Senin, 07 November 2011

Antara Kamu, Capucino dan Hujan (cerpen) ##

Antara Kamu, Capucino, dan Hujan..

Aku membuka mataku yang sedari tadi terpejam. Rasanya begitu sulit terbangun dari mimpi burukku ini. Aah..rasanya ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Kenyataan yang amat menyakitkan. Banyak hal yang hilang sejak sebulan yang lalu. Aku bahkan merasa ini mimpi. Bukan merasa, lebih tepatnya berharap. Berharap ini mimpi, sehingga aku bisa bebas dari mimpi burukku saat aku terbangun di esok pagi. Haha..berharap memang menyakitkan ketika harapan itu tak menjadi kenyataan.

Segera aku bangkit dari tidurku dan segera menyambar handukku yang bergambar stitch kesukaanku. Jangan heran bila kamarku bernuansa biru laut, dan semua isinya adalah Stitch. Karena aku begitu menyukai tokoh itu. Lucu!


**

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang mulai ramai dipenuhi murid-murid lain. Aku melirik ke samping. Aah..aku lupa. Dia tak ada. Aku bahkan merasa dia masih ada di sampingku, menemaniku setiap aku sedih maupun senang. Hm..aku tersenyum pahit. Sadarlah, ini nyata! Bukan mimpi. Kembali aku focus berjalan. Menepiskan semua fikiran tentangnya.

Sesampainya di kelas, aku mendapati Sivia,teman sebangkuku sekarang tengah menyalin sebuah buku yang kuyakini adalah PR. Aku langsung duduk disampingnya setelah menyapanya. Sekedar mengucapkan kata ‘pagi’ untuknya.

Karena bosan, aku mengambil novel yang sengaja kubawa. Sebagai antisipasi pembunuh rasa bosan. Untung saja aku membawa novel ini. Bila tidak, mungkin aku sudah mati karena bosan.

**

Huuh..suara bel dari surga sudah terdengar, pertanda sekolah di bubarkan. Yihaa..! aku ingin segera pulang. Aku mendongakkan kepalaku, menatap langit yang kelam itu. Awan menggumpal berwarna hitam pekat sepertinya siap menurunkan pasukan airnya untuk menyerbu bumi tercinta. Aku tersenyum simpul melihat awan hitam yang justru kebanyakan orang –mungkin- membencinya. Tapi aku berbeda. Aku justru suka hujan. Hujan mempunyai banyak kenangan. Kenanganku dengan dia. Seseorang yang berarti dalam hidupku.

Rasanya aku ingin berlama-lama disini. Menunggu langit menurunkan hujan yang akan mengguyur bumi. Aku bersandar pada tiang yang ada di depan kelasku. Sambil tersenyum, aku terus memperhatikan langit diatas sana. Hatiku tak sabar ingin melihat hujan yang sempat hilang beberapa hari yang lalu.

“ayolah hujan..segera turun..”pintaku yang terus menatap langit. Berharap langit menumpahkan air hujan itu. Ayolah..aku tak sabar.

Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Dengan gerakan refleks, kuputar tubuhku sehingga mengarah kebelakang, dimana tepukan itu berasal.

“hei, belum pulang? Nanti keburu hujan looh..”ujarnya padaku. Dia adalah Sivia. Aku tersenyum simpul saat mendengar perkataannya. Justru aku menunggu hujan,ucapku dalam hati.

“belum. Nanti aja.” Ujarku yang masih tersenyum padanya.

“yaudah, aku duluan ya..” dia melambaikan tangannya kearahku sambil berlalu dari pandanganku itu. Dia pun menghilang dibalik tikungan di dekat perpustakaan. Aku kembali mendongak, menatap langit dengan tatapan berharap. Ayolah hujan..segera turun..pintaku dalam hati.

Tiba-tiba, gerimis pun mulai menyergap. Aku tersenyum lebar melihat langit mengabulkan pintaku ini. Lama kelamaan hujannya kian deras, membuatku semakin tersenyum lebar saat ini. Aku memejamkan mataku, menyegarkan memori otakku tentangnya. Dengan tangan yang kulipat di dada, aku memutar semua ingatanku dengannya. Karena hujanlah, aku bertemu dengannya. Dan karena hujanlah aku bersahabat dengannya.

Aku pun membuka mataku. Dengan bibir yang masih tersenyum, aku menyimpan tasku di dekat tiang dan mulai berlari ke tengah lapangan, menerobos hujan itu. Tanganku kurentangkan, merasakan betapa indahnya hujan. Aku pun teringat bagaimana pertemuanku dengannya saat hujan, 3 tahun yang lalu.

Saat itu, aku tengah menunggu jemputanku di halte bus yang tak jauh dari sekolah.

**Flashback**

Aku terduduk lesu di halte bus. Menundukkan kepalaku sambil menatap sepatu kets yang aku pakai. Huuh..aku sudah bosan menunggu supir untuk menjemputku. Ditambah hujan yang deras, membuatku semakin malas dibuatnya.

Duk.Aku menoleh ke samping, dan mendapati sosok laki-laki yang kukira seumuran denganku. Aku tak dapat melihat wajahnya karena terhalang oleh cupluk jaketnya yang berwarna hitam. Aku tak peduli. Aku pun langsung mengalihkan pandanganku kearah jalan, berharap supirku segera datang.

Bbrr..dingin sekali. Aku pun menggosokkan kedua tanganku, mencoba menghangatkan tubuhku. Kucoba memeluk tubuhku sendiri, berharap sedikit kehangatan membunuh rasa dingin ini.

“nih.” Seseorang menyodorkan segelas plastic capucino padaku. Aku menoleh kesamping dimana anak itu berada. Dengan wajah yang dihiasi senyum, dia memberikan segelas plastic capucino yang baru saja ia beli.

“gak usah..” tolakku halus.

“gak papa. Kamu kayaknya kedinginan. Aku kan masih punya perasaan. Nih..ambil aja.” Dia kembali menyodorkan segelas capucinonya padaku.

“tapi kamu? Kamu juga kedinginan kan?”

“aku kan masih pake jaket.”

“tapi jaket kamu basah..” ujarku sambil memperhatikan dandanannya. Kulihat jaketnya basah. Mungkin dia berlari dari warung menuju kesini.

“gak papa. Ambil aja. Aku tadi udah kok. Aku sengaja belinya dua, takutnya aku pengen lagi. Eh ada kamu. Aku kasih aja. Nih.” Dia menjulurkan tangannya yang memegang segelas capucino hangat padaku. Dengan ragu, ku ambil gelas itu. Kulihat dia tersenyum dan aku pun membalasnya.

“makasih ya.” Aku menyesap capucino hangat itu. Rasanya memang berbeda. Meminum minuman hangat saat hujan, begitu nikmat. Sesekali aku meniup kepulan asapnya yang membumbung keatas.

“nama kamu siapa?” tanyanya. Aku terkesiap saat dia memecahkan keheningan yang tercipta disini, di halte bus ini. Aku menoleh padanya.

“aku Ify. Kamu?” Dia yang menatap lurus ke depan, menoleh kearahku. Dengan senyum manisnya dia berkata

“aku….Rio.”

**Flashback Off**

Senyumku tak pernah lepas saat mengingat pertemuan manis itu. Aku tak akan pernah melupakan awal pertemuanku dengannya. Rio, sahabatku. Awal dimana ku menyukai hujan, awal dimana ku menyukai capucino, dan awal dimana ku berkenalan dengannya. Awal dari segalanya… Segala kisah manis yang tertulis di buku takdirku. Terima kasih Tuhan, kau telah mengirimkannya sebagai sahabatku, pendamping hidupku saat aku sedih maupun bahagia. Walaupun aku tau, dia sudah tak ada lagi disampingku.

Kurasakan, hujan mulai mereda. Aku berhenti berputar dan menatap langit dengan tatapan kesal. Tuhan, kenapa hujannya berhenti? Gerutuku dalam hati. Tapi aku bersyukur, Tuhan masih menyempatkan menurunkan hujan untukku dan orang yang membutuhkannya. Aku masih bisa mengingatnya di tengah hujan ini.

Aku pun memilih untuk kembali ke depan kelas hendak mengambil tasku yang tadi kusimpan. Dengan gerakan cepat, aku menyelempangkan tasku dan berjalan meninggalkan sekolah tercinta ini.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri, hendak menyebrang jalan. Setelah kurasa cukup aman, aku menyebrangi jalanan yang lenggang itu. Kulangkahkan kakiku menuju warung yang tak jauh dari sekolah. Aku tersenyum pada pemilik warung yang biasa kutemui tiap pulang sekolah.

“capucinonya neng?” pemilik warung itu menawarkan capucinonya. Aku mengangguk. Pemilik warung ini memang sudah tau kebiasaanku bila kesini. Membeli capucino hangat. Apalagi cuaca begitu mendukung. Setelah kejadian pertemuanku dengannya, aku menjadi suka dengan capucino. Aku tak pernah melewatkannya sehari pun. Membeli capucino mungkin bisa disebut salah satu kegiatanku untuk mengenangnya yang sudah tiada. Huuft..aku menghela nafasku. Dia memang tiada..sudah tiada..

“nih neng.” Pemilik warung itu menjulurkan tangannya padaku. Aku meraih capucino itu dari tangan pemilik warung dan memberikan beberapa lembar uang.

“makasih neng..”ujarnya diikuti senyum.

“sama-sama Bi..” aku membalas senyumnya dan mulai melangkahkan kakiku menuju halte bus untuk menunggu jemputanku.

Aku kembali termenung saat aku sudah duduk di bangku halte bus dimana aku biasa menunggu jemputanku. Aku melirik kesamping. Bibirku membentuk sebuah senyuman. Bukan senyuman manis, tapi senyuman pahit. Biasanya dia selalu menemaniku disini, saat pulang sekolah. Tapi semuanya berubah sejak 1 bulan yang lalu. Segera kualihkan pandanganku pada gelas yang ada di genggamanku ini. Menatapnya begitu dalam. Entah apa yang kucari disana. Tapi yang pasti, untuk menangkan hatiku agar tak bersedih mengingatnya.

Tin tin..

Kudongakkan kepalaku. Kudapati mobil hitam itu berhenti di depanku. Aku kenal mobil itu. Segera kulangkahkan kakiku mendekati mobil hitam itu.

**

Sepulang sekolah, aku memilih untuk diam di kamar. Biasanya, aku selalu bermain dengannya sepulang sekolah. Yah..tapi kini semuanya berubah. Aku bersyukur, aku masih bisa tersenyum saat dia meninggalkanku disini, sendirian. Aku sangat merindukannya. Amat sangar merindukannya. Sosok sahabat yang tak pernah kulupa. Rasanya ingin sekali kucurahkan apa yang ada di benakku padanya. Tapi tak mungkin, sebab dia tlah tiada.

Kualihkan pandanganku pada gitar yang terletak di sudut kamarku. Sedetik kemudian aku tersenyum. Aku masih ingat, gitar itu adalah salah satu barang peninggalannya yang paling berharga. Gitar itu adalah hadiah ulang tahunku tahun lalu. Aah..aku lupa. Bulan depan aku akan berulang tahun. Umur gitar itu pun akan mencapai 1 tahun.

Aku pun berjalan mendekati gitar itu. Kuambil gitarnya dan kusimpan di pangkuanku. Sudah lama aku tidak memainkannya. Mungkin saja rasa rinduku padanya bisa tertuang dengan bermain gitar ini. Aku masih ingat, aku sering bermain gitar dengannya di taman yang tak jauh dari rumahku.

Aku mulai memetik senar gitar itu.

Rinai hujan basahi aku
Temani sepi yang mengendap
Kala aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu

Segalanya seperti mimpi
Kujalani hidup sendiri
Andai waktu berganti
Aku tetap takkan berubah

Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri

Selalu ada cerita
Tersimpan di hatiku
Tentang kau dan hujan
Tentang cinta kita
Yang mengalir seperti air

Aku bisa tersenyum
Sepanjang hari
Karena hujan pernah menahanmu
Disini untukku

Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri

Aku mengakhiri permainan gitarku dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirku. Tiba-tiba, hujan mulai turun ke muka bumi ini. Senyumanku semakin lebar saat mengetahui itu. Tuhan, terima kasih. Kuambil segelas capucino yang ada disampingku. Kemudian aku meminumnya. Aah..capucino, dan hujan..

Aku memang selalu senang bila hujan tiba. Seperti lagu itu, aku bisa mengenangnya kala hujan datang. Hujan sempat menahannya disini, sebelum ia pergi ke surga.

Aku masih ingat, kala itu ia sedang sakit, dan tengah dirawat. Dia sempat memaksaku bermain hujan saat itu.

**flashback**

Aku menatapnya yang terkulai lemah tak berdaya dibalik jendela. Tubuhnya di penuhi selang-selang yang menghubungkannya dengan alat-alat medis. Aku menangis. Sedih melihat sahabat baikku seperti ini. Aku baru mengetahui bahwa ia mengidap penyakit leukemia stadium akhir. Dia memang pandai menutupi sesuatu, sampai-sampai aku sama sekali tak tahu ia mengidap penyakit seperti ini.

Kulihat kedua orang tuanya begitu cemas, sama sepertiku. Ibunya tak berhenti menangis dalam pelukan suaminya. Aku berterima kasih kepada Tuhan, karena banyak yang mencemaskannya. Tapi aku khawatir, bila ia ternyata pergi, meninggalkanku sendirian. Disini, bersama kenangan.

Kualihkan pandanganku kembali padanya. Kuperhatikan secara seksama. Banyak sekali perubahan pada tubuhnya. Wajahnya pucat, dan sedikit lebih kurus. Matanya cekung. Aah..sungguh malang nasib sahabatku ini. Tuhan, andai aku bisa bertukar posisi dengannya, aku rela bila harus mengidap penyakit ini. Aku ikhlas. Asalkan jangan dia. Jangan dia, sahabat baikku.

Tiba-tiba kulihat jari-jarinya bergerak. Terus saja kuperhatikan tangannya itu. Aku berharap ini nyata. Dan yes! Ini benar-benar nyata! Dengan air muka yang senang, kuberitahukan pada kedua orang tua Rio.

“Ibu..Ayah..Ify..” ujar Rio ketika kami sudah memasuki kamarnya. Kulihat dia tersenyum. Walau senyuman tipis, aku tau dia tersenyum dengan susah payah. Air mataku kembali turun dengan perlahan. Dengan segera kuberitahu dokter.

Tak lama kemudian, Dokter pun datang memeriksa Rio.

“Maaf, Ibu dan Bapak keluar dulu. Kami akan memeriksa Rio.” Ujar Dokter yang diikuti suster-suster dibelakangnya. Dengan gontai kedua orang tua Rio keluar dari kamar dimana Rio dirawat. Aku pun mengikuti kedua orangtuanya dari belakang.

Diluar, aku terus menunduk, berharap Rio baik-baik saja. Bibirku tak berhenti memanjatkan do’a untuknya, sahabatku yang tengah tergolek lemah tak berdaya. Kedua orang tua Rio pun melakukan hal yang sama, berdo’a semoga anak semata wayangnya baik-baik saja.

20 menit kemudian, Dokter yang memeriksa Rio keluar. Dengan cepat kami mendekati Dokter itu, menunggu penjelasan tentang keadaan Rio sekarang. Dokter itu mengerti dengan tatapan kami. Kulihat dokter itu menghela nafasnya.

“Keadaan Rio sangat lemah. Kami tak bisa memprediksikan sampai kapan ia bertahan. Mungkin tak akan lama. Kami sudah mencoba sebisa mungkin. Maafkan kami. “ ujar Dokter itu yang kemudian berlalu meninggalkan kami sesudah menepuk bahu Ayah Rio. Kulihat Rio yang tergolek lemah. Dia tersenyum padaku. Senyum yang amat mengguratkan rasa lelah. Aku membalas senyumannya. Senyuman yang dipaksakan, karena aku tak kuasa melihat senyum lelah itu. Aku ingin menangis sejadi-jadinya.

Kulihat orang tuanya menangis tersedu-sedu setelah mendengar apa yang dikatakan Dokter itu. Hei! Dokter bukan Tuhan! Mereka tak bisa menentukan umur seseorang. Aku yakin, bila Rio bersungguh-sungguh dan berusaha sebisa mungkin, pasti Rio sembuh! Pasti!

Kubuka pintu yang memisahkan kamar Rio dengan dunia luar. Aku menyambutnya dengan senyuman getir. Kutarik kursi yang tak jauh dari ranjangnya sehingga lebih dekat dengannya. Aku pun duduk di kursi itu. Kuperhatikan wajahnya begitu pucat. Aku menangis mengetahui ini nyata. Ini bukan mimpi. Senyumnya yang tak lepas sejak tadi, tiba-tiba menghilang. Dia mendesah.

“hei, jangan menangis. Aku yang sakit kenapa kamu yang menangis? Aku baik-baik saja.” Ujarnya padaku saat melihatku menangis. Ah Rio..kata-katamu justru membuatku semakin sedih. Kau masih bisa tenang menghadapi penyakit ini. Sedangkan aku? Sudah menangis tersedu-sedu melihatnya yang sakit ini.

Tiba-tiba orang tua Rio masuk ke dalam kamar rawat Rio. Kulihat Ibu Rio terus saja menangis mengetahui anaknya semakin memburuk.

“Ibu, jangan nangis. Ayah juga. Jangan nangis yah? Nanti kalau Rio pergi gimana? Jangan nangis terus, Rio gak suka liat orang yang Rio sayang nangis.” Ujar Rio pada kedua orang tuanya. Ibu Rio pun langsung memeluk tubuh anaknya yang sedikit kurus itu. Memeluknya dengan penuh kasih sayang, kasih sayang seorang Ibu pada anaknya.

“Rio janji ya, Rio harus sembuh. Buat Ibu, Ayah sama Ify. Buat semua orang yang sayang sama Rio. Rio harus janji ya..” ujar Ibu pada Rio setelah melepas pelukan itu.

“iya, Rio janji.” Ujar Rio mantap seakan yakin dengan perkataannya. Rio berusaha sekuat mungkin untuk bertahan melawan rasa sakitnya itu. Aku tau itu. Rio tipe orang yang tak pernah menyerah.

“Ibu, Ayah, Rio mau main.” Pinta Rio pada kedua orang tuanya.

“main apa sayang?”Rio mengalihkan pandangannya keluar jendela. Saat itu cuaca mendung. Sepertinya langit siap menurunkan pasukannya. Kulihat Rio tersenyum. Dia pasti menyadari, moment yang paling kami sukai, hujan.

“aku pengen main keluar sama Ify!” aku terkesiap. Ternyata dugaanku benar. Dia ingin keluar bersamaku. Padahal tubuhnya begitu lemah, ditambah cuaca yang tak mendukung.

“Tapi ini mendung Rio.. Nanti kamu kenapa-napa.” Ujar Ayah Rio khawatir. Ibu Rio mengangguk mendengar perkataan suaminya. Biasanya, aku langsung menyetujui ajakan Rio untuk bermain. Tapi sekarang tidak. Keadaannya berbeda. Kondisi fisiknya begitu buruk. Aku tak ingin memperburuk keadaannya.

“Plis Yah..” dia menatap kami dengan tatapan memohon. Sejenak aku kasihan padanya.

“ayolah Bu, Yah..” pintanya sekali lagi. Tak lama kemudian kedua orangtua Rio mengangguk lemah mengiyakan permintaan anaknya.

**

Sekarang, aku dan Rio tengah duduk di bangku taman Rumah Sakit. Di tangan kananku, aku memegang payung. Sebagai antisipasi bila hujan datang. Firasatku benar, hujan mulai turun membasahi bumi. Untung saja tak begitu deras. Aku mulai membuka payung yang ada di tanganku. Tapi tiba-tiba tangannya mencegah aktivitas tanganku.

“jangan. Aku ingin bermain hujan denganmu.” Aku menggeleng keras mendengar permintaannya itu. Ayolah, kau sedang sakit Rio! Jangan bertindak hal bodoh!

Tiba-tiba dia berdiri, menarik tanganku dan mulai berlari dibalik rintik hujan. Awalnya aku menolaknya, namun dia tetap memaksaku untuk bermain dengannya. Dengan terpaksa aku menyetujuinya. Lama kelamaan aku mulai menikmati bermain dengannya.

“Ify, peluk aku..” pintanya padaku saat aku dan dia duduk di bangku tadi. Aku memandangnya dengan tatapan heran. Dia tiba-tiba memintaku untuk memeluknya.

“ayolah..aku ingin kau peluk.” Dengan senyum, kurentangkan tanganku menyambut tubuhnya yang menubrukku. Aku senang. Dia memelukku dengan erat. Dapat kurasakan itu.

“Rio janji ya, bakal bertahan buat Ify..” pintaku padanya.

“iya, Rio janji..” dia teus saja memelukku. Tak lama kemudian, keadaan menjadi hening. Hanya suara gemericik hujan yang terdengar. Kurasakan pelukannya mengendur. Kulepaskan pelukan itu. Air mataku mengalir, diikuti senyum getir. Pelukan ini ternyata pelukan terakhirnya. Ternyata dia sudah tak bernafas lagi.

**Flashback Off**

**

Pagi ini, aku berniat menjenguknya. Sudah 2 minggu aku tak pergi kesana, tempat terakhirnya. Tempat dimana ia tidur untuk selamanya.

Setelah aku membeli bunga, aku langsung mendatangi pusaranya. Aku berjongkok disana. Dengan senyum getir, aku mengusap nisannya yang basah. Baru saja hujan turun. Namanya masih terukir indah disana. Mario Stevano. Nama itu tetap terpatri. Terpatri di hatiku. Nama yang masih teringat jelas dalam otakku.

Kucabuti rumput-rumput liar yang tumbuh sekitar makamnya. Aku tak ingin satu rumput liar pun tumbuh disana. Setelah bersih, kuletakkan seikat bunga yang telah kubeli sebelum pergi kesini.

Ku tundukkan kepalaku, dan kemudian memanjatkan doa untuknya. Kucurahkan rasa rinduku ini padanya. Kuungkapkan, betapa sedihnya hidupku tanpanya. Betapa rapuhnya aku, betapa rindunya aku padanya. Rindu yang sudah menggunung akibat terendapkan berhari-hari.

Kurasakan titik-titik air kembali membasahi bumi. Ternyata gerimis. Tapi aku senang. Setelah berdo’a, kulihat nisannya itu. Aku tersenyum, kemudian mendongakkan kepalaku. Kutadahkan tanganku, seakan ingin menampung air hujan itu.

“Lihat Rio, hujan tlah turun.. Sekarang aku bisa mengenangmu..”

Kurogoh kantong kresek yang aku bawa, dan kuambil segelas plastic capucino hangat itu. Dengan wajah yang dihiasi senyum, ku nikmati suasana itu di dekat pusaranya.

Aah..antara kamu, capucino dan hujan…


THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar