Kamis, 12 Januari 2012

Seperti Akhir Yang Ku Ingin (Sekruel Ketika Akhir Itu Menghampiri) cerpen Copas


Seperti Akhir Yang Kau Ingin_ sekuel_ ketika Akhir Itu Menghampiri (Cerpen)

aduuhh bingung mau pembukaan kaya gimana.. tapi mudah-mudahan suka deh sama cerpen yang agak-agak kurang nyambung ini...


cekidot...

***


"Via! Bukumu ketinggalan."

Teriakan itu sama sekali tidak ia dengarkan dengan baik. Ia sudai jauh pergi dari tempatnya berpijak.

Dan anak laki-laki itu hanya menghela nafas kecewa.

***

Gadis itu memperhatikan keadaan di dalam ruangan putih pucat itu. Hatinya benar-benar diselimuti ketakutakan yang maha dan maha tinggi, saat untuk yang pertama kalinya melihat orang yang dicintainya berjuang melawan kemungkinan yang tak bisa ia prediksi. Takdir Tuhan tidak bisa ditebak.

Berkali-kali orang yang menggunakan seragam putih berkacamata itu menempelkan alat pemacu detak jantung di dada anak laki-laki yang tengah terbaring di hadapannya. Namun beberapa kali alat itu tertempel, garis lurus di layar monitor tetap enggan berubah menjadi garis zigzag. Meski sedikit. Sedikit saja!

Gadis itu berlari meninggalkan tempatnya menuju satu titik dimana orang yang dikasihinya menghilang meninggalkannya. "Aku mohon kembali Alvin!" teriaknya sesaat tubuhnya terasa ringan dan sungguh-sungguh ringan. Ia melayang menuju satu kehampaan yang terlalu dalam dan berpijak di satu tempat yang benar-benar asing.

Putih..putih..putih..

Itulah yang tergambar jelas di pelupuk matanya. Semuanya terlalu menyilaukan untuk melihat siapa yang kini berdiri jauh di depannya.

Ia mengerjap beberapa kali dan sejurus kemudian sudut-sudut bibirnya tertarik ke samping saat dengan jelas wajah itu menghiasi bola mata beningnya.

"Aku mohon kembalilah! Izinkan aku membahagiakanmu dulu! Biarkan aku merasakan kehangatan di sampingmu!" pinta gadis itu sambil berjalan mendekati tubuh yang berdiri tegak di hadapannya itu. "Alvin! Kembali denganku! Atau jika tidak, ajak aku bersamamu!"

Seseorang yang dipanggil Alvin itu memandang gadis di hadapannya dengan tatapan menghangatkan. Lalu ia meraba wajah gadis itu. Merasakan tiap ketulusan dalam jiwanya melalui kulit putih lembut itu. Membuat gadis itu dengan langsung bisa merasakan betapa dinginnya sentuhan tangannya.

Alvin tersenyum. Senyuman khas seperti biasanya. "Via!" panggilnya pelan. Menyebut nama gadis itu.

***

“Via! Sadar Via!”

Sesaat Via membuka matanya saat merasakan sebuah tangan menepuk-nepuk pipinya pelan. “Haahh akau kenapa?” desahnya mengangkat tubuhnya yang begitu lelah.

“Alvin ingin bertemu denganmu Via!”

Via memandang orang yang kini ada di hadapannya dengan seksama. “Agni..” panggilnya begitu sadar orang itu adalah temannya, agni.

Agni  tersenyum. “Lama sekali kamu pingsan. Alvin tak sabar ingin bertemu denganmu.” Ujarnya membantu Via berdiri dan berjalan menuju ruangan sebelah.

Via menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur Alvin. Sesaat ia memandang Alvin yang juga memandangnya. Lalu dengan cepat ia menunduk begitu menyembunyikan wajahnya yang sungguh berantakan.

“Maafkan Aku Via!” kata Alvin pelan, nyaris tidak terdengar.

Via diam saja.

Alvin yang tahu Via tidak akan merespon maafnya hanya tersenyum.

“Jangan tinggalkan aku!” Pinta Via disela suara seraknya masih dengan kepala menunduk.

Alvin mendesah cukup keras membuat Via mengangkat kepalanya dan menatap Alvin cemas. “Kenapa? Ada yang sakit?”

Alvin menggeleng. “Bantu aku duduk Vi!”

“Apa tida Apa-apa?” Tanya Via ragu.

Alvin tak menjawab pertanyaan Via dan mencoba bangun sendiri.membuat Via secara repleks membantu Alvin.

“Terimakasih.” Sekilas pandangan mereka beradu membuat Via gugup dan menundukan kepala kembali.

“Apa selama aku koma ada sesuatu yang terjadi, sehingga kau kembali kehilangan senyummu?” Tanya Alvin saat sadar sejak tadi Via lebih sering menunduk.

Via mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. Meski terkesan dipaksakan tapi cukup membuat Alvin bahagia melihat senyuman itu.

***

"Aku merindukan tempat ini!" Via berputar-putar di tengah padang ilalang. Tentunya dengan Alvin yang masih setia di sampingnya. "Tempat terindah yang pertama kali kau tunjukan kepadaku." ia menyentuh ujung-ujung ilalang itu dengan telapak tangannya.

Alvin hempaskan tubuhnya di antara para ilalang itu. Menghirup perlahan-lahan oksigen alami yang selama beberapa minggu ia lewatkan.

"Al! Kau tahu? Ternyata sad ending tidak lebih baik ya?" ujar Via mengamati keadaan di sekitarnya yang tidak pernah berubah. Hanya saja ilalang-ilalang itu sudah berdiri tegak lebih tinggi.

Alvin diam saja. Ia pejamkan matanya, merasakan angin lembut yang hilir mudik menyentuh wajahnya.

Merasa ucapannya tidak direspon, dengan segera Via memandang Alvin yang masih berbaring beralaskan ilalang. Matanya masih terpejam. Membuat Via dengan cepat duduk di samping Alvin. "Hei! Open you eyes!" perintahnya. "Aku tak suka melihatmu menutup mata." Sambungnya lagi, kali ini sambil mengamati wajah Alvin.

Alvin membuka mata. Lalu tersenyum tipis begitu wajah Via memenuhi bola matanya. "Pejamkan matamu! Maka disanalah kan kau temukan satu ketenangan." Alvin mengangkat tubuhnya dan duduk di sampin Via.

Keadaan sunyi. Tak ada kalimat yang terucap. Via masih asyik dengan ilalang-ilalangnya. Sementara Alvin lebih fokus pada seluruh objek yang ada di sekitarnya.

"Al..." panggil Via pelan. Mencairkan kerak-kerak es keheningan yang baru saja menyergap suasana di sekitar mereka.

Alvin menoleh. "Ya?"

"Kamu tidak akan meninggalkanku kan? Kamu akan tetap bersamaku di dunia ini kan?" tanya Via sontak membuat Alvin tersenyum heran.

"Pertanyaanmu aneh Vi!"

"Aku takut kau pergi."

"Takut ataupun tidak, pada saatnya nanti aku atau kamu maupun siapapun akan pergikan?"

Via diam sejenak. Sesungguhnya, bukan itu yang ia maksud. Kenapa Alvin tak juga mengerti? Atau ia hanya pura-pura tidak mengerti? "Al..!" panggil Via lagi. "Kenapa kau tidak melakukan kemo saja?"

"Stadiumku sudah terlalu parah untuk dikemo. Orang bilang, aku itu seperti mukjizat yang mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama dari penyakit parah yang aku derita, tanpa pengobatan yang serius. Jadi, apa tidak sebaiknya aku lebih cepat pergi?"

"Kau tidak boleh menyerah! Keajaiban bisa datang kepada siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun." Komentar Via yang kali ini sudah memfokuskan tatapannya pada Alvin yang juga menatapnya.

"Dasar Nona Sastrawan! Rupanya gaya dramatisirmu sudah terbawa ke dunia nyata deh!" Canda Alvin membuat Via cemberut. "Hehe.. Becanda Via!" Sambung Alvin kali ini sambil mencubit pipi Via gemas. Via sedikit kaget dengan tindakan Alvin.

"Jangan sakit lagi ya?" pinta Via tertunduk.

Alvin tersenyum. "Kalau gak sakit lagi, artinya aku mati dong!"

"Ih Alvin! Aku serius tahu.." protes Via pura-pura kesal.

"Aku dua rius."

"Tahu ah, nyebelin."

"Hehe, iya, iya. Minta senyumannya dong!" goda Alvin mengamati bibir tipis Via.

Via yang merasa risih dengan tatapan Alvin, segera berdiri dan berjalan menjauhi Alvin.

Alvin ikut berdiri. "Hei miss latter! Aku menyuruhmu tersenyum. Bukan meninggalkanku." teriak Alvin.

Via membalikan badan dan memandang Alvin yang sudah berdiri jauh di hadapannya. Segores senyum tercipta dari bibirnya. "Baiklah Mr. Perfect! Kejar aku kalau kau bisa!" teriak Via.

Alvin yang melihatnya hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala pertanda heran dengan sikap gadis yang selama ini ia simpan baik-baik dalam relung hatinya. Ia berlari mengejar Via yang rupanya sudah cukup jauh.

"Via! Berhentilah!" pinta Alvin setelah menyerah mengejar Via yang sebenarnya tidak begitu jauh darinya.

Via kembali berbalik dan raut wajahnya berubah cemas begitu melihat Alvin yang ngos-ngosan gak jelas sambil membungkukan badan. Via berlari menghampiri Alvin.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir ketika ia berhasilg berdiri di samping Alvin yang tetap pada posisinya.

"Ya.." jawab Alvin masih mengatur nafas.

"Dengarkan aku Mr. Perfect! Jika kau tidak percaya dengan keajaiban, maka jangan lari-lari seperti tadi." tegur Via tanpa senyum terkesan galak dan tegas.

Alvin menegakkan tubuhnya. "Kenapa kau menyuruhku mengejarmu?"

"Alvin! Mengejar tidak harus berlari....,"

Alvin diam sesaat. Lalu tersenyum. Menatap Via dengan sangat detail. "Via?"

"Hm.."

"Aku akan ke Aussie.. Aku akan berobat disana. Aku ingin sembuh dan menikah denganmu." bisik Alvin.

"Sungguh kah?"

Alvin mengangguk pasti.

Mata Via berbinar. Tak lama setelah itu ia memeluk Alvin erat. Sejuta harapan bertumpuk di setia sendi-sendi hatinya. Miliaran do'a berkumpul di tiap sel otaknya. Ia hanya ingin tubuh itu selalu ada di sampingnya.

***

Warna itu. Warna perak mengkilat, menyilaukan mata saat jari-jari mereka terangkat. Menunjukan pada matahari bahwa hanya mereka berdua yang mempunyai benda mungil yang saat ini melingkar manja di jari manis mereka.

Apa lagi jika bukan cincin pernikahan yang mereka kenakan pasca akad nikah tadi pagi.

Via menatap Alvin yang masih tiduran dipangkuannya. Ia tersenyum lebar melihat orang yang selama dua tahun tak ia temui dan kembali bertemu tiga hari sebelum mereka mengikat janji suci. Ia bahagia. Bukan karena ia bisa menjadi istri seorang Alvin tapi ia bahagia karena Alvin benar-benar sembuh total dan tak ada penyakit yang bersarang dalam tubuhnya.

"Keajaiban itu adalah kamu!" bisik Alvin setelah mencium tangan Via.

Via tersenyum. "Aku milikmu selamanya." kata Via tepat di dekat telinga Alvin.

"Aku mencintaimu Nyonya sastrawan!"

"Aku mencintaimu juga Mr. Pi.."

***

"Bukumu!"

Via menoleh. Memanda6g seorang laki-laki yang kini berdiri di samping mejanya. "Aku mencarinya!" ketusnya sambil mengambil buku di tangan anak laki-laki itu.

"Keajaiban itu bisa datang kepada siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun!" ujar si anak laki-laki sambil tersenyum. "Lalu, siapa Mr. Perfect itu Via, si nona sastrawan?"

Via berdiri dari duduknya. Memandang tajam anak laki-laki itu dari balik kacamatanya. "Aku gak suka caramu membaca bukuku! Dan jangan sebut aku, nona sastrawan! Kau mengerti?!!" tegas Via sambil meninggalkan kelasnya.

"Ceritamu indah Via!" teriaknya barengan saat Agni dan Cakka masuk ke dalam kelas.

"Berani sekali kau membaca buku itu. Aku saja yang sudah lama menjadi temannya tidak bisa. Kenapa kau yang baru beberapa minggu disini sudah bisa mengetahui isinya? Kau hebat, Iyel!" ujar Agni disusul oleh anggukan setuju dari Cakka.

Iyel menatap Agni bingung.

"Ngomong-ngomong, isinya apa sih?" selidik Agni ingin tahu.

"Alvin siapa sih?"

"Alvin?" Agni memastikan. Cakka berlalu dari tempatnya, ia tidak bisa jika mendengar nama itu.

"Haha.. Tanyakan saja sendiri pada Via! Ia yang lebih tahu tokoh dalam cerpennya."

Agni menyusul Cakka yang ia tahu sedang dirundung duka setelah mendengar nama sahabatnya disebut-sebut.

Iyel sendiri hanya diam mematung tak mengerti.

***

Bau ilalang sungguh terasa. Menjadi aroma tersendiri sore ini. Perlahan-lahan ia menghirupnya. Menikmati setiap ketenangan dibaliknya. Entahlah, ia merasa detik ini menjadi seorang gila yang selalu mencari ketenangan dengan mencium bau ilalang-ilalang ini. Seperti pecandu yang sakau saat ia. melewatkannya.

Tempat favoritnya selama 2 tahun ini tampaknya banyak berubah. Namun keindahannya tetap terpatri, setia menjadi latar untuknya. Layaknya cinta. Cinta yang tak terputus oleh kata dan tak hilang oleh perpisahan. Hanya perbedaan yang rupanya memaksa cinta itu terhenti. Perbedaan dunia yang saatnya nanti  akan kembali sama dengan caranya sendiri.

Cintanya tidak pernah berubah, tidak pernah! Ia berjalan dengan alur yang sama setiap harinya. Perlahan ia ciptakan kebahagiaan dengan orang yang dicintainya lewat kata, lewat angan dan dan lewat narasi. Meski ia tahu itu begitu menyakitkan.

Bodoh! Hal bodoh jika kau percaya keajaiban. Keajaiban hanya ada di sinetron dan novel-novel. Kenapa ia saat itu begitu berharap ada keajaiban yang turun untuk mencegah orang yang dicintainya pergi? Dan kenyataannya? Itu tidak ada. Ia pergi, benar-benar pergi meninggalkannya.

“Via! Maafkan aku! Aku benar-benar menyesal..!”

Repleks tubuh Via berbalik dan sudah menemukan Iyel tengah berdiri di hadapannya. “Apa yang kau lakukan Iyel? Kau mengikutiku sejak tadi?” tanyanya penuh curiga.

Iyel mengangguk pelan.

Via menghela nafas kesal. Kemudian membalikan badan kembali dan tak mempedulikan Iyel yang sudah berdiri di sampingnya.

“Apa yang kau tulis itu nyata, Via?”

“Apa urusanmu?”

“Siapa Alvin?”

Via terdiam. Kenapa Iyel harus menanyakan itu? Sesungguhnya ia terlalu lemah untuk mengingat  kenangan-kenangan sederhana namun teramat indah yang pernah ia pijaki dengan orang bernama Alvin itu. Dan itu memang selalu melandanya selama ini.

“Vi!” panggil Iyel membuyarkan lamunannya.

“Jangan tanyakan itu Yel! Karena tentunya kau sudah tahu siapa dia dari ceritaku.”

Iyel menaikan alisnya bingung. Kemudian tersenyum. Via terhenyak melihat senyuman itu.  Senyuman indah yang pernah ia lihat sebelumnya. Senyuman yang pernah Alvin miliki.

“Pejamkan matamu maka kan kau temukan satu ketenangan. Apa itu kata-katanya Via?” Masih dengan senyuman itu Iyel mengamatinya baik-baik.

“Bukan. Itu kata-kataku. Dan sepertinya kau terlalu banyak bertanya!” Via berdiri dari duduknya.

“Via! Apa Alvin masih ada disini?”

“Tidak. Dia sudah meninggal satui tahun yang lalu.”  Jawab Via menarik nafas panjang. Ia balik kanan dan meninggalkan Iyel yang tetap mematung di tempatnya.

“Via! Apa kau masih percaya keajaiban?” teriak Iyel begitu mereka sudah berada dalam jarak yang cukup jauh.

“keajaiban itu adalah kamu Yel!” Teriak Via balik.

“Via! Kenapa di dalam ceritamu Alvin sembuh dan menikahimu?” Tanya iyel untuk kesekian kalinya. Ia sudah berhasil mengejar Via dan berjalan di sampingnya.

“karena akhir itu harus bahagia. Seperti akhir yang ia inginkan.”

Iyel menghentikan langkahnya. Membuat Via mau tidak mau berhenti melangkah juga. “Bolehkan aku menggantikan Alvin Vi?”

Via menatap Iyel serius. Sedikit merasakan keganjilan dari pertanyaan Iyel. “Yang tepat itu, berusaha menempati separuh hati yang Alvin simpan untuk ditempati orang lain setelah dia.” Katanya disusul dengan senyuman terbaiknya.

Iyel tersenum dan masih dengan senyuman itu. Senyuman yang membuatnya selalu mersa dekat dekat dan dekat denganya. Dengan Alvin.







END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar