Jumat, 13 Januari 2012

The Truth About Forever (versi ICIL) Cap. 13 : From Now On, What Will Happen To Us?

The Trith About Forever
(Dendam Membuatmu Kesepian)



Chapter #13
FROM NOW ON, WHAT WILL HAPPEN TO US?

Hallo.... aqiu datang lg.... ada yg 5u bc lnjtan crng nie?

____

Rio menatap awan putih yang berarak lambat di langit yang biru. Semalaman Rio berpikir akan melakukan apa. Dia sangat ingin pulang untuk menemui orangtuanya, tetapi dia juga tidak ingin meninggalkan Ify.

"Oi," kata Ify sambil menepuk bahu Rio. Rio menoleh dan mendapati Ify yang sedang nyengir sambil membawa dua gelas cokelat hangat. Ify menyodorkan salah satunya pada Rio. "Lagi mikirin apa, sih? Serius amat."

Rio menatap heran Ify yang menghirup cokelatnya. Ify bersikap biasa-biasa saja—seolah tidak terjadi apa-apa kemarin—padahal dia sudah tahu tentang ayah Rio yang sudah kembali. Mendadak Ify menoleh.

"Kenapa? Kok, nggak diminum?" tanya Ify lagi membuat Rio tersadar dan meminum cokelatnya yang kemanisan, tanpa berkata apa pun.

Ify meregangkan kedua tangannya sampai isi gelasnya mau tumpah. Dia melakukan senam-senam kecil dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membuat Rio tersenyum karena teringat pada pertemuan mereka yang pertama. Saat itu, Ify juga melakukan senam seperti ini.

"Huaah... udah lama nggak senam," kata Ify ringan sambil menghirup udara pagi. Ify tiba-tiba terdiam sambil menatap awan. "Dari sini... kira-kira apa yang bakal terjadi sama kita, ya?"

"Ify," panggil Rio membuat gadis itu menoleh. "Kalo lo minta gue tinggal, gue bakal tetep tinggal. Gue nggak bakal balik ke Manado, kalo lo mau."

"Hah? Kamu gila, ya? Nggak mungkin!" seru Ify kaget. "Kamu harus pulang! Ayah dan ibu kamu udah nunggu kepulangan kamu!"

Rio terdiam sambil menatap cokelatnya yang tinggal setengah gelas. Ify menghela napas.

"Yo, kamu harus tau. Kalo kamu bahagia, aku juga ikutan bahagia. Kamu harus pulang, dan kamu harus ngelanjutin cita-cita kamu," kata Ify lagi, mata nya menerawang ke langit biru yang cerah.

"Terus, lo gimana?" tanya Rio.

"Aku? Aku juga akan berusaha di sini. Aku bakal lulus kuliah dan berhasil jadi penulis best-seller," kata Ify mantap. Ify beralih menatap Rio. "Kita pasti bisa, Yo. Ayo kita sama-sama berusaha."

Rio menghela napas. Sangat berat rasanya membicarakan ini dengan Ify. Rio sebenarnya ingin mengajak Ify bersamanya, tetapi Ify memiliki cita-citanya sendiri, dan Rio tidak bisa menghentikannya. Rio juga harus
mendukungnya seperti Ify mendukungnya.

"Ify," kata Rio membuat Ify menoleh. "Soal janji lo itu... lupain aja. Lo jangan khawatir lagi soal gue. Kalo nanti lo menemukan orang yang lebih baik..."

Rio langsung berhenti bicara saat melihat ekspresi Ify. Ify seperti sudah siap untuk menamparnya atau bahkan melakukan sesuatu yang lebih sadis dari sekedar tamparan.

"Sori," kata Rio cepat-cepat, sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Dia menatap Ify  dalam-dalam.
"Gue pasti balik ke sini."

Ify menatap Rio, lalu mengangguk. "Aku tunggu," ujar Ify sambil tersenyum manis.

Rio ikut tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Ify. Ri segera meminum habis cokelat dari gelasnya, dia menatap pemandangan berupa atap-atap rumah di depannya. Dia pasti akan sangat kehilangan tempat ini.

Rio sudah memutuskan untuk pulang ke Manado besok. Sekarang, dia sedang membereskan barang-barangnya. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sebuah benda di dalam ranselnya. Rio mengambilnya. Sebuah belati yang
dibelinya di sebuah pasar malam saat dia sedang emosi.

Rio menarik napas, memasukkan belati itu kembali ke dalam ranselnya. Seberapa besar pun dendam yang disimpannya dia harus bisa menahannya karena sekarang sudah banyak orang yang peduli padanya. Rio tidak ingin menghabiskan sisa-sisa hidupnya di penjara.

Setelah selesai mengepak barang, Rio bermaksud untuk pergi ke kost Alvin karena Rio belum sempat bercerita padanya. Rio keluar dari kamar dan mendapati Ify sedang lewat dengan membawa baju yang baru diangkat dari jemuran.

"Eh? Mau ke mana?" tanya Ify dari balik tumpukan baju yang dibawanya.

"Ke kost Alvin," jawab Rio. Tahu-tahu sebuah bra jatuh dari tumpukan itu, Ify tampak tak sadar. Rio tersenyum simpul, lalu mengambilnya dan menyangkutkannya ke kepala Ify. Ify melongo sementara Rio buru-buru kabur.

"Heeehh! Dasar cabuuull!" seru Ify, tetapi Rio sudah keluar dari kost.

Ify menghela napas, lalu nyengir sendiri. Untuk kali ini tidak apa-apa.

***

Rio berjalan ke kost Alvin sambil mendengarkan musik dari headphone besarnya. Hari ini, tampaknya hujan mau turun, dilihat dari sekumpulan awan hitam yang ada di langit kota Bandung. Rio mempercepat langkahnya ke kost Alvin. Di tengah jalan, mendadak musik di telinganya terhenti.

Rio berhenti berjalan, lalu mengecek iPod-nya. Ternyata, semalam dia tidak mengisi baterainya. Rio menghela napas, melepaskan headphone dari telinganya dan membiarkannya terpasang di leher.

Saat Rio mau kembali berjalan, dua orang pria lewat sambil mengobrol.

"Gue kemaren maen ke kost-nya," kata pria yang memakai kaus merah. "Gila, dia tajir mampus! Punya segala macem peralatan elektronik!"

"Lhah, bukannya emang bokapnya si Gabriel itu pengusaha kaya di Manado, ya?" sahut temannya, membuat langkah Rio tiba-tiba terhenti.

Rio berbalik dan menatap kedua pria itu. Rio merasakan tangan dan kakinya dingin. Rio tahu itu mungkin saja bukan Gabriel yang dicarinya, tetapi tetap saja Rio merasakan sebuah firasat.

Rio segera berlari menuju kedua pria tadi dan menghadangnya. Kedua pria itu menatap Rio heran.

"Eh, tunggu. Tadi kalian ngomongin Gabriel?" tanya Rio membuat kedua pria tadi mengangguk. "Gabriel ini... anak Manado?"

"Iya. Lo siapa, ya?" tanya pria yang berbaju merah, tapi Rio tak mendengarkannya.

"Gabriel Stevent... anak SMA 05 Manado? Angkatan 2004?" tanya Ri lagi, jantungnya berdetak tak berarturan.

Kedua pria tadi saling berpandangan, lalu sama-sama mengangguk. Rio segera bergerak buas ke arah pria yang
berbaju merah dan mencengkeram kerah bajunya.

"Eh, lo kenapa, Man?" seru pria itu, terkejut.

"Di mana kost-nya?" seru Rio kalap. "DI MANA KOST-NYA?"

Teman pria itu segera maju, berusaha melerai, tetapi kekuatan Rio melebihi mereka berdua.

"Apa urusan lo, sih?" sahut pria itu, membuat Rio memperkuat cengkeramannya.

"Lo nggak perlu tau apa urusan gue! Sekarang, kasih tau gue di mana kost-nya?" sahut Rio lagi.

"Di daerah Bandung Raya!" seru pria itu membuat Rio mengumpat. Dia sama sekali tidak tahu daerah itu.

"Kampusnya?" seru Rio lagi sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu. "Kampusnya di mana?"

"ITB!" seru pria itu. "ITB Jurusan Teknik Kimia!"

Rio segera melepaskan cengkeramannya pada pria itu yang segera terbanting ke tanah. Temannya segera menghampirinya.

"Lo kenepa, sih? Gila, ya?" sahut temannya pada Rio, tetapi Rio tak peduli.

Tangan Rio sudah terkepal keras di samping pahanya. Ternyata, Rio memang tidak bisa melepaskan Gabriel.

Rio segera berlari. Kepalanya sudah panas dan dia benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih lagi.

Ify sedang menyapu lantai gang depan kamarnya ketika Rio muncul dari tangga dan berlari kalap menuju kamarnya.

"Yo? Kenapa?" tanya Rukia, tetapi Rio tidak menjawab. Rio buru-buru membuka pintunya, lalu masuk. Ify segera mengintip dari luar.

Rio tampak sedang mengobrak-abrik ransel yang telah dipaknya dengan kalap. Ify menatapnya takut-takut.

"Rio?" tanya Ify lagi dan Rio telah mendapatkan apa yang dicarinya. Belati tajam yang dibungkus sarung kulit hitam.
Ify mengenali barang itu, lalu terpekik. "Yo! Kamu mau apa dengan itu?"

Rio tidak mendengarkan. Dia menyelipkan belati itu ke pinggangnya, lalu berdiri, bermaksud untuk pergi lagi. Ify segera menghadangnya di pintu dan menatapnya khawatir.

"Rio! Kamu udah janji, kan? Kamu mau pulang, kan? Yo!" seru Rukia, tapi Rio hanya menatapnya tanpa menjawab.
"Rio! Jangan lakukan ini, Yo, aku mohon..."

Rio menatap Ify sebentar , lalu segera berderap pergi. Ify merasa seluruh tubuhnya lemas. Rio pasti sudah menemukan Gabriel, dan sekarang dia bermaksud untuk membunuhnya.

Ify  merasa tak berdaya. Sekarang, Ify hanya bisa berdoa semoga Rio mengingat janjinya.

Rio turun dari bus dan menatap bangunan besar di depannya. Institut Teknik Bandung. Universitas elit tempat Gabriel berkuliah. Rio segera melangkahkan kakinya ke dalam. Dia harus bisa menemukan Gabriel.

Rio tidak tahu apa yang akan dia perbuat dengan Gabriel nanti, tetapi ada satu hal yang harus ditanyakannya. Rio tidak akan melepaskan Gabriel sebelum mendapatkan jawabannya.

Rio bertanya pada beberapa orang di mana kampus teknik kimia berada, dan sekarang dia sudah ada tepat di depannya. Rio menatap kampus itu. Ternyata selama ini Gabriel ada di sini. Sebuah keberuntungan Rio bertemu dengan orang-orang tadi.

Rio menunggu beberapa jam sampai dia menemukan sesosok pria berambut hitam panjang yang sedang sibuk dengan ponselnya. Rio merasa semua darahnya naik ke kepala saat melihat sosok itu. Sosok yang terlihat sehat dan baik-baik saja. Sosok yang sudah menghancurkan seluruh kehidupannya.

Rio mendekati Gabriel dan berhenti tepat di depannya. Gabriel yang masih sibuk dengan ponselnya tidak sadar dan menabraknya.

"Ah, sori," kata Gabriel sekenanya—tanpa melihat sosok yang sudah ditabraknya—sambil terus berjalan.

"Lo keliatannya sehat-sehat aja," ujar Rio membuat langkah Gabriel terhenti seketika. Kusaka berbalik pelan-pelan, dan melongo menatap Rio.

"Ri... o?" kata Gabriel, tak percaya.

"Yah, Rio. Mario Stevano," kata Rio dingin. "Kaget?"

Gabriel masih menatap Rio tak percaya. "Lo... ngapai di sini?"

"Nyari lo," jawab Rio membuat Gabriel mengangguk-angguk walaupun masih bingung.

"Udah lama banget, ya?" kata Gabriel kemudian, agak terasa canggung. "Apa kabar lo, Yo?"

Rio terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Gabriel yang tampak tenang-tenang saja seperti ini semakin membuatnya emosi. Gabriel memang tidak tahu apa-apa tentang penyakitnya, karena sebelum dia sempat tahu, dia sudah keburu pindah sekolah.

"Kabar gue?" kata Rio. "Nggak pernah sebahagia ini bisa ketemu lo."

Gabriel mengangguk sambil tersenyum kaku. Sudah begitu lama semenjak mereka berpisah. Gabriel benar-benar kaget bisa melihat Rio di sini.

"Bisa kita ngomong sebentar?" tanya Rio.

"Oh, oke," jawab Gabriel. "Di belakang kampus aja."

Gabriel kemudian berjalan duluan, sementara Rio mengikutiya dari belakang. Rio sebisa mungkin menahan emosinya. Mereka kemudian sampai di belakang kampus yang sepi.

"Rio, dulu gue..."

Rio sudah keburu meninju pelipis Gabriel sebelum Gabriel sempat meneruskan kata-katanya. Gabriel sekarang sudah terkapar di tanah. Rio menatap Gabriel bengis.

"Bangun, lo," kata Rio sambil menarik kemeja Gabriel dan memaksanya bangun. Rio menatap Gabriel dari atas sampai ke bawah. "Wah, wah... kayaknya lo baik-baik aja, ya?"

"Rio, gue..."

Rio meninju perut Gabriel sehingga Gabriel tersungkur ke tanah. Gabriel terbatuk kesakitan.

"Gue pikir lo bakalan kurus kering, menyedihkan, dan nggak ada bentuk karena segala jenis narkoba yang lo pakai, tapi ternyata lo sehat-sehat aja," kata Rio sinis.

"Gue... udah berhenti, Yo," ujar Gabriel sambil terbatuk. "Lima tahun yang lalu, gue dipindahin sekolah sama bokap gue, dan semenjak itu gue nggak pernah pakai lagi."

Rio terdiam sambil menatap orang yang pernah menjadi orang yang penting dalam hidupnya itu.

"Yel... Lo nggak pernah berusaha nyari gue? Lo nggak mau tau keadaan gue?" tanya Rio lagi membuat Gabriel menatapnya.

"Gue... terlalu malu untuk nelepon lo, Yo. Gue takut lo marah," kata Gabriel membuat Rio tertawa keras.

"Marah, ya... Apa menurut lo gue nggak punya hak buat marah? Lo udah ngehancurin hidup gue!" sahut Rio sengit.

"Sori, Yo," ujar Gabriel, tetapi Rio tidak mau mendengar. Dia kemudian mengeluarkan belatinya, membuat mata merah Gabriel melebar. "Yo, lo mau apa?"

"Ngeliat lo sehat, seneng, punya kehidupan yang baik... gue tambah muak," kata Rio sambil berjalan mendekati Gabriel. Gabriel mulai mundur teratur, matanya yang berwarna merah darah menatap ngeri belati yang ada di tangan
Rio. "Menurut lo, gue mau apa?" tanya Rio balik.

"Yo, gue minta maaf," kata Gabriel takut. "Apa lo segitu dendamnya sama gue?"

Rio tertawa lagi, lalu menatap Gabriel tajam. "Apa gue segitu dendam? Menurut lo?" katanya sambil membuka sarung belatinya. "Kenapa Gabriel? Kenapa lo ngelakuin ini sama gue?"

"Yo, dulu... gue iri sama lo, karena lo punya semua yang gue nggak punya. Lo punya keluarga yang hangat, lo punya cita-cita, dan lo punya Shilla," ujar Gabriel gugup. "Waktu itu... gue cuma khilaf, Yo! Lo nggak kecanduan,
kan? Kalo cuma sekali pasti nggak kecanduan!"

Rio menatap Gabriel bengis. Jadi, itu jawabannya. Gabriel iri padanya, karena itu dia menyuntiknya. Dan, hanya karena masalah keirian bodoh itu, Rio mendapatkan semua kesialan ini.

"Oh, yah, gue emang nggak kecanduan, tapi jauh lebih buruk dari itu," kata Rio membuat Gabriel bingung. "Hidup gue hancur lebur, Gabriel. Semua yang lo bilang gue punya itu hilang gara-gara lo."

Gabriel bergerak mundur sampai punggungnya membentur dinding karena Rio terus mendekatinya dengan belati tajam di tangannya.

"Jangan lakukan ini, Yo. Gue tau lo nggak mau ngebunuh gue," kata Gabriel takut.

"Oh, ya? Kenapa gue nggak mau ngebunuh lo? Lo yang udah bikin gue hancur," kata Rio sambil terus mendekati Gabriel. "Lima tahun gue nyari lo, dan sekarang lo udah ada di depan mata gue, kenapa gue nggak mau ngebunuh
lo? Biar gue nggak mati sendirian."

"Maksud lo apa, Rio?" tanya Gabriel heran.

"Lo bener-bener mau tau, Yel?" tanya Rio. "Lo bener-bener mau tau? Yah, karena ini udah menjelang akhir hidup lo, gue bakal kasih tau supaya lo nggak mati penasaran. Karena lo udah nyuntik gue pakai jarum suntik sialan itu,
gue kena HIV. Puas lo?"

Mata Gabriel—untuk kesekian kalinya—membesar setelah mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Rio.

"Karena gue kena HIV, gue bakal ke AIDS. Dan, karena gue bakal kena AIDS, semua kebahagiaan yang lo bilang tadi lenyap. Nyokap gue, bokap gue, Shilla, semua pergi. Cita-cita? Musnah. Selama lima tahun gue hidup dalam pengasingan, sementara lo senang-senang. Jadi, apa yang..."

Rio berhenti bicara, karena Gabriel tiba-tiba merosot hingga terduduk di tanah. Wajahnya tampak pucat.

"Kenapa lo? Ngerasa bersalah?" tanya Rio sinis. "Yah, emang udah semestinya. Jadi, lo nggak marah, kan, kalo gue..."

"Yo... Lo... serius?" tanya Gabriel, tampak kacau.

"Apa yang bikin lo berpikir kalo gue bercanda?" seru Rio emosi.

Gabriel menjambak rambut hitamnya, tampak tidak percaya. Rio hanya menatapnya. Gabriel pasti merasa bersalah karena selama ini tidak tahu. Mendadak hujan turun rintik, tetapi Rio tidak peduli. Sudah sangat terlambat bagi Gabriel untuk menyesal.

"Nah, gue nggak mau berlama-lama lagi. Gue harus menyelesaikan ini," kata Rio. " Gue jijik liat lo bahagia, jadi lo harus..."

"Yo," kata Gabriel gugup sambil menatap Rio. Di antara rintik hujan yang membasahi wajah Gabriel, Rio bisa melihat dengan jelas air mata yang mengalir di wajahnya. "Suntikan itu... punya gue."

Petir menggelegar tepat setelah kalimat tadi meluncur keluar dari mulut Gabriel. Rio rasanya salah mendengar.

"Apa?" kata Rio, sementara Gabriel sudah kembali menjambak-jambak rambut hitamnya lagi.

"Suntikan itu punya gue," ulang Gabriel miris. "Sebelum gue suntik lo... gue pakai dulu suntikan itu."

Mendadak tubuh Rio terasa aku. Rio menatap nanar sosok di depannya. Rio tak bisa memercayai pendengarannya,
tapi seluruh tubuh Gabriel sudah gemetar. Bukan karena dinginnya hujan, melainkan karena baru menyadari sesuatu yang mengerikan telah terjadi pada dirinya.

Rio mendengus geli. Lalu dia terbahak untuk menyembunyikan air mata yang keluar tanpa bisa ditahan.

"AAARRGGHHH!" sahut Rio emosi sambil menendang batu yang ada di sebelahnya, lalu bergerak buas ke arah Gabriel yang tampak sudah pasrah. "Kenapa Yel? Kenapa?"

Gabriel tampak seperti sudah tidak bernyawa, masih syok dengan kenyataan yang baru diterimanya. Rio meninju tembok di sebelahnya dengan sekuat tenaga.

Rio benar-benar tidak pernah menyangka kalau persahabatannya dengan Gabriel akan berakhir dengan cara seperti ini.


***


Ify duduk di depan kamar Rio sambil terus berdoa. Ify memeluk lututnya karena merasa hawa di sekitarnya semakin dingin. Ify benar-benar khawatir pada Rio yang sampai saat ini belum juga pulang.

Mungkinkah Rio benar-benar membunuh Gabriel?

Ify segera menggeleng, tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Namun, bila mengingat Rio yang tadi seperti hilang kendali begitu, Ify tidak tahu.

Mendadak, Rio muncul dari tangga, membuat Ify segera berdiri. Rio berjalan terseok-seok, tampak basah kuyup. Ify segera menghampirinya.

"Rio? Yo, kamu nggak..." Ify tidak meneruskan perkataannya, karena belati yang dipegang Rio terjatuh. Rio juga ikut terjatuh. Ify cepat-cepat menangkapnya.

Ify melirik takut belati yang ada di sebelahnya, takut melihat darah, tetapi belati itu bersih. Ify melirik Rio yang tampak pucat.

"Yo..."

"Fy, gue tadi ketemu Gabriel," kata Rio dengan pandangan kosong.

"Terus... kamu nggak..." Ify tidak bisa meneruskan pertanyaannya, terlalu takut kalau-kalau hal itu benar-benar terjadi. Rio tiba-tiba mendengus, dan air mata mengalir dari mata indahnya. Ify menatapnya khawatir. "Rio...?"

"Suntikan itu... punya dia, Fy," ujar Rio miris, membuat Ify berpikir. Detik berikutnya, Ify membekap mulutnya sendiri,
tak percaya.

"Itu berarti... dia...?" kata Ify takut. Rio mengangguk pelan.

"Dia yang nularin virus ini," kata Rio membuat Ify menahan napas. "Dia mengidap penyakit yang sama, dan dia baru
sadar tadi—setelah gue bilang kalo gue kena HIV."

"Ya ampun," gumam Ify. Air mata Rio masih mengalir.

"Selama perjalanan ke sini gue berpikir. Apa salah kami? Kenapa kami harus mengalami semua ini? Kenapa?" kata Rio lirih. "Memang bener gue pengen ngebunuh dia, tapi gue sama sekali nggak pernah sedikit pun berharap dia punya penyakit yang sama kayak gue. Kenapa kami bisa jadi kayak sekarang ini? Kenapa?"
Ify mengusap lembut pipi Rio untuk menghapus air matanya.

"Dulu gue begitu deket sama dia, Fy. Kami tertawa bersama, menangis bersama, semuanya akan gue lakukan untuk dia. Dia udah kayak kakak gue sendiri. Tapi, kenapa?" kata Rio lagi. "Cuma karena satu kesalahan kecil, hidup kami langsung hancur. Kenapa dia harus berurusan sama narkoba sialan itu?"

Ify ikut menangis melihat Rio yang terlihat begitu menderita. Ify tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan sahabat, tetapi rasanya Ify bisa ikut merasakan kepedihan hati Rio.

"Tapi, setelah gue pikir-pikir lagi, Ify, mungkin ini kesalahan gue. Mungkin gue nggak pernah jadi sahabat yang baik buat dia. Gue tau dia selalu kesepian karena di rumahnya semua orang sibuk, tapi gue nggak peduliin dia. Semenjak gue kenal film, gue sering nolak ajakan maen dia. Gue jadi jarang ada buat dia," kata Rio sambil menjambak rambutnya. " Mungkin ini salah gue juga dia jadi bergaul dengan orang-orang nggak jelas."

"Yo, jangan menyalahkan diri kamu sendiri," kata Ify sambil menahan tangan Rio yang mau menjambak rambut lagi.
"Kalau pun ada kesalahan kamu, semuanya udah terjadi, Yo. Sekarang, yang kamu bisa lakukan adalah meneruskan hidup kamu, dan berharap Gabriel juga melakukan hal yang sama."
Rio menatap Ify dalam-dalam.

"Ify, menurut lo gue ini jahat? Gue menimpakan semua kesalahan sama Gabriel tanpa berpikir kesalahan gue, apa menurut lo gue jahat?" tanya Rio membuat Ify terdiam. Ify menggeleng.

"Yo, semua orang pernah berbuat kesalahan. Kamu seharusnya bersyukur karena kamu nggak mengulangi kesalahan itu," jawab Ify sambil menatap belati yang tergeletak. "Walaupun berat, kamu dan Gabriel sudah sama-sama menerima akibat dari kesalahan itu. Yo, kamu mungkin sedikit lebih beruntung dari Gabriel. Kamu punya keluarga, punya teman seperti Alvin dan Shilla, dan kamu juga punya aku. Kita semua pasti bisa melalui ini, Rio."

Rio menatap Ify, dan mulai menangis lagi. Ify merengkuhnya tanpa memedulikan bajunya yang sudah ikut basah. Ify membiarkan Rio menangis di pelukannya untuk beberapa saat.

Tangan Ify terkepal keras. Karena benda haram seperti narkoba, hidup dua orang anak manusia sudah hancur. Mengapa benda-benda seperti itu harus ada di dunia? Mengapa orang-orang tidak bisa lebih menyayangi diri mereka sendiri sehingga tidak ada orang yang putus asa dan terjerumus ke dalam dunia narkoba?

Begitu banyak pertanyaan yang ada di dalam benak Ify, tetapi Ify sendiri tidak tahu siapa yang bisa menjawabnya.



TBC or end?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar