata Alvin pada Rio. "Jika seseorang tahu bahwa murid paling populer di sekolah ini berasal dari keluarga miskin, imageku akan rusak."
Rio diam.
"Kudengar jantungmu sakit." kata Alvin. "Sejak kapan itu terjadi?"
"Itu bukan urusanmu." jawab Rio dingin seraya berjalan pergi.
"Mario Stevano!" panggil Kou. "Ikutlah denganku."

Alvin mengajak Rio ke pinggir lapangan. Ia memberikan botol minuman pada Rio. Rio diam saja, tidak menerimanya.
"Minuman manis ini buruk untuk tubuhmu?" tanya Alvin. Melihat ekspresi bingung di wajah Rio, Alvin berkata, "Aku mengenal seseorang yang punya penyakit sama sepertimu, karena itulah aku tahu. Dibandingkan kau, mungkin aku lebih mengerti apa yang dirasakan... AlyssaSaufika."
Rio tidak mengatakan apapun.
"Orang itu mati." kata Alvin. "Sama sepertimu, ia menunggu donor jantung, tapi tidak ada yang mendonorkannya. Pada akhirnya, ia mati. Dia adalah ayahku. Aku sama sekali tidak tertarik pada orang yang sekarat. Aku hanya tertarik pada orang yang ditinggalkan. Ibuku. Ibuku masih saja menangis jika memikirkan ayah."
Rio mulai mengerti apa yang dimaksudkan Alvin.
"Sama seperti ibuku, Ify hanyalah manusia biasa." ujar Alvin. "Seorang gadis yang sudah jatuh cinta dan memiliki pacar di awal SMA. Dan pacarnya ini... memiliki penyakit yang sama dengan ayahku. Ketika mengetahui hal itu, aku berpikir.... jika kau mati, ia akan menangis selamanya. Untuk mencegah itu, aku akan membuatnya menjadi milikku sebelum kau mati."
Alvin berjalan mendekati Rio dan bicara dengan sangat dekat. "Kau... kenapa kau masuk SMA ini? Bukankah karena ingin putus dengannya? Kalau begitu, putus dengannya."

Ketika ify sedang berjalan bersama teman-temannya, Alvin datang mendekatinya.
"Tuan Putri!" panggil Alvin.
Ify menarik napas kesal.
Alvin mendekati dan berdiri di samping Ify. "Aku ingin kau berkencan denganku." katanya.
Ify  menoleh kaget. "Hah?"
"Atau dengan kata lain, aku ingin kau menjadi kekasihku." kata Alvin seraya merangkul pundak Ify.
"Sudah kubilang padamu bahwa aku sudah punya Rio!" seru Ify, menghempaskan tangan Alvin dari pundaknya.
"Aku akan menunggu jawabanmu dengan sabar." kata Alvin, tidak menggubris kata-kata Ify.

Saat para murid laki-laki berolahraga, seperti biasanya, Rio hanya duduk menonton di pinggir lapangan. Bukan hanya Rio yang menonton, para murid perempuan juga ikut menonton dan menjerit-jerit kecentilan melihat Alvin.
Alvin dan beberapa murid laki-laki lain melakukan balap lari. Alvin memimpin dan menang mutlak. Para gadis berteriak-teriak.
Rio  berdecak lidah dan berjalan pergi.

Seperti biasa, saat guru sedang mengajar, Ify malah menggambar karikatur guru itu. Ia tersenyum sendiri dan tanpa sengaja menoleh ke luar jendela. Disana, ia melihat Rio sedang berjalan seorang diri melewati taman.
"Guru!" seru Ify. "Bolehkah aku pergi ke toilet sebentar?"

"Mau kemana kau?" seru Ify, berlari mengejar Rio.
Rio menoleh. "Aku mau ke rumah sakit." jawabnya. "Hari ini bukan hari aku check up, jadi aku tidak mendapat izin pulang cepat."
"Kau ingin menjenguk orang itu lagi?" tanya Rio.
"Kau tidak mengerti bagaimana rasanya tinggal di rumah sakit sendirian." ujar Rio. "Daripada membuang-buang waktu untuk cemburu, bukankah lebih baik kau menjadi wanita yang lebih sensitif?" tanya Rio.
Rio mengambil meja dan melompati pagar sekolah. Ketika ia melompat, sebuah kertas tidak sengaja jatuh dari sakunya.
Ify  mengambilnya.

Di rumah sakit, Rio bingung mencari-cari kertas tersebut. "Ah, dimana aku menjatuhkannya?" gumamnya.
"Apa yang kau jatuhkan?" tanya Via.
"Sebuah jimat. Sebuah harapan." jawab Rio. "Aku menulisnya saat masih kecil. Karena aku selalu tidak mati saat membawanya, maka kertas itu menjadi jimat untukku. Mungkin aku menjatuhkannya saat melompati pagar. Tidak masalah jika Ify mengambilnya, tapi..."
Via tertawa. "Kau sangat beruntung karena memiliki seseorang yang manis disisimu." katanya. "Aku tidak memiliki siapapun. Aku malu mengatakan ini, tapi sampai saat ini aku belum pernah jatuh cinta. Dan aku akan menjalani transplantasi jantung. Jika aku memiliki bekas luka yang lebih besar dari yang kumiliki sekarang, mungkin aku tidak akan mampu memperlihatkan bekas menakutkan ini pada pria. Aku seperti biarawati."
"Itu tidak benar." kata Rio. "Walaupun begitu, tidak masalah. Kau seorang gadis yang sangat cantik."

Via diam sejenak. "Rio, maukah... kau menciumku?" tanyanya pelan.
Rio diam, menunduk.
"Aku tidak pernah jatuh cinta dan belum pernah dicium." kata Via sedih. "Aku... tidak ingin mati seperti ini. Rio, apa kau membenciku? Jika kau membenciku..."
"Bukan seperti itu." jawab Rio.
"Jadi kau menyukaiku?" tanya Via. Ia bangkit dari duduknya dan mendekati Rio. Via menunduk dan mengecup bibir Rio.
Rio hanya diam, tapi juga tidak membalas ciuman Via.
"Ini ciuman pertamaku." ujar Via tersenyum.

Rio duduk sendirian di Observatorium. Ify menyusulnya.
"Aku melihatmu datang ke sini." ujar Ify. "Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku datang kesini jika ingin sendirian." jawab Rio.
"Kau ingin menjadi astronot, bukan?"
"Kau tidak dengar, aku datang kemari jika ingin sendirian." ujar Rio mengulangi.
"Hmm." Hanya itulah yang diucapkan Ify, namun ia tetap tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Rio diam sejenak. "Maafkan aku." katanya. "Via dan aku... berciuman."
Ify terdiam.
Rio bangkit dari dudunya, mendekat pada Ify. "Dia bertanya apakah aku membencinya dan kujawab tidak. Dia beranggapan aku menyukainya, lalu..."
"Apa kau bodoh?!" seru Rio. "Dia menanyakan itu dengan tujuan tertentu, bukan? Hanya karena dia lebih cantik..."
"Itu tidak benar!" seru Rio.
"Lalu apa?!"
"Dia bilang, ia tidak ingin mati seperti ini." ujar Rio, menjelaskan. "Aku tidak bisa bersikap dingin pada orang yang belum menemukan jantung yang cocok."

"Itulah yang kubenci darimu!"
"Kalau begitu, kita putus." kata Rio. "Hari ini adalah pertama kalinya aku mengerti pikiranmu, Ify. Mendengar seseorang yang tidak tenang meminta ciuman, aku tidak bisa menolaknya. Aku ingat, akulah yang selalu mengatakan bahwa aku menyukaimu, Ify. Aku menyukaimu karena kau baik dan tidak pernah menolakku. Setiap kali aku berpikir mengenai semua yang telah kau lakukan untukku, aku merasa tidak bisa menolak Via."
Ify  menangis. "Rio, kau sama sekali tidak mengerti pikiranku." katanya. "Kenapa kau tidak bisa menolaknya? Jika seorang laki-laki menyukai seorang gadis, dan gadis lain bertanya apakah laki-laki itu membencinya atau tidak, jawabannya seharusnya iya."
Ify mengambil kertas Rio yang terjatuh dari saku dan melemparnya ke arah Rio. "Jika kau memang ingin putus, baik. Kita putus."

Keesokkan paginya, Rio berjalan ke gedung kelas sendirian. Dari jauh, ia melihat Ify, namun kemudian memalingkan wajah.
"Tuan Putri!" seru Alvin, berlari dan memeluk Ify dari belakang.
"Lepaskan aku!" seru Ify, mencoba melepaskan diri dari Alvin.

Rio pergi ke rumah sakit. Ia berjalan ke kamar Via, namun Via sudah tidak ada disana.
"Permisi." panggil Rio pada seorang perawat. "Dimana pasien yang ada dikamar ini? Sivia Azizah?"
"Dia sudah meninggal tadi malam." jawab perawat. "Penyakitnya mendadak memburuk. Tidak ada yang bisa kami lakukan."
Rio sangat terpukul mendengarnya. Ia pergi keluar karena jantungnya terasa sakit.
Rio terjatuh dan bertumpu pada pagar.

Ify berlatih memanah, tapi tidak satupun panahnya mengenai sasaran.
"Tuan Putri." panggil Alvin dari pintu. Ia melambaikan tangannya pada Ify. "Aku sudah mengatakan akan menunggu jawabanmu. Bukankah ini waktunya kau memberiku jawaban?"
Ify diam, tidak memedulikan Alvin.
"Tuan Putri, apa kau membenciku?" tanya Alvin.
"Bukan begitu."
"Kalau begitu, kau pasti menyukaiku!" seru Alvin bersemangat. Ia berjalan mendekati Ify. "Aku termasuk tipemu, bukan?"
"Aku... jauh lebih menyukai Rio dibanding kau." kata Ify. "Aku menyukainya lebih dari semua orang yang ada di dunia ini."
"Dia akan segera mati." kata Alvin. "Dia tidak punya banyak waktu."
Ify meledak marah dan menampar Alvin. "Jika kau mengatakan hal seperti itu lagi, aku akan membunuhmu! Rio tidak akan mati dan meninggalkanku sendiri! Jika kau bicara sembarangan mengenai nyawa Rio, aku tidak akan memaafkanmu!"
Ify beranjak pergi, namun Alvin berteriak. "Kau tidak mengerti apapun!" serunya. "Apa kau tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat penting untukmu? Jika ia mati dan meninggalkanmu... apa yang akan terjadi padamu?” Alvin berjalan perlahan dan memeluk Ify. "Aku tidak bisa melihat kau sedih!"
"Lepaskan aku!" teriak Ify.
"Tidak akan!"
"Lepaskan!" Ify  mendorong Alvin hingga jatuh terjerembab ke lantai.
Alvin tertawa, kemudian berjalan pergi.
Setelah rasa sakitnya berkurang, Rio duduk bersandar pada pagar dan menatap langit.

"Kita akan berlomba apa?" tanya Alvin, menepuk wajah Rio. "Lihat wajahmu yang pucat!"
"Lari 100 meter." jawab Rio.
"Itu sama halnya dengan menemanimu bunuh diri." jawab Alvin. "Aku tidak bisa melakukannya." Alvin berjalan pergi meninggalkan Rio.
"Jika aku kalah, Ify akan menjadi milikmu." seru Rio. "Jika aku menang, jangan ganggu dia lagi. Aku tidak mau melihatmu bicara dengannya. Aku tidak mau melihatmu berjalan di jalan yang sama dengannya. Jangan berani memandangnya jika kau bertemu dengannya di sekolah."
Alvin berbalik, menatap Rio dan menimbang sejenak.

Part II.........End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar