Kamis, 05 Januari 2012

CakkAgni (short story) copas

CakkAgni !!

 

Setiap malam aku selalu bermimpi. Selalu berharap dan selalu menghayal. Banyak orang di sekitarku yang mungkin jauh dari cukup. Banyak orang di sekitarku yang mungkin juga jauh dari kata mampu. Tapi… satu yang orang-orang itu miliki dan aku tak punya sama sekali. Yah, keluarga yang saling menyayangi. Aku menatap langit kamarku sambil menghela nafas berat. Ku lirik sebuah figura dengan ukuran sedang di samping tempat tidurku pilu.

Semua masih terekam jelas di memori dan ingatanku. Canda dan tawa bahagia keluarga kecilku. Keluarga yang mempunyai sejuta kehangatan dan kenyamanan. Dulu. Yah, dulu sekali….


***

Ingin rasanya aku tuli, tak mendengar jerit memekakan dari mereka… dua orang yang ku sayangi.


“ kerja, kerja, kerja terus. Mama gak bisa apa perhatian sedikit sama aku, sama Agni juga, huh ? “.

“ kamu kenapa sih, Kka ? mama kerja juga buat kalian. Buat kamu dan adik kamu “.

“ ma, tanpa mama harus banting tulang kita juga masih mampu kok. Uang mama itu udah lebih dari cukup. Sekarang itu saatnya mama perhatiin Agni. Hampir 10 tahun ini mama nelantarin kita, jadi aku mohon sama mama… kali ini aja, ma. Tolong perhatiin Agni “.


Aku hanya mampu berdiri mematung di depan pintu kamarku. Semenjak papa meninggal, mama jadi berubah. Mama jadi semakin sibuk dengan pekerjaannya. Menelantarkanku dan membiarkan ku sendirian. Sering sekali aku mendengar mama dan kak Cakka ribut dan bertengkar hebat seperti ini. aku diam, dan hanya mampu menangis di tempatku berdiri.


***

“ loe ikut kita ya, Ni ? “. Nova salah seorang sahabatku mengajak ku ke suatu tempat sore itu. Aku tampak berfikir sejenak. Sesaat aku pun mengangguk mengiyakan.

.
.

Aku terdiam. Terpaku menatap orang-orang di hadapanku. Apa yang mereka lakukan, apa yang mereka kerjakan, dan apa yang mereka kenakan tidaklah sesuai dengan status dan usia mereka sebagai seorang pelajar. Aku hanya melongo menatap para sahabatku tak percaya.

“ coba !! “. Ify menyodorkan segelas minuman dengan bau menyengat kearahku. Ku tatap wajah cantiknya lekat dan sedikit menggeleng.

“ ayolah. Sedikit aja, enak kok “. Via ikut-ikutan mendesakku dan menyodorkan gelas itu kewajahku. Aku menunduk sedetik kemudian kembali ku dongakkan kepala menatap gelas minuman itu ragu dan perlahan meraihnya.

Ku hirup nafas panjang. Baunya benar-benar membuat kepalaku pusing. Dengan setengah hati aku pun mulai meneguk minuman itu, perlahan sampai habis. Samar-samar aku mendengar kedua sahabatku itu tertawa lepas.


***

“ kamu apa-apaan sih, huh ? kamu minum ? “. Aku tersentak kaget. Untuk pertama kalinya kak Cakka membentakku seperti ini. ingin menangis rasanya, tapi entah kenapa aku malah tertawa aneh dan bertingkah tak karuan.

“ kakak.. gak usah khawatir deh… aku udah 15 tahun. Udah gede dong ya.. haha “. Ucap ku sembari tertawa dan mendorong tubuh kak Cakka kasar.

“ Agni !! “. Aku tersenyum tipis saat nada suara kak Cakka mulai meninggi. Sesaat aku melihat cairan bening di sudut matanya. Ia acak rambutnya frustasi sambi menendang kaki meja yang berada di sampingnya kuat. Aku sedikit tersentak. Sedetik kemudian aku pun berlalu, membiarkan kak Cakka sendirian.


***

Aku merosot di balik pintu kamarku. Tangisku akhirnya pun tumpah. Ku peluk erat kedua lututku sambil terisak.

“ maafin Agni, kak. Maafin Agni… maaf… Agni minta maaf “. Rancauku dan semakin erat memeluk kedua lututku.


***

“ iya, pak… oh pasti. Saya jamin kali ini proyek itu bakal jatuh ketangan kita… iya pak… oke “.

Aku melumat nasi goreng masakan bibi malas. Ku lirik mama yang sedari tadi sibuk dengan ponsel dan ipad miliknya geram. Huh, kapan mama bisa bersikap sewajarnya sih ? kapan mama bisa kembali menjadi sosok ibu yang hangat seperti 10 tahun yang lalu, kapan ?.

‘prang’

Dengan kasar aku menyentakkan garpu dan sendok begitu saja, membuat mama yang beberapa detik lalu memulai kembali obrolannya via telpon dan melirikku sekilas. Sesaat kemudian ia tersenyum dan bangkit dari duduknya seraya meraih tas tangannya dan segera beranjak. Tanpa sapa, dan tanpa kecupan kecil untukku.

“ aaaaarrrghh.. Agni benci mamaaa “. Seruku sembari menjatuhkan piring bekas makanku sedetik lalu. Kak Cakka yang sedari tadi tampak santai di kursinya kita melotot menatap ku marah. Ku telungkupkan wajahku di kedua lipatan tanganku, seketika itu pun aku menangis sejadinya.


***

Aku hanya diam, menatap lurus ke depan saat kak Cakka mengantarkan ku ke sekolah pagi ini. ku alihkan kini pandanganku ke arah jendela tepat di sampingku. Tampak kak Cakka melirik kearahku sekilas. Dapat kurasakan tangan hangatnya menyentuh puncak kepalaku dan membelai rambut panjangku lembut. Perlahan aku berbalik menghadapnya. Ia tampak tersenyum manis. Sebuah senyuman seorang kakak yang terlihat tulus. Senyuman yang selalu bisa membuatku merasa tenang.

“ nanti pulang sekolah kakak jemput kamu, ya ! “. Ucap kak Cakka dan kembali memperhatikan ruas jalanan. Ku tatap wajah kakakku satu-satunya ini lekat, sesaat aku pun mengangguk.


***

Sesuai janji kak Cakka hari ini ia menjemputku di sekolah. Ia sangat terlihat tampan dengan kaos putih polos dan celana jeans seadanya. aku tersenyum, mengingat hampir sebagian besar dari waktu kosong yang kak Cakka miliki selalu saja dia habiskan bersamaku. Perlahan aku menghampirinya yang saat itu tengah asik dengan ponselnya dan duduk manis di atas kap mobilnya.

“ ayo pulang !! “. Seruku saat tiba di sampingnya. Ia tampak kaget, sedetik kemudian tersenyum dan mengacak rambutku penuh sayang.


***

Hari ini kak Cakka mengajakku ke taman bermain. Tempat yang sudah lama sekali tak ku kunjungi. Ku lirik kak Cakka yang berdiri di sampingku lantas kuraih jemarinya dan ku genggam erat.

Kak Cakka menyodorkan ice cream stroberi kearahku. Dengan penuh semangat aku pun meraihnya. Aku masih bersyukur karena tuhan memberikan ku kakak sebaik kak Cakka. Dialah satu-satunya keluarga yang saat ini aku miliki. Satu-satunya keluarga yang benar menyayangiku dengan tulus.

“ Agni ! “. Seru kak Cakka dan menjatuhkan sebuah liontin tepat di depan wajahku. Gerakanku yang sedari tadi menikmati ice cream kini terhenti dan menatap liontin di hadapanku takjub.

“ huaaaa. Bagus banget kak ! “. Seru ku riang dan menatap lekat liontin berukiran KkaNi Soulmatch dengan senyum mengembang. Kak Cakka tampak tersenyum, sesaat ia pun mengenakan kalung tersebut di leherku.

“ kalung ini akan jaga kamu dimana pun kamu berada. Walau suatu saat nanti kakak jauh dari kamu… kakak akan selalu dekat di sini… di hati kamu “. Ujar kak Cakka sembari menunjuk kearah dadaku. Aku tersenyum dengan air mata tertahan di sudut mataku. Sedetik kemudian aku berhambur dan memeluk kak Cakka erat.


***


Apa aku harus benar-benar tuli… ?


“ mama, Cakka mohon sama mama. Mama tolong dong berubah. Agni butuh kasih sayang mama. Dia butuh perhatian mama. Dia masih labil,  ma “. Kak Cakka lagi-lagi membujuk mama untuk melakukan hal yang pasti akan sia-sia. Mama yang tampak serius dengan beberapa filenya melirik kak Cakka tajam, dan sesaat kemudian ia pun bangkit dari duduknya dan menghampiri kak Cakka yang tengah berdiri tegak di depan meja kerjanya.

“ mama banyak kerjaan Cakka. Ini misi besar. Mama gak ada waktu buat melakukan hal yang tidak penting seperti apa yang kamu harapkan. Soal perhatian dan kasih sayang… mama rasa kamu sudah lebih dari cukup untuk Agni “. Ujar mama dan kembali ke kursi kerjanya. Kak Cakka tampak mengepalkan tangannya kuat.

“ mama egois. Mama gak pernah mikirin gimana perasaan aku, perasaan Agni. Mama gak pernah mau tau soal kita. Mama udah kelewatan. Cakka gak kenal siapa mama. Cakka… Cakka benci sama mama “. Terang kak Cakka kalap dan segera beranjak meninggalkan ruang kerja mama.

Ku sandarkan punggunggu rapat di balik pintu ruang kerja mama saat kak Cakka keluar dari ruangan itu. Ku lihat cairan-cairan kristal yang lama tak terlihat dari wajah tampan kakakku itu kini tampak mengalir deras.


“ Agni benci sama mama. Mama udah nyakiti perasaan kak Cakka. Mama udah buat kak Cakka nangis. Agni benci mama “. Seruku sesaat kemudian dan menatap mama yang tampak kaget dengan tindakan ku itu tajam. Tak lama aku pun membanting kasar pintu ruangan mama dan segera berlalu.


***

Perlahan ku buka pintu kaca di hadapan ku. Tampak kak Cakka yang saat itu tengah termangu di tepi kolam sambil memainkan air dengan kakinya. Sesaat ku jatuhkan pantatku dan duduk di sampingnya. Kak Cakka menatap lurus ke atas langit yang saat itu terlihat gelap tanpa cahaya bintang dan bulan.

“ maafin kakak ya, Ni ! “. Seru kak Cakka tiba-tiba tanpa menoleh sedikit pun kearah ku.

Ku alihkan tatapan ku dan menatap kak Cakka bingung. “ maaf ? kenapa kak harus minta maaf ? “.

Kak Cakka tersenyum dan meraih jemariku kemudian di genggamnya erat. Matanya masih tampak basah. Aku kembali mengerutkan dahi menatap kakak tersayangku ini tak mengerti.

“ huhhh.. kakak janji. Kakak gak akan ninggalin kamu, Ni “. Ucap kak Cakka tulus setengah terisak dan menarikku ke dalam pelukannya. Aneh. kenapa kak Cakka bersikap sepert ini.



***

Nyaris hampir sebulan ini aku selalu mendengar kak Cakka memohon sama mama soal itu-itu melulu tiada habisnya. Dan yang membuat ku tidak habis pikir mama malah tak pulang ke rumah selama seminggu cuma karena masalah itu. Aku hanya mampu menghela nafas dan menepuk pelan pundak kak cakka yang saat itu tengah menatap riak air kolam dengan tatapan kosong.

“ kakak udah dong. Agni gak mau lihat kakak sedih terus kayak gini. Kakak gak perlu mohon-mohon kemana lagi buat Agni. Agni udah biasa kayak gini kak “. Ucap ku dan memeluk pundak kak Cakka erat. Kak Cakka masih diam sembari mengeratkan genggaman tangannya.

“ kak !! “. Ku raih genggam kedua tangan kak Cakka erat dan menatap tepat di dua manik matanya.

“ kakak nyembunyiin sesuatu dari Agni, ya ? “. Tanyaku lembut. Sesaat kak Cakka tampak mengalihkan pandangannya dan melepas genggaman tangganku perlahan.

“ gak. Kakak gak menyembunyikan apa pun dari kamu, Ni “. Terang kak Cakka dan berjalan menjauhi ku. sesaat ku tatap lekat punggung tegap kak Cakka sendu.


***

Hanya kakak yang aku punya.. hanya kakak yang ada buat aku.. aku mohon.. kakak tetap disini.


Kak Cakka benar-benar aneh akhir-akhir ini. Semakin over dan bahkan suka marah-marah gak jelas. Dan bahkan hari ini saja kak Cakka tidak pulang ke rumah. Huh. Aku hanya mampu menghela nafas sambil sesekali melirik keluar jendela kamarku cemas. Sesaat ku raih ponselku yang berada di sudut meja belajarku dan menatap layarnya lekat. Gak biasanya kak Cakka bersikap seperti ini. ada apa dengan kakakku itu.

Dengan perasaan yang bergemuruh ku tekan beberapa digit nomor yang telah ku hapal luar kepala dan sesaat menempelkan benda kotak itu di alat pendengaranku. Terdengar nada sambung di seberang sana yang membuat jantungku tiba-tiba merasa sakit.

“ halo ! “. Terdengar sapaan dari nomor yang ku tuju. Aku mengeryitkan dahi dan kembali memastikan nama yang tertera di layar LCD ponselku.

“ halo.. ini benar nomor kak Cakka, kan ? “. Tanyaku ragu saat mendengar suara seorang wanita yang mengangkat panggilanku.

“ oh, iya. Anda keluarga saudara Cakka ? “. Tanya wanita itu balik.

“ iya. Saya adiknya. Mbak ini siapa ya ? “. Aku mulai merasa cemas. Ku genggam ponsel yang menempel di telingaku erat.

“ saya suster dari rumah sakit Sejahtera. Siang tadi mobil yang saudara Cakka kendarai mengalami kecelakaan hebat. Kita sudah mencoba menghubungi ponsel ibunya, tapi sampai sekarang belum ada jawaban  “. Aku terdiam. Tanganku terkulai lemas. Air mataku tiba-tiba mengalir begitu saja. dalam isakku aku berlari keluar rumah tanpa memperdulikan malam yang saat itu semakin larut.


***

Aku mematung di depan pintu kaca menatap tubuh kak Cakka yang terbaring lemah dengan selang di sekujur tubuhnya pilu. Aku terduduk lemas sembari memeluk lututku erat. Aku sendiri. Benar-benar sendiri. Dokter baru saja memberi tahukan bahwa kak Cakka tengah mengidap kanker paru-paru stadium akhir. Hidup kak Cakka gak lama lagi. Dokter bilang ia hanya mampu bertahan 2 atau tiga bulan lagi. Bohong. Dokter pasti bohong. Kak Cakka udah janji bakal jagain aku terus. Kak Cakka juga udah janji gak akan tinggalin aku.

Dengan tangan gemetar ku raih poselku dari saku jeans yang ku kenakan. Dengan perasaan tak karuan aku pun mencari nomor seseorang di daftar kontakku. Setelah menemukannya kembali ku tempelkan benda mungil itu di telingaku. Berulang kali aku melakukannya tapi seseorang di seberang sana tak sekali pun menghiraukan panggilanku. Dengan geram dan penuh amarah ku genggam erat ponsel milik ku dan kembali ku peluk erat kedua lututku.


***


“ Agni.. Agni harus jadi anak yang baik. Anak yang pintar. Biar besar nanti Agni bisa jadi dokter dan ngobati papa “.

“ iya. Pasti, pa. Agni janji. Agni bakal jadi dokter buat papa “.



.
.

“ Agni jangan nagis. Masih ada kak Cakka sama mama kok, kak Cakka janji. Kak Cakka gak akan tinggalin Agni “.

.
.

“ ma.. sekali aja bisa gak sih mama perhatiin Agni lagi. Dia butuh mama. Dia butuh kasih sayang mama”.

“ mama mohon sama kamu Cakka, jangan pernah kamu bahas soal ini lagi sama mama. Mama tau apa yang mama lakukan, dan itu yang terbaik untuk kalian menurut mama “.

“ terbaik untuk diri mama sendiri, tapi gak untuk aku dan Agni “.

.
.

“ suatu saat kakak juga akan nyusul papa “.

“ kak Cakka ngomong apaan sih ? kak Cakka sehat. Kak Cakka kuat. Kak Cakka gak agak ningglin Agni. Iya kan ? “.

Hanya mampu tersenyum dan mengacak lebut rambut ku.

.
.

“ kalung ini akan jaga kamu dimana pun kamu berada. Walau suatu saat nanti kakak jauh dari kamu… kakak akan selalu dekat di sini… di hati kamu “.



Ku buka mataku perlahan sesaat ku picingkan mata begitu cahaya benderang menyeruak pengelihatanku. Aku bangkit dari dudukku dan kembali melihat kearah kak Cakka yang masih belum sadarkan diri dari luar jendela kaca. Ku edarkan pandanganku keseluruh penjuru ruangan, aku tertunduk. Mama benar-benar tak peduli dengan kami.

***

Ku genggam tangan kak Cakka erat. Kulit putih itu terlihat semakin pucat dan terasa dingin. Aku lagi-lagi hanya menangis. Ingin sekali rasanya aku mengguncang tubuh kak Cakka dan menyuruhnya bangun. Ingin aku menariknya seperti biasa kalau dia tidur seharian. Sesaat kedua mata sayu milik kak Cakka terbuka. Ia tersenyum dari balik masker oksigen yang ia kenakan.

“ jangan nangis “. Ucapnya tanpa suara dan menghapus air mataku lembut. “ papa udah nunggui kakak, dek “. Aku hanya mampu terdiam dalam tangis ku saat melihat gerak bibir pucatnya di balik masker. Ku genggam semakin erat tangan kak Cakka dan ku kecup lama.

“ kakak pasti sembuh. Agni yakin kakak pasti sembuh. Kakak harus kuat ya. Demi Agni “.  Ucapku berusaha menahan tangis dan menatap mata sayu kak Cakka penuh harap. Ia tampak tersenyum dan mengangguk sekilas.


***

Ku sandarkan pungugunku di kursi tunggu depan ruangan kak Cakka sambil sesekali mengela nafas berat.

“ Agni ! “. Aku mendongakkan kepala menatap sosok yang kini tengah berdiri di hadapanku dengan tatapan penuh kebencian. Sedetik kemudian aku bangkit dari duduk ku dan menatap tepat di manik mata sosok tersebut tajam.

“ Agni !! “. Seru sosok tersebut yang kini berjalan mendekat kearahku dan berusaha memelukku.

“ jangan pernah sentuh Agni !! “. Seruku dan menepis tangan mama kasar. Mama tampak menatapku tak percaya. Sesaat kami saling pandang lalu sedetik kemudian mama memasuki ruang rawat kak Cakka, seketika aku terduduk lemas sepeninggal mama dan lagi-lagi hanya mampu menangis.


***

“ papaaa.. Agni mohon. Jangan sekarang. Agni gak punya siapa-siapa lagi selain kak Cakka. Papa Agni mohon “. Aku terisak di pusara yang hampir 2 tahun ini tak aku kunjungi. Ku remas tanah merah di hadapanku dan menggenggamnya erat.

“ papa… Agni takut. Agni takut sendirian “. Ucapku lirih dan memeluk nisan putih itu erat. Aku tersentak saat sebuah pelukan hangat menyelimuti tubuhku.

“ mama ada untuk kamu sayang “. Bisik suara itu dan kontan membuat mata ku membulat. Sedetik kemudian aku bangkit dari dudukku dan melepas pelukan mama kasar.

“ Agni benci mama.  Kak Cakka kayak gini tuh karena mama. Semuanya karena mamaaaa. Agni benciiiiii. Agni… Agni benci sama.. mama “. Seruku nyaris berteriak dan berlari meninggalkan mama.

“ Agni !! Agni !! “. Mama terus saja menyerukan namaku dan berlari mengejar langkah lebarku. Aku terdiam di pinggir jalan, menatap jauh ke belakang dan tak lama kembali berlari.

“ Agniiiii ! “. Seketika ku hentikan lariku saat teriakan mama terasa memekakan di telingaku. Dengan gerakan cepat aku berbalik ke arah kanan ku, seketika mataku melotot lebar saat melihat sebuah benda bergerak cepat dan semakin mendekat kearahku.

Aku hanya diam mematung. Perlahan ku tutup rapat kedua mata indahku sembari tersenyum tipis.

‘brakk’

Dapat ku rasakan cairan amis itu menjalar di sekujur wajahku. Tubuhku terasa sakit. Dadaku mulai sesak. Dengan sisa tenaga yang aku miliki dapat ku lihat dengan jelas mama tengah menangis dan memelukku erat. Pelukan yang hampir 10 tahun tak pernah aku rasakan. Dan saat ini.. mama kembali memelukku dan menagis karena melihat kesakitanku. Ku gerakan tanganku yang terasa lemas dan menghapus butir bening di mata mama lembut.

“ mm.. mam..ma.. Ag.. Ag.. ni… sayang.. mama “. Ucapku terakhir kalinya sebelum semua terasa gelap.



***

Dan semua terlambat….

“ papa, kak Cakka ! “. Seruku dengan mata berbinar saat melihat dua orang yang paling aku sayang kini berdiri di hadapnku. Aku berlari kecil dan memeluk keduanya erat.

“ Agni kangen. Jangan tinggalin Agni lagi, pa, kak “. Ucapku lirih dan semakin mengeratkan pelukanku. Dapat kurasakan tangan hangat keduanya mengelus lembut rambut dan juga punggungku.

“ kamu jagain mama ya sayang “. Ucap papa sesaat melepas pelukannya.

“ kamu harus jadi anak dan adik yang baik “. Ujar kak Cakka yang kali ini mengacak rambutku penuh sayang.

“ gak. Agni mau disini. Agni mau tinggal sama kak Cakka dan papa aja“. Aku menggeleng kuat dan kembali memeluk keduanya erat.

“ Agni. Mama itu sayang sekali sama kamu. Dia melakukan semua ini cuma untuk mengalihkan kesedihannya karena kepergian papa. Mama tidak sejahat yang kamu pikirkan sayang “. Ucap papa merengkuh kedua pipiku dan menatapku lembut. Lagi-lagi air mata itu mengalir di pipi ku. ku lirik kak Cakka yang berdiri di samping papa, ia tampak tersenyum dan kini menarikku dalam dekapannya.

“ ingat ya, Agni. Kakak selalu ada di hati kamu “. Bisik kak Cakka tepat di telingaku dan sesaat kemudian  melepas pelukannya.

 Tak lama sebuah sinar benderang menyilaukan mataku dan sedetik kemudian aku tak dapat melihat papa dan kak Cakka lagi berdiri di hadapanku. Hanya ruang kosong dan hampa.


***

Di atas kursi roda aku menatap dua pusara di hadapanku perih. Aku hanya mampu tersenyum di balik tangisku yang tertahan. Aku merasa sesak itu kembali meyeruak. Tepat di malam kecelakaan ku seminggu lalu kak Cakka pergi meninggalkan ku. pergi untuk selamanya. Aku merenung sejenak, membanyangkan mulai hari ini, besok dan seterusnya aku akan melalui hariku sendirian. Ya, hanya seorang diri tanpa sosok kakak yang selalu ada di setiap hari yang ku lalu ini. ku letakkan masing-masing buket mawar putih di masing-masing pusara papa dan juga kak Cakka. Sesaat ku raih kalung pemberian kak Cakka dan ku kecup hangat.

***


MAMA P.O.V


Hanya mampu menatap wajah-wajah ceria di lembar-lembar foto yang mungkin hampir 10 tahun ini tak ku jamah. Menangis. Menyesal. Merasa bersalah. Dan merasa benci akan diriku sendiri. Masih ku ingat dengan jelas saat Cakka yang mungkin untuk terakhir kalinya memohon agar aku memperhatikan mereka. Memperhatikan dia, dan juga Agni. Aku bukan ibu yang baik, bahkan anak sendiri mengidap penyakit mematikan itu saja aku tak tahu sampai ajal menjemputnya.

Ku hela nafas berat sembari menutup album yang saat ini ada di pangkuanku, sesaat kemudian aku bangkit dari dudukku dan beranjak menuju kamar putri kecilku. Aku tersenyum perih. Sudah hampir satu bulan aku melihat Agni duduk termangu dan menatap kosong keluar jendela kamarnya. Tak sakali pun aku mendengar tawa cerianya. Tak sekali pun aku mendengar tangis atau teriakannya lagi. Tuhan, kini putri kecilku mematung. Ia bahkan menutup diri dariku. Aku hanya mampu menangis dari tempat ku berdiri. Meyesal dan merasa bersalah. Coba saja malam itu aku tidak keras kepala dan mengikuti keinginan Cakka.

“ Agni butuh mama.. Cakka mohon ma, tolong perhatiin Agni. “.

Entah sudah berapa puluh kali Cakka memohon seperti itu. Seakan tuli aku tak pernah mengindahkan dan terus saja memakinya habis-habisan.



“ Cakka mohon.. ini yang terakhir kalinya, ma “.



Seharusnya aku sadar kalau itu adalah peringatan Cakka untukku. Peringatan yang ingin memberi tahukanku kalau Cakka itu sakit. Anak ku itu sakit, dan dia ingin.. aku, ibunya… menjaga dan merawat Agni adik kesayangannya dengan baik sebelum dia benar-benar pergi.

Kembali ku lihat Agni tersenyum saat menatap liontin yang tergantung indah di lehernya. Yah, liontin pemberian Cakka. Mereka permata yang telah aku sia-siakan karena ke egoisanku. Permata yang tanpa sadar telah aku hancurkan dengan tanganku sendiri. Permata berharga yang kini telah menghilang dari hidupku. Jauh dari jangkauanku, dan mungkin takkan lagi aku dapatkan permata seindah mereka. Kedua belahan jiwaku. Cakka dan Agni. Dan aku kini hanya mampu termenung dalam pikiranku. Sendiri. Dan di liputi penyesalan yang mendalam.

“ maafin mama, Agni. Mama sayang kamu. Mama pasti akan jaga kamu selamanya. Mama akan melakukan apapun untuk kebahagian kamu. Janji mama untuk kamu, Cakka dan juga papa “.

Sesak. Sakit luar biasa yang ku rasakan saat menatap putri kecilku hanya mampu terdiam di singgasananya kini.




_FIN_


Tidak ada komentar:

Posting Komentar